Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan. Namun dengan tekanan inflasi domestik yang makin terasa, plus aura normalisasi kebijakan moneter global, bukan tidak mungkin MH Thamrin bakal mempercepat kenaikan suku bunga acuan.
Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Februari 2022 pada 9-10 Februari 2022. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5%. Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus sepakat bulat, tidak ada yang berbeda pendapat.
Jika terwujud, maka suku bunga acuan akan genap setahun berada di 3,5%, tidak pernah berubah. Sejak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) menyerang Tanah Air, BI sudah memotong suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin (bps).
Namun tahun ini sepertinya BI sudah tidak bisa menahan suku bunga acuan di titik terendah sepanjang sejarah tersebut. Aura kenaikan suku bunga global begitu terasa, sehingga BI sulit untuk melawan arus.
Bank sentral Inggris (BoE) menjadi bank sentral negara maju pertama yang menaikkan suku bunga acuan pada era pandemi Covid-19. Tidak tanggung-tanggung, Gubernur Andrew Bailey dan kolega menaikkan suku bunga acuan dua bulan beruntun, sesuatu yang tidak pernah terjadi sejak 2004.
Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed pun diperkirakan segera menaikkan suku bunga acuan. Mengutip CME FedWatch, probabilitas Federal Funds Rate naik 25 bps ke 0,25-0,5% dalam rapat Komite Pengambil Keputusan (Federal Open Market Committee/FOMC) 16 Maret 2022 mencapai 71,2%.
 Sumber: CME FedWatch |
Apabila suku bunga acuan Ibu Pertiwi tetap bertahan rendah, maka pertaruhannya adalah nilai tukar rupiah. Investor, terutama asing, tentu melihat perbedaan suku bunga dan imbalan investasi ketika memutuskan untuk masuk ke Indonesia.
Jika suku bunga Indonesia rendah, maka minat untuk masuk akan berkurang. Indonesia harus tetap atraktif agar arus modal tetap mengalir dan menopang stabilitas nilai tukar rupiah. Caranya adalah dengan ikut menaikkan suku bunga acuan.
Pertanyaannya bukan apakah BI bakal menaikkan suku bunga acuan atau tidak. It's a matter of when, kapankah BI bakal mengerek suku bunga acuan?
"Jika inflasi domestik semakin tinggi dan tekanan eksternal lebih besar dari perkiraan, maka kami memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan hingga 50 bps pada kuartal III-2022," sebut Irman Faiz, Ekonom Bank Danamon.
"Perkiraan base case kami adalah inflasi akan menyentuh batas atas proyeksi BI yakni 4% pada semester II-2022. Saat itulah BI akan menaikkan suku bunga dua kali masing-masing 25 bps," tulis Helmi Arman, Ekonom Citi.
Selain faktor eksternal yaitu tren kenaikan suku bunga global, elemen domestik yaitu inflasi juga akan menjadi pertimbangan utama BI dalam menentukan kebijakan suku bunga. Tidak seperti 2020 dan 2021, sepertinya 2022 adalah tahun di mana inflasi sudah kembali.
Kalau ke depan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) semakin longgar, maka permintaan pasti akan naik karena aktivitas dan mobilitas masyarakat sudah pulih. Likuiditas yang berlebih selama pandemi akan tumpah-ruah ke perekonomian dan menciptakan inflasi dari sisi permintaan (demand-pulled inflation).
Selain itu, ada pula tekanan inflasi yang berasal dari kenaikan harga barang dan jasa yang diatur pemerintah. Awal tahun ini, pemerintah menaikkan harga Epiji non-subsidi. Tarif cukai rokok pun naik. Belum lagi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga bakal naik dari 10% menjadi 11% mulai bulan depan.
"Kami memperkirakan inflasi akan mencapai 3% tahun ini. BI mungkin akan memandang perlunya bersikap tegas di tengah situasi global yang menantang.
"BI sudah mengumumkan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) yang akan berlaku Maret 2022. Pernyataan BI yang cenderung hawkish akhir-akhir ini membuat kenaikan suku bunga acuan bisa dipercepat, mungkin kuartal II-2022," jelas Radhika Rao, Ekonom Senior DBS, dalam risetnya.
Saat inflasi meninggi, suku bunga memang seyogianya dinaikkan. Inflasi menandakan penurunan nilai uang, karena likuiditas yang beredar terlampau banyak.
Oleh karena itu, suku bunga semestinya naik untuk 'menyedot' uang yang terlalu banyak beredar. Saat uang yang beredar berkurang, maka nilainya tidak lagi terlalu 'murah' dan bisa mengikuti laju harga barang dan jasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA