Internasional

AS Terancam Resesi Lagi, Bahaya Bisa Menjalar ke Mana-mana?

Lucky Leonard Leatemia & Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
09 June 2022 08:50
The United State flag is silhouetted against the setting sun Sunday, May 28, 2017, in Leavenworth, Kan. (AP Photo/Charlie Riedel)
Foto: Bendera Amerika Serikat (AP Photo/Charlie Riedel)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indikasi bahwa ekonomi Amerika Serikat (AS) akan mengalami resesi semakin nyata. Terbaru, hal ini dinyatakan oleh Federal Reverse yang mengindikasikan potensi pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut.

Berdasarkan pelacak GDP The Fed, GDPNow Fed Atlanta, pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal kedua tahun ini hanya sebesar 0,9%. Adapun, pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama telah turun sebesar 1,5%.

GDPNow mengikuti data ekonomi secara real time dan menggunakannya untuk memproyeksikan arah ekonomi. Data pada hari Selasa lalu, dikombinasikan dengan rilis terbaru lainnya, menghasilkan model yang menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi dari sebelumnya 1,3% menjadi 0,9%.

Secara rinci, pengeluaran konsumsi pribadi, ukuran pengeluaran konsumen yang berkontribusi hampir 70% dari PDB, mengalami penurunan menjadi 3,7% dari perkiraan sebelumnya 4,4%. Hal yang sama juga terjadi pada investasi domestik swasta bruto riil yang sekarang diperkirakan sebesar 8,3% dari sebelumnya 8,5%.

Sementara itu, ada sedikit perbaikan dari sektor perdagangan dengan menurunnya defisit hingga US$ 20 miliar menjadi US$ 87,1 miliar pada April. Hanya saja, angka tersebut masih tergolong tinggi menurut standar historis.

"Kita perlu melihat guncangan masa depan pada siklus bisnis. Perkiraan saya adalah ekonomi akan melambat untuk kembali ke tingkat pertumbuhan tren jangka panjang 1,8%," tutur Joseph Brusuelas, kepala ekonom di perusahaan konsultan RSM, seperti dikutip CNBC International, Kamis (9/6/2022).

Hal yang sama juga diramalkan oleh mantan kepala ekonom SEC yang juga akademisi dari University of Southern California Marshall School of Business, Larry Harris. Ia menyebutkan bahwa resesi diperlukan untuk menahan laju inflasi yang saat ini cukup tinggi.

Diketahui, data terbaru bulan April 2022 menuliskan inflasi di AS telah mencapai 8,2%. "Apakah kita akan mengalami resesi? Sangat mungkin. Sangat sulit untuk menghentikan inflasi tanpa resesi," ujarnya.

Ketika suku bunga tinggi, konsumen mendapatkan pengembalian yang lebih tinggi atas uang yang mereka simpan di rekening bank. Hal ini, nyatanya, membuat minat untuk meminjam uang di bank justru menjadi menurun.

"Kenaikan suku bunga menghambat pengeluaran dengan meningkatkan biaya pembiayaan," terang Harris.

Meski begitu, Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) menyatakan penurunan PDB dalam dua kuartal berturut-turut tak melulu bisa diartikan sebagai resesi. Sebaliknya, NBER mendefinisikan resesi sebagai "penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian dan yang berlangsung lebih dari beberapa bulan".

"Sebagian besar resesi yang diidentifikasi oleh prosedur kami terdiri dari dua atau lebih kuartal berturut-turut dari penurunan PDB riil, tetapi tidak semuanya," kata NBER di situsnya.

"Ada beberapa alasan. Pertama, kami tidak mengidentifikasi kegiatan ekonomi semata-mata dengan PDB riil, tetapi mempertimbangkan berbagai indikator. Kedua, kami mempertimbangkan kedalaman penurunan aktivitas ekonomi."


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tanda Resesi Muncul Lagi, 'Badai' Tunggakan Mobil Melanda AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular