Investor Pusing Jokowi Setop Ekspor CPO, Awas IHSG Rontok!
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berfluktuasi sepanjang pekan lalu tetapi dengan kecenderungan bergerak menyamping (sideways) setelah mencetak rekor tertinggi sepanjang masa di 7.355,3 pada 11 April lalu.
Rupiah masih belum ada perubahan, bergerak tipis-tipis saja dalam beberapa pekan terakhir. Sementara pasar obligasi kembali mendapatkan tekanan.
Pada perdagangan hari ini, Senin (25/4/2022) pasar keuangan Indonesia berisiko tertekan akibat beberapa faktor, salah satunya pemerintah yang resmi melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak goreng. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Balik lagi ke pergerakan pekan lalu, IHSG berakhir melemah tipis 0,14% ke 7.225,606. Dalam 5 hari perdagangan, IHSG sebenarnya mampu menguat sebanyak 3 kali tetapi dalam 2 hari perdagangan bursa kebanggaan Tanah Air ini merosot tajam.
Meski demikian, investor asing masih rajin memborong saham di dalam negeri. Data perdagangan mencatat net buy investor asing sebesar Rp 5,4 triliun di pasar reguler, tunia dan nego.
Dengan demikian, sepanjang tahun ini net buy asing tercatat lebih dari Rp 46,7 triliun.
Kemudian rupiah, sepanjang pekan lalu melemah tipis 0,09% melawan dolar AS ke Rp 14.356/US$. Sedangkan Surat Berharga Negara (SBN) semuanya mengalami pelemahan bahkan cukup tajam. Hal tersebut terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang mengalami kenaikan.
Pergerakan obligasi berbanding terbalik dengan yield, ketika harga turun maka yield akan naik, begitu juga sebaliknya.
Perbedaan kebijakan moneter di Indonesia dan Amerika Serikat (AS) menjadi pemicu tertekannya SBN. Seperti diketahui, bank sentral AS (The Fed) akan sangat agresif mengerek suku bunga di tahun ini. Alhasil yield obligasi AS (Treasury) terus menanjak.
Sebaliknya, Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan sikap dovish-nya. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan masih akan bersabar menaikkan suku bunga. Ia sekali lagi menegaskan kebijakan moneter tidak merespon administered prices atau harga yang ditentukan pemerintah. Hal ini terkait dengan kenaikan beberapa harga, seperti Pertamax yang ditentukan pemerintah.
Yang direspon oleh BI adalah dampak second round yang terlihat dari inflasi inti. BI juga menyatakan terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
"Esensinya sabar, menunggu koordinasi lebih lanjut, pada waktunya kami akan menjelaskan, komitmen kami menjaga stabilitas, mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry dalam jumpa pers usai RDG, Selasa (19/4/2022).
Akibatnya, selisih (spread) yield di Amerika Serikat dan Indonesia semakin menyempit yang memberikan tekanan ke SBN. Aksi jual pun melanda pasar obligasi Indonesia. Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menunjukkan sepanjang tahun ini hingga 21 April lalu terjadi capital outflow di pasar obligasi lebih dari Rp 47 triliun.
Capital outflow yang terjadi di pasar obligasi, diimbangi dengan inflow di pasar saham, membuat rupiah stabil melawan dolar AS sepanjang tahun ini, dan bergerak tipis-tipis saja dalam beberapa pekan terakhir.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Brol Ambrol.... Wall Street Ambrol Terus!
(pap/pap)