Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia memproyeksi ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,1%. Proyeksi tersebut masih sejalan dengan yang dikeluarkan pada April lalu yakni 4,6-5,1%. Namun, angkanya lebih rendah dibandingkan proyeksi di Januari yakni 5,2%.
Menurut Bank Dunia, Indonesia sebagai eksportir terbesar komoditas di wilayah Asia Tenggara jelas diuntungkan dari lonjakan komoditas karena ada tambahan besar penerimaan negara.
"Penerimaan negara yang melimpah di tengah kenaikan harga komoditas akan membuat Indonesia bisa melakukan pengetatan fiskal secara moderat dalam jangka menengah," tutur Bank Dunia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bulan lalu mengatakan pemerintah akan mendapatkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 420 triliun sebagai dampak lonjakan harga komoditas. Melimpahnya penerimaan membuat pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik untuk kalangan tidak mampu.
Kondisi tersebut tentu saja berbanding terbalik dengan sejumlah negara yang tengah dipusingkan dengan kenaikan harga energi.
Harga BBM yang tidak naik akan sangat berperan besar dalam meredam inflasi Indonesia. Karena itulah, ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan saat ini kecil bagi Indonesia untuk masuk ke jurang stagflasi.
"Data-data riil menunjukan pemulihan ekonomi terus berlanjut dan bahkan terakselerasi. Inflasi juga walau meningkat tapi masih dalam taraf manageable," tutur Faisal, kepada CNBC Indonesia.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Indonesia mulai mereda pada bulan lalu. Inflasi Mei mencapai 0,40% (month on month/mtm), jauh lebih rendah dibandingkan yang tercatat di April (0,95%) ataupun April (0,66%).
Namun, secara tahunan (year on year/yoy), inflasi di bulan Mei melonjak 3,55% atau menjadi yang tertinggi sejak Desember 2017 atau dalam lima tahun terakhir.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2022 tercatat 5,01% (year on year/yoy). Artinya, sudah dua kuartal terakhir, ekonomi Indonesia mampu tumbuh di atas 5% yang merupakan level historisnya.
Faisal mengatakan ketidakpastikan memang masih tinggi. Ancaman inflasi tinggi juga belum sepenuhnya hilang. Namun, Indonesia setidaknya bisa mengurangi dampak ketidakpastian global dengan kenaikan subsidi, tambahan perlindungan sosial, serta tidak dinaikannya harga BBM.
"Kuncinya memang pada peran kebijakan pemerintah terutama dalam menjaga pasokan dan distribusi barang dalam mengendalikan harga, terlepas dari keputusan untuk menaikkan subsidi untuk energi dan bahan bakar," imbuhnya.
Dia menambahkan kebijakan pemerintah akan efektif jika kondisi global juga membaik, terutama dalam hal rantai pasok global. "Tapi seberapa kuat dan efektif jg akan bergantung juga pada seberapa lama dan intensif masalah global supply chain, energy crisis, dan perang Rusia Ukraina," ujarnya.
Senada, ekonom Sucor Sekuritas Ahmad Mikai Samuel mengatakan kemungkinan Indonesia masuk stagflasi kecil karena rasio ekspor impor kita cuma 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Ekonomi Indonesia tidak terlalu terhubung dengan ekonomi global. Untuk Indonesia sepertinya kecil kemungkinan ekonomi kita kontraksi karena didorong konsumsi domestik dan Investasi domestik," tutur Mikail, kepada CNBC Indonesia.
Seperti diketahui, stagflasi yang ditandai dengan meroketnya inflasi sementara di sisi lain pertumbuhan melemah pernah terjadi pada tahun 1970an. Pada tahun 1973, inflasi global meroket hingga 10,3% karena lonjakan harga minyak. Inflasi Indonesia pada tahun tersebut bahkan menembus 23,30%.
Sama seperti periode 1970an, harga minyak saat ini juga melonjak dan terus bertengger di atas US$ 100 per barel. Jika harga minyak terus naik maka laju inflasi akan sulit direm. Menurut Bank Dunia, kenaikan 40% minyak mentah bisa menyumbang inflasi sekitar 4 percentage point (ppt) terjadai inflasi negara emerging market and developing economy (EMDE) termasuk Indonesia.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan akan sulit bagi pemerintah Indonesia untuk menahan harga BBM jika harga minyak mentah terus melejit dan menembus US$ 140 per barel.
"Yang jadi masalah jika perang berkepanjangan dan meluas. Kalau harga minyak mentahnya di atas US$ 140 per barel maka gap-nya makin besar," tutur David.
Sebelumnya kita sudah membahas soal stagflasi. Kondisi di mana inflasi tinggi, tetapi pertumbuhan ekonomi rendah.
Namun ada risiko lain yang juga menghantui perekonomian dunia. Namanya resesi. Gampangnya, resesi terjadi kala pertumbuhan ekonomi minus alias kontraksi selama dua kuartal beruntun.
Dunia, termasuk Indonesia, baru saja pulih dari resesi. Minimnya aktivitas masyarakat selama pandemi virus corona membuat ekonomi jatuh ke jurang resesi. Bagi Indonesia, ini adalah resesi perdana sejak krisis keuangan 1998 alias krisis moneter.
Kini, dengan latar belakang perang Rusia vs Ukraina, hantu resesi kembali bergentayangan. Bank Dunia sudah memberi peringatan.
"Upaya menjangkar ekspektasi inflasi dengan mengetatkan kebijakan moneter menyebabkan perlambatan ekonomi. Bahkan mungkin sampai resesi di sejumlah negara," sebut laporan Bank Dunia.
Negara-negara Eropa Timur, menurut Bank Dunia, adalah 'korban' potensial resesi. Untuk 2022, Bank Dunia memperkirakan ekonomi di kawasan tersebut tumbuh -5,6%. Belarusia akan mengalami resesi paling parah, karena pendapatan remitansi terbesar bagi negara tersebut datang dari Rusia dan Ukraina.
Sementara Bank Dunia memperkirakan kawasan Amerika Latin tumbuh 2,2% tahun ini. Namun risiko resesi di kawasan tersebut tidak tertutup.
"Perlambatan ekonomi China akan menurunkan permintaan ekspor seperti tembaga, kedelaim dan bijih besi. Permintaan domestik yang masih lemah meningkatkan risiko Amerika Latin ke arah resesi," tambah laporan Bank Dunia.
Dua negara yang sedang terlibat konflik, Rusia dan Ukraina, juga diperkirakan bakal jatuh ke jurang resesi. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Rusia tumbuh -8,9% tahun ini sedangkan Ukraina -45%.
"Jumlah penduduk miskin di Ukraina, yang hidup di bawah US$ 5,5/hari, naik dari 2% menjadi 20% dari total populasi pada 2022," ungkap laporan Bank Dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA