The Fed Segera Kerek Suku Bunga, BI Bakal Ahead The Curve?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 November 2021 14:50
Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan, Bulan November 2021. (Tangkapan Layar Youtube)
Foto: Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan, Bulan November 2021. (Tangkapan Layar Youtube)

Tetapi kondisi saat ini sedikit berbeda, di tahun 2018 rupiah mengalami tekanan hebat akibat rencana The Fed menaikkan suku bunga 3 hingga 4 kali.

Sementara saat ini, nilai tukar rupiah masih cukup stabil meski The Fed sudah melakukan tapering di bulan ini, bahkan saat pasar melihat suku bunga akan dinaikkan di bulan Juni 2022.

Sepanjang bulan ini hingga Kamis (25/11) kemarin, rupiah hanya melemah 0,7% saat indeks dolar AS melesat 2,8% dan berada di level tertinggi sejak Juni 2020. Mata uang emerging market memang cukup kuat melawan dolar AS, rupee India misalnya malah menguat 0,4%.

Sementara hot currency seperti euro dan poundsterling anjlok masing-masing nyaris 3% sepanjang bulan ini melawan dolar AS.

Melihat pergerakan mata uang tersebut, dolar AS menguat tajam melawan mata uang negara dengan imbal hasil (yield) obligasi yang rendah. Sementara penguatan dolar AS tidak terlalu besar, bahkan masih melemah melawan mata uang negara emerging market dengan yield yang tinggi.

Artinya, Indonesia masih memiliki keunggulan yield yang cukup menarik sehingga bisa mencegah terjadinya capital outflow dari pasar obligasi yang besar. Meski sepanjang bulan ini hingga 23 November, sudah terjadi capital outflow lebih dari Rp 24 triliun di pasar obligasi, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.

Yield obligasi (Surat Berharga Negara/SBN) tenor 10 tahun berada di kisaran 6,2%. Dengan inflasi Indonesia yang masih di bawah 2%, maka riil yield masih di atas 4%.

Dibandingkan dengan Amerika Serikat dengan yield obligasi (Treasury) tenor 10 tahun berada di kisaran 1,6%, dengan inflasi mencapai 6,2% YoY di bulan Oktober lalu, riil yield justru minus lebih dari 4%.

Artinya, meski The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (0,25%) di bulan Juni menjadi 0,25% - 0,5%, dan memicu kenaikan yield Treasury, riil yield masih akan minus jika inflasi di AS masih tetap tinggi.

Memang, sebagai negara emerging market yield yang diberikan kepada investor pasti lebih tinggi guna menarik investasi. Tetapi, selisih riil yield antara Indonesia dengan Amerika Serikat saat ini memang cukup besar karena faktor inflasi.

Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat rupiah masih stabil di meski The Fed sudah melakukan tapering dan kemungkinan akan menaikkan suku bunga di bulan Juni.

Artinya, selama nilai tukar rupiah stabil dan tidak terjadi capital outflow yang besar di pasar obligasi, kebijakan ahead the curve kemungkinan tidak akan dilakukan. Perekonomian Indonesia masih memerlukan suku bunga rendah untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang dihantam pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular