Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga acuan bulan ini. Risiko tekanan terhadap nilai tukar rupiah sepertinya jadi pertimbangan utama.
Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Desember 2021 pada 15-16 Desember 2021. Selain menentukan suku bunga acuan, RDG juga memberikan penilaian atas kondisi perekonomian terkini baik global maupun nasional.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan MH Thamrin tetap mempertahankan suku bunga acuan 3,5%. Dari 10 institusi yang terlibat, semuanya sepakat bulat. Tidak ada yang mbalelo, tidak ada dissenting opinion.
Jika ekspektasi ini terwujud, maka BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah berada di 3,5% sejak Februari 2021. Suku bunga acuan 3,5% adalah yang terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Tidak seperti Turki, kebijakan moneter Indonesia masih pruden. Demi menyenangkan hati Presiden Recep Tayyip Erdogan, bank sentral Turki memangkas suku bunga habis-habisan di tengah inflasi yang tinggi. Maklum, Erdogan punya prinsip bahwa suku bunga tinggi adalah 'setan'.
Akibatnya, nilai tukar mata uang lira Turki merosot habis-habisan. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), lira menyentuh titik terlemah sepanjang sejarah.
Syukurlah BI tidak seperti itu. Inflasi Tanah Air memang masih terjaga rendah, di bawah 2%. Namun bukan berarti BI gegabah dan semena-mena menurunkan suku bunga.
BI tetap berpegang kepada khittah-nya sesuai amanat undang-undang, yaitu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Pedoman ini dipegang teguh dan tercemin dari kebijakan suku bunga acuan.
Dalam beberapa bulan terakhir, BI selalu menyatakan bahwa menjaga stabilitas rupiah adalah kunci. Ini terlihat dari pernyataan Gubernur Perry dalam konferensi pers usai RDG.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17-18 November 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%. Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan, di tengah prakiraan inflasi yang rendah dan upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," sebut Perry dalam jumpa pers bulan lalu.
Halaman Selanjutnya --> Ancaman Terhadap Rupiah Bukan Kaleng-kaleng
Risiko tekanan terhadap rupiah memang tidak main-main. Kebijakan moneter bank sentral di berbagai negara sedang menuju normalisasi, mengarah ke ketat setelah ekonomi mulai bangkit dari hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Perkembangan yang paling menyedot perhatian tentu arah kebijakan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Mulai bulan lalu, bank sentral pimpinan Jerome 'Jay' Powell tersebut sudah mengurangi pembelian aset atau tapering off.
Pada masa pandemi virus corona, The Fed menggelontorkan likuiditas US$ 120 miliar per bulan dalam bentuk pembelian surat berharga. Mulai bulan lalu, jumlahnya dikurangi US$ 15 miliar.
Awalnya tapering diperkirakan sebesar US$ 15 miliar per bulan sehingga program pembelian aset akan berakhir pada pertengahan 2022. Namun sekarang ada wacana tapering akan berlangsung lebih cepat.
"Ancaman saat ini adalah inflasi yang terlalu tinggi. Sudah saatnya The Fed bereaksi. Inflasi sudah cukup tinggi sehingga saya rasa (mengakhiri tapering pada Maret 2022) akan sangat membantu," ungkap James Bullard, Presiden The Fed St Louis, seperti dikutip dari Reuters.
Tapering saja sudah membuat ketar-ketir. Pembelian aset (quantitative easing) selama ini membuat likuiditas melimpah. Istilahnya, ada 'hujan duit' yang merembes hingga ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kini 'hujan duit' itu mulai berkurang, dan bahkan bisa sepenuhnya reda dalam tiga bulan ke depan. Jadi aliran modal asing ke pasar keuangan negara-negara berkembang tidak akan sederas dulu, yang tentu akan mempengaruhi stabilitas rupiah.
Halaman Selanjutnya --> BI Jaga Indonesia Tetap 'Seksi'
Saat tapering selesai, selanjutnya The Fed tentu akan mulai memikirkan kenaikan suku bunga acuan. Apalagi kalau inflasi Negeri Paman Sam terus-terusan tinggi, kebutuhan untuk menaikkan suku bunga atas nama pengendalian inflasi menjadi lebih mendesak.
Saat suku bunga AS naik, pasar keuangan Negeri Adidaya akan semakin menarik. Arus modal akan berkerumun di sana dan negara-negara lain hanya kebagian 'remah rengginang'. Lagi-lagi ini menjadi risiko besar buat rupiah.
Oleh karena itu, BI harus menjaga agar pasar keuangan Ibu Pertiwi tetap atraktif. Salah satunya adalah dengan kebijakan suku bunga.
Melihat inflasi domestik yang rendah, mungkin bisa saja BI menurunkan suku bunga acuan. Namun penurunan suku bunga acuan akan membuat pasar keuangan Tanah Air menjadi kurang 'seksi' bagi investor, terutama asing. Arus modal yang datang akan semakin seret dan rupiah kian terancam. Jangan sampai rupiah bernasib seperti lira.
Menaikkan suku bunga juga bukan pilihan bijak, mengingat ekonomi Nusantara masih butuh dorongan untuk tumbuh setelah babak belur akibat pandemi. Mungkin tahun depan, setelah ekonomi mulai stabil dan tekanan inflasi mulai muncul BI bisa mulai berpikir menaikkan suku bunga acuan.
Jadi untuk saat ini, menahan suku bunga acuan di 3,5% adalah langkah yang paling masuk akal. Naik belum saatnya, turun bisa ambyar...
TIM RISET CNBC INDONESIA