Macro Insight

Lengkap! Ini Alasan Kenapa Bank Terkuat Dunia Ragu Pangkas Suku Bunga

Revo M, CNBC Indonesia
01 February 2024 10:22
Federal Reserve Chairman Jerome Powell testifies during a House Financial Services Committee hearing on
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed kembali memutuskan menahan suku bunganya. Hal ini disampaikan pada Federal Open Meeting Committee (FOMC) kamis dini hari (1/2/2024) waktu Indonesia.

Keputusan The Fed menjadi hal yang paling ditunggu dunia pada pekan ini mengingat betapa kuatnya posisi The Fed dalam ekonomi global. The Fed adalah bank sentral AS di mana AS menjadi negara dengan perekonomian terbesar di dunia. The Fed juga menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang mencetak dolar di dunia. 

Keputusan The Fed menahan kembali suku bunganya di level 5,25-5,5% merupakan keempat kalinya sejak terakhir menaikkan suku bunganya pada Juli 2023 sebesar 25 basis poin (bps).

Sebagai catatan, sepanjang 2023, The Fed telah menaikkan suku bunganya sebanyak empat kali dan total sebesar 100 bps. Kenaikan suku bunga The Fed terjadi pada Februari, Maret, Mei, dan Juli 2023.

The Fed dalam pernyataan resminya mengatakan pemangkasan suku bunga tidak layak dilakukan selama mereka belum yakin jika inflasi bergerak ke arah 2%.

"Kami merasa tidak patut untuk mengurangi target sasaran (suku bunga) sampai kami merasa lebih percaya diri jika inflasi sudah bergerak ke target sasaran 2%. Komite sangat berkomitmen untuk membawa inflasi ke target sasaran 2%. Inflasi sudah melandai dalam setahun terakhir tetapi kami masih memberi perhatian penuh terhadap risiko inflasi" tutur pernyataan The Fed dalam situs resminya.

Keinginan pelaku pasar melihat pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat sepertinya belum akan terwujud. Chairman The Fed Jerome Powell dalam konferensi pers, Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia, mengatakan jika ekonomi AS saat ini masih sangat kuat.

Misalnya saja inflasi AS yang kembali merangkak naik dari 3,1% (year on year/yoy) pada November menjadi 3,4% yoy [ada Desember 2023 dan lebih tinggi dibandingkan konsensus di angka 3,2% yoy.

PMI Manufaktur ISM juga lebih tinggi dari konsensus menjadi 47,4 meskipun masih dalam kategori kontraksi.

Begitu pula dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) advance untuk kuartal IV-2023 yang tercatat 3,3% atau lebih tinggi di atas konsensus 2%.

Selain data ekonomi AS, data ketenagakerjaan AS juga belum berada dalam kondisi normal.

Tingkat pengangguran ada di angka 3,7% per Desember 2023. Data non-farm payrolls menunjukkan jika pasar tenaga kerja AS masih panas dengan adanya tambahan lapangan kerja sebanyak 216.000 pada Desember 2023. Angka tersebut ada di atas proyeksi pasar yakni 170.000.

Dengan ekonomi dan inflasi AS yang masih kuat, Powell menegaskan jika The Fed belum cukup percaya diri untuk memangkas suku bunga pada pertemuan FOMC Maret mendatang.

"Berdasarkan pertemuan hari ini, saya ingin mengatakan pada Anda jika saya merasa komite belum mencapai level percaya diri untuk menentukan apakah Maret adalah saat yang tepat untuk itu (pemangkasan suku bunga)," tutur Powell dalam konferensi pers usai rapat FOMC, dikutip dari CNBC International.

"Inflasi turun tanpa adanya perlambatan ekonomi dan kenaikan angka pengangguran. Tidak ada alasan mengapa kita harus menghentikan proses yang tengah berlangsung. Tujuan utama kami adalah inflasi terus menerus turun. Tentu saja, kami menginginkan pasar kerja yang tetap kuat juga. Mandat kami adalah stabilitas harga dan pengangguran bukan pertumbuhan," papar Powell.

Powell menjelaskan The Fed akan membutuhkan waktu lama untuk menurunkan suku bunga jika data pendukung belum bergerak sesuai keinginan mereka. Sebaliknya, jika inflasi turun lebih cepat maka pemangkasan juga bisa dilakukan lebih cepat.

"Kami mencoba untuk merasa nyaman dan semakin yakin jika inflasi terus menerus turun secara berkelanjutan ke arah 2%," kata Powell.

Namun, Powell mengatakan jika target pengetatan suku bunga sepertinya sudah mencapai puncak dan mengisyaratkan jika pemangkasan suku bunga akan dilakukan pada tahun ini tetapi semuanya harus berdasarkan data pendukung.

"Kami percaya jika siklus pengetatan suku bunga sepertinya sudah mencapai puncak," ujarnya.

Implementasi Kebijakan Moneter AS

Beberapa keputusan diambil The Fed pasca FOMC dan mulai diterapkan pada 1 Februari 2024 waktu AS, seperti mempertahankan tingkat bunga yang dibayarkan pada saldo cadangan sebesar 5,4% efektif 1 Februari 2024.

Selain itu, Komite Pasar Terbuka Federal juga memutuskan untuk mengarahkan Open Market Desk di Federal Reserve Bank of New York untuk melaksanakan transaksi di Sistem Rekening Pasar Terbuka sesuai dengan arahan kebijakan domestik.

Setidaknya terdapat empat poin penting yang perlu dicermati sebagai arahan dan salah satunya yakni melakukan operasi pasar terbuka sesuai suku bunga acuan di level 5,25-5,5%.

Tanggapan Analis, Ekonom, Hingga IMF

Menanggapi keputusan The Fed, analis market dari Pepperstone, Micahel Brown mengingatkan pelaku pasar jika The Fed tidak akan buru-buru memangkas suku bunga seperti harapan mereka.

"Sangat jelas sekali jika The Fed tidak akan buru-buru memangkas suku bunga secepat harapan pelaku pasar. The Fed masih membutuhkan data inflasi yang lebih meyakinkan untuk mulai memangkas suku bunga," tutur Brown, dikutip dari Reuters.

Sejalan dengan Brown, kepala ekonom Comerica Bank, Bill Adams juga mengatakan bahwa The Fed akan menunggu untuk melakukan penurunan suku bunga sampai mereka melihat dampak dari inflasi 2%.

"The Fed sangat terpukul pada akhir tahun 2021 dan 2022 ketika mereka mengira inflasi yang tinggi hanya bersifat sementara, kemudian terkejut ketika inflasi lebih tinggi dan lebih persisten dari perkiraan. Mereka ingin menghindari kesalahan yang sama dua kali," tambah Adams.

Menghadapi situasi saat ini, kepala strategi suku bunga AS di Société Générale, Subadra Rajappa mengatakan bahwa sepertinya scenario soft landing akan terjadi. Hal ini ia sampaikan kepada CNN International.

Wakil direktur pelaksana pertama International Monetary Fund (IMF), Gita Gopinath mengatakan dalam acara World Economic Forum di Davos, bahwa inflasi diperkirakan akan turun tidak terlalu tajam dibandingkan tahun lalu karena ketatnya pasar tenaga kerja dan tingginya inflasi jasa di AS, kawasan euro, dan negara lain, sehingga Gopinath menegaskan agar mengenai pemikirannya perihal ekspektasi 'prematur' seputar penurunan suku bunga yang agresif.

Probabilitas soft landing akan semakin meningkat karena inflasi melandai tanpa banyak kerugian dalam aktivitas ekonomi. Hal ini sangat berbeda dengan yang namanya hard landing.

Dalam jangka waktu yang lebih lama, ia memperkirakan rata-rata suku bunga akan terus lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode setelah krisis keuangan besar, pada tahun 2008 dan 2019.

"Sekarang kita berada di dunia dimana kita mengalami lebih banyak guncangan pasokan yang jauh lebih parah, dan kita telah melihat bahwa inflasi dapat kembali naik dengan cukup kuat," ujar Gopinath.

Dampak Soft Landing dan Cut Rate The Fed ke Indonesia

"Jika hal serupa (kondisi stabil) terjadi pada perekonomian Indonesia, termasuk pasar sahamnya, itu bisa dianggap positif karena menunjukkan kemampuan untuk menghindari dampak negatif yang dapat timbul dari perlambatan ekonomi yang drastis," ujar Head of Equity Retail HP Sekuritas, Erwin Supandi kepada CNBC Indonesia.

Hal ini pun dipertegas oleh Research Analyst Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani yang mengatakan bahwa soft landing merupakan hal yang baik bagi pasar modal global termasuk pasar saham Indonesia.

"Kalau AS mengalami gejolak ekonomi dan pasar saham mereka turun itu berdampak negatif ke pasar saham lain termasuk pasar saham Indonesia. Dan sebaliknya kalau kondisi ekonomi AS stabil tidak terlalu volatile pasar saham global termasuk Indonesia juga mengalami kinerja yang lebih kondusif," kata Arjun.

Lebih lanjut, kendati inflasi AS saat ini sudah jauh lebih terkendali dibandingkan tahun sebelumnya, namun data ketenagakerjaan AS masih cukup ketat. Alhasil dapat disimpulkan bahwa data ekonomi AS saat ini masih cukup mix.

"Efek soft landing dan penurunan suku bunga The Fed akan ada koreksi ke pasar ekuitas secara jangka pendek, namun jangka panjang itu bagus (soft landing) bagi ekuitas termasuk IHSG," papar Hans Kwee selaku Pengamat Pasar Modal.

Ia juga menegaskan bahwa dengan data yang ada saat ini, potensi terjadinya hard landing di AS sangatlah kecil. Jikalau pun hard landing harus terjadi, maka The Fed akan pangkas suku bunga lebih besar lagi. Pada akhirnya, hal ini akan memberikan angin segar bagi risk asset termasuk pasar saham.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation