Jakarta, CNBC Indonesia - Indikasi bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) akan menormalisasi kebijakan moneternya lebih cepat semakin menguat di pekan ini.
Sejak pekan lalu, beberapa pejabat elit The Fed menyuarakan untuk mempercepat laju tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang sudah dimulai bulan ini dan menaikkan suku bunga lebih awal guna meredam kenaikan inflasi yang berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.
Pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 80% The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Juni 2022, lebih cepat dari sebelumnya semester II-2022.
Hal tersebut terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group, dimana ada probabilitas sebesar 19,5% saja The Fed mempertahankan suku bunga di 0% - 0,25%. Sementara probabilitas menaikkan suku bunga lebih dari 80%, yang dibagi menjadi beberapa basis poin kenaikan.
 Foto: CME Group |
Untuk kenaikan 25 basis poin (0,25%) menjadi 0,25% - 0,5% probabilitasnya paling tinggi, yakni sebesar 43,4%. Kemudian kenaikan 50 basis poin peluangnya sebesar 30%.
Artinya, peluang The Fed menaikkan suku bunga di Juni 2022 memang cukup besar, apalagi jika nanti inflasi di AS masih terus tinggi.
Di sisi lain, inflasi Indonesia masih rendah. Pada bulan Oktober, inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) tumbuh 1,66%, dan inflasi inti tumbuh 1,33% YoY, di bawah bawah target Bank Indonesia (BI) di 2% - 4%.
Artinya tekanan bagi BI untuk menaikkan suku bunga dari inflasi bisa dikatakan nihil. Namun di sisi lain, jika The Fed menaikkan suku bunga lebih cepat, ada risiko terjadi capital outflow dan membuat rupiah tertekan.
Lantas, apakah Gubernur BI, Perry Warjiyo, akan kembali ahead the curve?
Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur Perry pada tahun 2018 lalu.
"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptif dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali," papar Perry saat menaikkan suku bunga pada Mei 2018.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan The Fed. Perry kala itu agresif dan mendahului kenaikan suku bunga.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kondisi Saat Ini Berbeda dari 2018, Ahead The Curve Belum Perlu?
Tetapi kondisi saat ini sedikit berbeda, di tahun 2018 rupiah mengalami tekanan hebat akibat rencana The Fed menaikkan suku bunga 3 hingga 4 kali.
Sementara saat ini, nilai tukar rupiah masih cukup stabil meski The Fed sudah melakukan tapering di bulan ini, bahkan saat pasar melihat suku bunga akan dinaikkan di bulan Juni 2022.
Sepanjang bulan ini hingga Kamis (25/11) kemarin, rupiah hanya melemah 0,7% saat indeks dolar AS melesat 2,8% dan berada di level tertinggi sejak Juni 2020. Mata uang emerging market memang cukup kuat melawan dolar AS, rupee India misalnya malah menguat 0,4%.
Sementara hot currency seperti euro dan poundsterling anjlok masing-masing nyaris 3% sepanjang bulan ini melawan dolar AS.
Melihat pergerakan mata uang tersebut, dolar AS menguat tajam melawan mata uang negara dengan imbal hasil (yield) obligasi yang rendah. Sementara penguatan dolar AS tidak terlalu besar, bahkan masih melemah melawan mata uang negara emerging market dengan yield yang tinggi.
Artinya, Indonesia masih memiliki keunggulan yield yang cukup menarik sehingga bisa mencegah terjadinya capital outflow dari pasar obligasi yang besar. Meski sepanjang bulan ini hingga 23 November, sudah terjadi capital outflow lebih dari Rp 24 triliun di pasar obligasi, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Yield obligasi (Surat Berharga Negara/SBN) tenor 10 tahun berada di kisaran 6,2%. Dengan inflasi Indonesia yang masih di bawah 2%, maka riil yield masih di atas 4%.
Dibandingkan dengan Amerika Serikat dengan yield obligasi (Treasury) tenor 10 tahun berada di kisaran 1,6%, dengan inflasi mencapai 6,2% YoY di bulan Oktober lalu, riil yield justru minus lebih dari 4%.
Artinya, meski The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (0,25%) di bulan Juni menjadi 0,25% - 0,5%, dan memicu kenaikan yield Treasury, riil yield masih akan minus jika inflasi di AS masih tetap tinggi.
Memang, sebagai negara emerging market yield yang diberikan kepada investor pasti lebih tinggi guna menarik investasi. Tetapi, selisih riil yield antara Indonesia dengan Amerika Serikat saat ini memang cukup besar karena faktor inflasi.
Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat rupiah masih stabil di meski The Fed sudah melakukan tapering dan kemungkinan akan menaikkan suku bunga di bulan Juni.
Artinya, selama nilai tukar rupiah stabil dan tidak terjadi capital outflow yang besar di pasar obligasi, kebijakan ahead the curve kemungkinan tidak akan dilakukan. Perekonomian Indonesia masih memerlukan suku bunga rendah untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang dihantam pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
TIM RISET CNBC INDONESIA