Newsletter

Waspada "Fall of Kyiv", Pasar Keuangan RI Bisa Rontok!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 March 2022 06:10
Tentara Ukraina berjaga di jalan utama Kyiv, Ukraina (AP/Anna Szilagyi)
Foto: ilustrasi Ukraina vs Rusia (Edward Ricardo/ CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ceria pada perdagangan Selasa kemarin. Investor asing masih terus mengalirkan modalnya ke dalam negeri, membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa.

Namun, pada perdagangan Rabu (2/3) ada risiko pembalikan arah pasar keuangan Indonesia, sebab sentimen pelaku pasar sedang memburuk akibat kemungkinan "Fall of Kyiv". Tetapi jika investor asing terus mengalirkan modalnya ke dalam negeri, ada peluang IHSG bisa kembali ke zona hijau dan diikuti dengan rupiah serta Surat Berharga Negara (SBN). Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar keuangan hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4.

Investor asing memborong saham di dalam negeri kemarin, aksi beli bersih (net buy) tercatat sebesar Rp 1,7 triliun di pasar reguler, nego dan tunai. IHSG pun melesat nyaris 1,6% di awal perdagangan ke 6.996,936 yang menjadi rekor tertinggi sepanjang masa.

Sayangnya IHSG belum mampu menembus level 7.000, koreksi pun terjadi dan mengakhiri perdagangan di 6.921,441, menguat 0,48%.

Aksi borong tersebut sekaligus menunjukkan pasar saham Indonesia masih menarik meski perang antara Rusia dengan Ukraina sedang berkecamuk. Amerika Serikat (AS) dan sekutu memberikan beragam sanksi yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk, tetapi investor asing terus mengalirkan modalnya ke dalam negeri.

Sepanjang pekan lalu investor asing tercatat melakukan net buy Rp 4,11 triliun di pasar reguler, nego dan tunai. Sementara dalam di bulan Februari net buy tercatat sebesar Rp 17,59 triliun.

Rupiah juga perkasa dengan mencatat penguatan 0,21% melawan dolar AS di Rp 14.335/US$. Sepanjang perdagangan kemarin rupiah tidak pernah mencicipi zona merah.

Sementara itu Surat Berharga Negara (SBN) bervariasi kemarin, dengan mayoritas mencatat pelemahan, terlihat dari kenaikan imbal hasilnya (yield).

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika harga naik maka yield akan turun, begitu juga sebaliknya.

Data ekonomi dari dalam negeri mempengaruhi pergerakan pasar finansial kemarin.

IHS Markit melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia yang dicerminkan dengan PMI berada di 51,2. Turun dibandingkan Januari 2022 yang tercatat 53,7.

PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atasnya berarti ekspansi, di bawahnya artinya kontraksi.

"Produksi manufaktur masih tumbuh, tetapi laju pertumbuhannya melambat karena peningkatan kasus positif Covid-19. Usaha baru, termasuk yang berorientasi ekspor, mengalami perlambatan pertumbuhan penjualan yang juga gara-gara pandemi," papar keterangan tertulis IHS Markit.

Akibat pandemi yang kembali menggila, kepercayaan dunia usaha di sektor manufaktur turun ke titik terendah dalam 21 bulan. Namun, dunia usaha masih yakin bahwa pada saatnya pandemi akan kembali terkontrol sehingga ekonomi bisa dipacu lebih cepat.

Kabar baiknya, penciptaan lapangan usaha di sektor manufaktur tetap tumbuh meski produksi dan penjualan melambat. Laju penciptaan lapangan kerja mencapai titik tertinggi sejak Februari 2020. Dunia usaha terus menambah karyawan untuk meningkatkan produksi karena melihat prospek peningkatan permintaan.

Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini mengumumkan di bulan Februari justru terjadi deflasi secara bulanan.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto melaporkan terjadi deflasi atau penurunan indeks harga konsumen sebesar 0,02% pada bulan lalu dibandingkan Januari 2022 (month-on-month/mtm). Ini adalah deflasi pertama sejak September 2021.

Sementara dibandingkan Februari 2021 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 2,06%, turun dari bulan sebelumnya 2,18%. Kemudian inflasi inti sebesar 2,03% (yoy) naik dari bulan sebelumnya 1,84%.

Kenaikan inflasi inti tersebut menjadi kabar bagus sebab menunjukkan kenaikan harga item yang tidak volatil, sehingga ada indikasi daya beli masyarakat meningkat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasukan Rusia Konvoi Menuju Kyiv, Wall Street Kebakaran



Bursa saham AS (Wall Street) ambrol pada perdagangan Selasa waktu setempat setelah pasukan Rusia tertangkap kamera sedang konvoi menuju ibu kota Ukraina, Kyiv.

Indeks Dow Jones jeblok hingga 1,76% ke 33.294,956, kemudian S&P 500 merosot 1,55% ke 4.306,26, dan Nasdaq minus 1,59% ke 13.532,46.

Foto kamera satelit yang diambil oleh perusahaan Maxar Technologies AS menunjukkan konvoi besar pasukan Rusia menuju Kyiv. Panjang konvoi tersebut sekitar 65 kilometer, yang memicu kekhawatiran jatuhnya ibu kota Ukraina.

Pergerakan pasukan Rusia tersebut diperkirakan menjadi sinyal akan serangan yang militer yang lebih besar ke Kyiv dan kota besar lainnya dalam beberapa hari ke depan. Invasi yang dilakukan Rusia tersebut membuatnya dikenakan berbagai macam sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya, sehingga memicu volatilitas tinggi di pasar finansial global.

"Volatilitas meningkat setelah dinding kekhawatiran terus meningkat. Ketakpastian geopolitik, lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga acuan dan rusaknya tren harga teknikal memperberat sentimen dan harga saham," tutur Kepala Perencana Saham Bank Wealth Management Terry Sandven seperti dikutip CNBC International.

Salah satu sanksi yang diberikan yakni dikeluarkannya rusia dari SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication).

SWIFT merupakan jaringan pengiriman pesan yang digunakan oleh bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mengirim dan menerima informasi transaksi dengan cepat dan aman. Misalnya saja, instruksi pengiriman dana. Sistem ini juga yang berada di balik sebagian besar transaksi pembayaran dan pengiriman dana internasional.

SWIFT kini sudah mengkoneksikan lebih dari 11 ribu institusi keuangan di lebih dari 200 negara sehingga transaksi keuangan antar negara dapat dilaksanakan.

Namun, belum jelas bagaimana SWIFT akan diterapkan. Pejabat di Gedung Putih mengatakan Uni Eropa akan memfinalisasi secara spesifik bank-bank yang akan dikeluarkan dari SWIFT.

Apalagi, jika Rusia dikeluarkan dari SWIFT, Amerika Serikat dan Jerman dikatakan juga akan menderita kerugian.

"Amerika Serikat dan Jerman menjadi dua negara yang paling dirugikan jika Rusia terputus dari SWIFT, sebab keduanya paling sering menggunakan SWIFT untuk berkomunikasi dengan perbankan Rusia," tulis Maria Shagina ahli sanksi internasional, dalam sebuah artikel untuk Carnegie Moscow Center tahun lalu, sebagaimana dikutip CBC, Minggu (27/2).

Terbukti, saham-saham sektor finansial AS pun rontok. Saham Bank of America merosot 3,9%, Well Fargo 5,8%, dan Charles Schwab jeblok nyaris 8%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Jebloknya Wall Street yang merupakan kiblat bursa saham dunia tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar Asia pada hari ini. Memang, IHSG beberapa kali mampu "melawan gravitasi", tetapi melihat posisinya yang memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa kemarin, tentunya ada risiko aksi ambil untung (profit taking).

Seperti disebutkan sebelumnya, investor asing tercatat net buy Rp 1,7 triliun kemarin yang membuat IHSG nyaris menembus level 7.000.

Sepanjang pekan lalu investor asing tercatat melakukan net buy Rp 4,11 triliun, sementara dalam di bulan Februari net buy tercatat sebesar Rp 17,59 triliun.

Aksi borong tersebut terjadi meski perang Rusia dengan Ukraina sedang berkecamuk. Ibu kota Ukraina Kyiv kini berisiko jatuh melihat konvoi besar pasukan Rusia.

Wakil Perdana Menteri Inggris, Dominic Raab, mengatakan akan melakukan apa saja guna mencegah "Fall of Kyiv". Pasukan Rusia kini dikabarkan berada 17 mil dari Kyiv, tetapi masih belum diketahui secara pasti seberapa cepat serangan militer akan dilakukan.

Pentagon pun menyatakan jika Kremlin memang ingin menjatuhkan Kyiv.

"Setiap indikasi yang kami lihat menunjukkan mereka (Rusia) ingin mengambil alih Kyiv," kata pejabat senior Kementerian Pertahanan AS kepada CNBC International, Senin (28/1).

Lazimnya, ketika terjadi perang apalagi ditambah dengan berbagai sanksi ke Rusia, pelaku pasar akan menghindari aset-aset berisiko, Wall Street yang ambrol menjadi contohnya.

Nyatanya, invetor asing masih terus mengalirkan modalnya ke Indonesia. Jika itu terjadi lagi, maka ada peluang IHSG malah kembali menghijau.

Aliran modal asing tersebut juga bisa membantu rupiah untuk menguat, apalagi jika di pasar obligasi juga terjadi inflow.

Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan. Sepanjang bulan lalu hingga 24 Februari aliran modal asing masuk ke pasar obligasi cukup besar, sekitar Rp 10,34 triliun.

Capital inflow tersebut sekaligus membalikkan outflow sekitar Rp 4 triliun yang terjadi pada bulan Januari lalu. Dengan demikian sepanjang tahun ini (year-to-date) hingga 24 Februari lalu terjadi inflow lebih dari Rp 6 triliun di pasar obligasi.

Tetapi, di pasar primer minat terhadap obligasi Indonesia mengalami penurunan. Penawaran yang masuk (incoming bids) pada lelang yang dilakukan kemarin mengalami penurunan menjadi Rp 61,5 triliun, dibandingkan 15 Februari lalu sebesar Rp 76,8 triliun.

Jumlah yang dimenangkan oleh pemerintah mencapai Rp 19 triliun, lebih rendah dari target indikatif yang ditetapkan pemerintah sebelumnya sebesar Rp 23 triliun.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2) 

Perang yang dikobarkan Rusia juga membuat harga minyak mentah meroket. Sejak Kamis pekan lalu, minyak mentah jenis Brent melesat ke atas US$ 100/barel untuk pertama kalinya sejak 2014. Pada perdagangan Selasa, giliran minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) yang kembali ke atas tersebut.

Melansir data Refintiv, minyak WTI pada perdagangan Selasa meroket lebih 11% ke kisaran US$ 106/barel, dan kini lebih tinggi dari Brent yang kembali naik 4%.

WTI merupakan minyak mentah yang diperdagangkan di Amerika Serikat, kenaikan tajam harganya tentunya berisiko mengakselerasi inflasi yang saat ini sebesar 7,5%, tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Bank sentral AS (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga di bulan ini dikatakan dalam posisi yang rumit. Kenaikan inflasi perlu diredam dengan mengerek suku bunga lebih tinggi, tetapi hal itu berisiko memukul pertumbuhan ekonomi.

Ahli strategi pasar JP Morgan Aset Management, Hugh Gimber, mengatakan konflik di Ukraina akan lebih memberikan tekanan bagi bank sentral, dan risiko kesalahan mengambil kebijakan menjadi semakin besar.

"Kita tahu, memasuki tahun 2022 bank sentral menghadapi situasi yang sulit untuk bisa mengambil kebijakan yang seimbang. Terlalu cepat menaikkan suku bunga akan berdampak pelambatan ekonomi yang dalam, sebaliknya terlalu lambat menaikkan suku bunga inflasi dalam jangka menengah bisa lepas kendali," kata Gimber kepada CNBC International, Selasa (22/2).

Gimber menambahkan invasi yang dilakukan Rusia bisa membuat bank sentral semakin pusing, sebab harga energi akan terus naik dan mendorong inflasi. Menurutnya, bank sentral akan lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada secara agresif menaikkan suku bunga guna melandaikan inflasi.

Dengan kondisi tersebut, perhatian pasar hari ini akan tertuju pada testimoni ketua The Fed, Jerome Powell, di hadapan Kongres AS. Testimoni tersebut dilakukan pada malam nanti waktu Indonesia, sehingga baru akan berdampak pada perdagangan Jumat, mengingat besok libur Hari Raya Nyepi.

Sementara itu kenaikan harga minyak mentah akan berdampak ke Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, Ekonom Bank Permata, Josua Pardede memperkirakan tekanannya tidak akan begitu besar. Sebab Indonesia masih ekspor minyak dan gas, sehingga ketika ada kenaikan harga maka bisa berdampak positif terhadap penerimaan.

"Di nota keuangan APBN 2022 di sini pemerintah bikin simulasi, setiap kenaikan minyak mentah RI, naik 1 dolar AS per barel akan dongkrak penerimaan PPnBM dan PPh Migas Rp 3 triliun," jelasnya kepada CNBC Indonesia.

"Di sisi lain memang spending akan meningkat Rp 2,6 triliun. Tapi net-nya masih ada Rp 400 miliar efek surplus ke APBN," tambah Josua.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berikut Data Ekonomi dan Agenda Emiten

Berikut beberapa agenda data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Public expose ZBRA
  • Rapat Umum Pemegang Saham DGNS, BBTN, ZBRA dan BRPT
  • Data pertumbuhan ekonomi Australia (7:30 WIB)
  • Inflasi zona euro (17:00 WIB)
  • Data tenaga kerja AS versi ADP (20:15)
  • Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Kanada (22:00 WIB)
  • Testimoni ketua The Fed (22:30)
  • Pertemuan OPEC-JMCC

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular