Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian dunia semakin rumit akibat perang yang antara Rusia dan Ukraina. Alhasil pasar finansial global bergerak fluktuatif sejak pekan lalu.
Pasar finansial Indonesia sebenarnya masih cukup kuat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) beberapa kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, rupiah dan Surat Berharga Negara (SBN) juga sempat menguat, tetapi di hari Rabu lalu jeblok.
Pada perdagangan hari ini, Jumat (4/2) perkembangan perang Rusia - Ukraina yang kemungkinan akan ada gencatan senjata sementara tentunya akan berdampak ke pasar finansial dalam negeri, begitu juga meroketnya harga komoditas hingga kembali munculnya risiko stagflasi. Faktor-faktor tersebut akan dibahas pada halaman 3 dan 4, termasuk perang tersebut yang dikatakan sebagai "a game changer" bagi perekonomian dunia.
Rabu lalu, IHSG sempat menguat 0,75% sebelum berbalik merosot dan mengakhiri perdagangan di 6.868,402, minus 0,77%. Penurunan tersebut setelah sehari sebelumnya IHSG mencetak rekor tertinggi sepanjang masa 6.996,935.
Meski demikian, investor asing masih tetap melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 504 miliar di pasar reguler, tetapi net sell sebesar Rp 35 miliar, sehingga net buy di all market sebesar Rp 469 miliar. Sementara hari sebelumnya, ada net buy sebesar Rp 1,7 triliun di pasar reguler, tunai dan nego.
Sementara itu rupiah melemah cukup tajam 0,35% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.385/US$.
Dari pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) bervariasi, tenor 1 tahun mengalami penguatan, begitu juga tenor 20 tahun ke atas.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika harga naik maka yield akan turun, begitu juga sebaliknya.
Pasukan Rusia yang berkonvoi dalam jumlah besar mendekati ibu kota Ukraina, Kyiv, membuat sentimen pelaku pasar memburuk.
Wakil Perdana Menteri Inggris, Dominic Raab, mengatakan akan melakukan apa saja guna mencegah "Fall of Kyiv". Pasukan Rusia kini dikabarkan berada 17 mil dari Kyiv, tetapi masih belum diketahui secara pasti seberapa cepat serangan militer akan dilakukan.
Pentagon pun menyatakan jika Kremlin memang ingin menjatuhkan Kyiv.
"Setiap indikasi yang kami lihat menunjukkan mereka (Rusia) ingin mengambil alih Kyiv," kata pejabat senior Kementerian Pertahanan AS kepada CNBC International, Senin (28/1).
"Fall of Kyiv" pun dikhawatirkan terjadi, dan bisa memicu lebih banyak ketidakpastian, khususnya bagaimana respon Amerika Serikat dan negara Barat lainnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berfluktuasi, Wall Street Berakhir Merah Lagi
Bursa saham AS (Wall Street) berfluktuasi dalam dua hari terakhir. Pada perdagangan Rabu lalu tercatat mampu menguat tajam, sementara kemarin kembali melemah meski sempat menghijau di awal sesi.
Indeks Dow Jones mengakhiri perdagangan di 33.794,66 melemah 0,3%, kemudian indeks S&P 500 turun 0,53% ke 4.363,49 dan Nasdaq ambrol 1,56% ke 13.537,94.
Investor juga menyambut positif data klaim tunjangan pengangguran pekan lalu, yang di angka 215.000 atau lebih baik ketimbang ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang berujung pada angka 225.000 klaim.
Data tersebut selain juga aksi buy on dip membuat Wall Street menguat di awal perdagangan Kamis.
"Kerugian hanya terlihat pada saham sektor keuangan dan yang terkena eksposur Rusia. Kami masih meminati pembelian saham di tengah koreksi [buy the dips]," tutur perencana investasi Citi Robert Buckland dalam laporan riset yang dikutip CNBC.
Namun, perang antara Rusia dan Ukraina yang memasuki pekan kedua masih menjadi penggerak utama Wall Street yang membuatnya berfluktuasi.
Ibu kota Kyiv masih mampu dipertahankan oleh Ukraina, sementara Maripol dan Kharkiv kota terbersa kedua terus dibombardir Rusia.
"Situasi di Ukraina masih sangat cair, kita tidak tahu sedalam apa pasar akan merosot. Tetapi kami masih percaya pertumbuhan ekonomi AS akan di atas rata-rata di tahun ini," kata Scott Wren, ahli strategi pasar global di Wells Fargo Investment Institute.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street yang melemah tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar Asia pada perdagangan hari ini. Tetapi jika dilihat pergerakan yang berfluktuasi dan sempat menghijau, peluang penguatan tentunya tidak tertutup.
Apalagi jika situasi di Ukraina mulai membaik. Perundingan antara Rusia dan Ukraina kembali berlanjut, meski belum menemukan kata damai, tetapi kedua negara memiliki sikap yang sama terkait perlunya "koridor kemanusiaan" yang kemungkinan dilakukan dengan gencatan senjata sementara.
CNBC International melaporkan negosiator dari Ukraina mengatakan kedua belah pihak mencapai sailing pengertian untuk mengevakuasi warga sipil.
Hal senada juga diungkapkan negosiator Rusia.
"Menteri Pertahanan Rusia dan Ukraina sudah setuju untuk mempertahankan koridor kemanusiaan, dan kemungkinan gencatan senjata sementara di area koridor kemanusiaan selama periode evakuasi warga sipil," kata kepala negosiator Rusia, Vladimir Mendinsky, sebagaimana dilansir CNBC International.
"Saya pikir ini kemajuan yang signifikan," tambahnya.
Perang yang terjadi dalam dua pekan terakhir sudah membuat harga komoditas meroket. Komoditas energi tentu yang paling menjadi perhatian. Minyak mentah dan gas alam terus menanjak, batu bara bahkan terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Harga minyak mentah kemarin sempat menyentuh level tertinggi sejak tahun 2008, sebelum akhirnya terkoreksi. Minyak mentah jenis Brent mengakhiri perdagangan Rabu di US$ 110,46 atau merosot 2,19%, setelah sebelumnya sempat menyentuh US$ 119,84/barel.
Begitu juga dengan minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI), sempat menyentuh US$ 116,57/barel kemudian berbalik merosot 2,64% ke US$ 107,67/barel.
Harga batu bara kemarin ambrol nyaris 20% ke US$ 358,45/ton, tetapi sehari sebelumnya meroket lebih dari 46% ke US$ 446/ton yang menjadi rekor tertinggi sepanjang masa.
Selain itu ada juga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang bisa menjadi substitusi minyak mentah dalam bentuk bio diesel, yang menembus RM 8.000/ton pada Rabu lalu.
Sementara itu, kenaikan harga minyak mentah juga turun mengerek Indonesian Crude Price (ICP) yang tentunya akan berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, Ekonom Bank Permata, Josua Pardede memperkirakan tekanannya tidak akan begitu besar. Sebab Indonesia masih ekspor minyak dan gas, sehingga ketika ada kenaikan harga maka bisa berdampak positif terhadap penerimaan.
"Di nota keuangan APBN 2022 di sini pemerintah bikin simulasi, setiap kenaikan minyak mentah RI, naik 1 dolar AS per barel akan dongkrak penerimaan PPnBM dan PPh Migas Rp 3 triliun," jelasnya kepada CNBC Indonesia.
"Di sisi lain memang spending akan meningkat Rp 2,6 triliun. Tapi net-nya masih ada Rp 400 miliar efek surplus ke APBN," tambah Josua.
Meski masih surplus, tetapi tentunya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi berisiko mengalami kenaikan.
Selain itu yang paling ditakuti dari kenaikan harga minyak mentah dan komoditas energi lainnya yakni inflasi yang berisiko semakin tinggi.
Goldman Sachs bahkan memperingatkan dampak stagflasi dari reli komoditas yang saat ini sedang terjadi.
Stagflasi merupakan fenomena tingginya inflasi tanpa disertai dengan pertumbuhan ekonomi.
Senada, Morgan Stanley juga mengatakan bahwa reli harga komoditas, khususnya minyak, dapat memberikan ancaman stagflasi untuk kawasan Asia.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Ketua bank sentral AS (The Fed), Jerome Powell juga menyoroti perang Rusia - Ukraina yang dikatakan sebagai "a game changer" bagi perekonomian Amerika Serikat dan dunia yang bisa memberikan dampak yang tidak bisa diprediksi.
"Ada peristiwa yang akan datang dan kita tidak tahun apa dampaknya terhadap perekonomian AS," kata Powell di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR, pada Rabu (2/3).
Meroketnya harga komoditas akibat perang tersebut berisiko memicu inflasi yang semakin tinggi. Hal ini membuat The Fed dan bank sentral lainnya bisa agresif dalam menaikkan suku bunga. Powell juga membuka lebar kemungkinan tersebut.
"Kami akan berhati-hati saat mempelajari implikasi perang di Ukraina terhadap perekonomian. Kamu memiliki ekspektasi inflasi akan mencapai puncaknya kemudian turun di tahun ini. Jika inflasi malah semakin tinggi atau lebih persisten, kami akan bersiap untuk menaikkan suku bunga lebih agresif dengan menaikkan suku bunga lebih dari 25 basis poin pada satu atau beberapa pertemuan," kata Powell.
Untuk saat ini, Powell mendukung kenaikan sebesar 25 basis poin di bulan ini. Namun, jika nantinya The Fed lebih agresif dalam menaikkan suku bunga, maka ada risiko pasar finansial global akan mengalami gejolak, termasuk Indonesia.
Pasar finansial saat ini sudah price-in kenaikan suku bunga sebesar 100 hingga 125 basis poin di tahun ini. Jika lebih dari itu, risiko terjadinya gejolak tentunya semakin besar.
Ada risiko terjadi capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, kemudian nilai tukar rupiah bisa merosot. Dengan kepemilikan asing di pasar obligasi saat ini yang di bawah 20%, capital outflow diperkirakan tidak akan besar, selain itu fundamental Indonesia yang cukup bagus juga diperkirakan bisa menahan tekanan dari agresivitas The Fed.
Tetapi, volatilitas jangka pendek tentunya tidak akan terhindarkan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berikut Data Ekonomi dan Agenda Emiten
Berikut beberapa agenda data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rapat Umum Pemegang Saham PTSN, LPLI, BRMS dan IBFN
- Data penjualan ritel Australia (7:30 WIB)
- Data penjualan ritel Singapura (12:00 WIB)
- Data neraca perdagangan Jerman (14:15)
- Data tenaga kerja AS (20:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA