Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ kemudian terus melemah hingga mencapai puncaknya pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Jebloknya kinerja rupiah berdampak besar dan buruk bagi Indonesia. Inflasi menjadi meroket hingga ke atas 8%.
Inflasi yang tinggi pun memakan korban, daya beli masyarakat menurun yang pada akhirnya berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Dampak normalisasi kebijakan moneter The Fed beberapa tahun lalu tersebut bisa menjadi gambaran risiko yang akan dihadapi Indonesia saat Jerome Powell dan kolega mulai mengerek suku bunga di tahun ini.
Dini hari tadi The Fed mengumumkan kebijakan moneternya dan mengindikasikan akan lebih agresif di tahun ini.
"Dengan inflasi jauh di atas 2% dan pasar tenaga kerja yang kuat, Komite (Federal Open Market Committee/FOMC) memperkirakan akan tetap untuk segera menaikkan rentang target suku bunga (Federal Funds Rate/FFR)," tulis pernyataan The Fed.
Sejak pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) melanda, The Fed membabat suku bunganya hingga menjadi 0% - 0,25%. Dengan pengumuman kali ini, pasar semakin yakin FFR akan dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% di bulan Maret.
Tidak hanya itu, The Fed juga diperkirakan bisa menaikkan suku bunga lebih dari 3 kali di tahun ini melihat pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell yang menyebut inflasi masih berisiko meninggi.
"Risiko inflasi masih naik dalam pandangan FOMC begitu juga dengan pandangan pribadi saya. Ada risiko cukup besar inflasi yang kita alami saat ini akan berlangsung dalam waktu yang lama. Ada juga risiko inflasi akan semakin tinggi. Kami harus berada pada posisi di mana kebijakan moneter bisa mengatasi semua kemungkinan yang ada," kata Powell dalam konferensi pers usai pengumuman kebijakan moneter, sebagaimana dilansir CNBC International.
Bank investasi ternama, Goldman Sachs sudah memprediksi Jerome Powell akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, bahkan tidak menutup kemungkinan lebih banyak lagi akibat tingginya inflasi di Amerika Serikat.
Tidak hanya mengerek suku bunga, The Fed juga mengkonfirmasi akan mengurangi nilai neracanya (balance sheet) di tahun ini
Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan kebijakan program pembelian obligasi (quantitave easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Nilai QE tersebut sudah dikurangi (tapering) sejak bulan November lalu, dan akan berakhir pada Maret nanti.
QE pertama kali dilakukan pada Maret 2020, artinya sudah berlangsung selama 2 tahun yang membuat neraca The Fed melonjak menjadi nyaris US$ 9 triliun.
Besarnya nilai neraca tersebut yang akan mulai dikurangi oleh The Fed, artinya obligasi yang dimiliki akan dilepas sehingga menyerap kembali likuiditas.
Dalam pernyataannya dini hari tadi, The Fed mengatakan pengurangan nilai neraca bisa dilakukan setelah suku bunga dinaikkan dan itu akan dilakukan "dengan cara yang dapat diprediksi".
Ketua The Fed juga mengkonfirmasi akan mengurangi nilai neracanya, tetapi tidak menyebutkan waktu yang spesifik.
"Neraca secara substansial lebih besar dari seharusnya. Perlu dilakukan pengurangan secara substansial dan itu akan memerlukan waktu. Kami ingin proses tersebut dilakukan dengan teratur dan dapat diprediksi," kata Powell.
Sementara itu Goldman Sachs sebelumnya memprediksi The Fed akan mengurangi neracanya sebesar US$ 100 miliar per bulan. Pengurangan tersebut diperkirakan akan dimulai pada bulan Juli dan akan berlangsung selama dua hingga dua setengah tahun, yang membuat neraca The Fed nantinya senilai US$ 6.1 triliun hingga 6.6 triliun.
Langkah The Fed kali ini jauh lebih agresif ketimbang normalisasi yang dilakukan pasca krisis finansial global 2008. Pada pertengahan 2013, The Fed mulai mewacanakan normalisasi kebijakan moneter dengan melakukan tapering.
Tapering pada akhirnya dimulai awal 2014 dan selesai di bulan Oktober 2014. Setelahnya suku bunga baru dinaikkan pada Desember 2015. Artinya, ada jeda lebih dari satu tahun, begitu juga dengan pengurangan nilai neraca yang mulai dilakukan pada 2018.
Kali ini, The Fed sangat amat lebih agresif, tapering akan selesai pada bulan Maret dan suku bunga kemungkinan dinaikkan saat itu juga, begitu juga neraca yang kemungkinan akan dikurangi di waktu yang sama.
"The Fed berencana mengurangi nilai neracanya setelah suku bunga mulai dinaikkan, pengumuman tersebut mengindikasikan hal itu bisa dilakukan pada rapat kebijakan moneter di bulan Maret, yang sedikit lebih hawkish dari perkiraan kami," kata Michael Pearce, ekonom senior di Capital Economics.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> IMF Sebut Indonesia dalam Posisi yang Bagus Hadapi Normalisasi The Fed
Bank Indonesia (BI) pada pekan lalu juga memberikan kejutan. BI memberikan kejutan dengan mulai menaikkan Giro Wajib Minum (GWM) secara bertahap pada Maret, Juni dan September hingga menjadi 6,5% dari saat ini 3,5%. Kebijakan ini tentu akan mengurangi likuiditas di perbankan.
Kenaikan GWM tiga kali pada 2022, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, diperkirakan 'menyedot' likuiditas sekitar Rp 200 triliun dari sistem perbankan. Jumlah itu diyakini masih bisa membuat perbankan punya ruang untuk 'bernapas', sebab likuiditas saat ini dikatakan masih sangat longgar.
Cheng Hoon Lim, Indonesia Mission Chief, Asia and Pacific Department, IMF dalam konferensi pers, Rabu (26/1) mengatakan kenaikan GWM merupakan langkah awal pengetatan moneter yang dilakukan BI untuk mengantisipasi normalisasi kebijakan yang akan dilakukan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed).
"Jadi kami pikir ini adalah langkah pertama menuju normalisasi sistem perbankannya untuk mengantisipasi pengetatan Fed," pungkasnya.
Menurut Cheng, Indonesia berada dalam posisi yang kuat dalam menghadapi pengetatan moneter The Fed.
"Posisi eksternal Indonesia sangat kuat. Jadi ketika Fed melakukan pengetatan, kami tidak melihat aliran modal keluar yang signifikan. Karena transaksi berjalan sangat kuat," kata Cheng.
Transaksi berjalan Indonesia tercatat surplus US$ 4,5 miliar atau sekitar 1,5% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal III-2021. Hal ini berbeda dibandingkan 2013 dimana kondisi eksternal Indonesia sangat rapuh.
Kemudian keberadaan asing di dalam negeri, seperti pasar surat berharga negara (SBN) sangat kecil. Kini hanya berkisar 20%, sedangkan sebelum pandemi covid-19 bisa mencapai di atas 30% dan lebih dari 40% di tahun 2013.
Cheng menyampaikan, kini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia mulai menormalkan kembali kebijakannya. Termasuk bagi Bank Indonesia (BI) yang kebijakannya sangat longgar dalam dua tahun terakhir.
"Indonesia berada dalam posisi yang baik untuk secara bertahap menormalkan kebijakannya dan secara bertahap menyesuaikan sikap moneternya ketika Fed mengetatkan," ujarnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA