Polling CNBC Indonesia

Dear BI, Please Jangan Ikut-ikutan Negeri Erdogan...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 December 2021 09:34
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Risiko tekanan terhadap rupiah memang tidak main-main. Kebijakan moneter bank sentral di berbagai negara sedang menuju normalisasi, mengarah ke ketat setelah ekonomi mulai bangkit dari hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Perkembangan yang paling menyedot perhatian tentu arah kebijakan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Mulai bulan lalu, bank sentral pimpinan Jerome 'Jay' Powell tersebut sudah mengurangi pembelian aset atau tapering off.

Pada masa pandemi virus corona, The Fed menggelontorkan likuiditas US$ 120 miliar per bulan dalam bentuk pembelian surat berharga. Mulai bulan lalu, jumlahnya dikurangi US$ 15 miliar.

Awalnya tapering diperkirakan sebesar US$ 15 miliar per bulan sehingga program pembelian aset akan berakhir pada pertengahan 2022. Namun sekarang ada wacana tapering akan berlangsung lebih cepat.

"Ancaman saat ini adalah inflasi yang terlalu tinggi. Sudah saatnya The Fed bereaksi. Inflasi sudah cukup tinggi sehingga saya rasa (mengakhiri tapering pada Maret 2022) akan sangat membantu," ungkap James Bullard, Presiden The Fed St Louis, seperti dikutip dari Reuters.

Tapering saja sudah membuat ketar-ketir. Pembelian aset (quantitative easing) selama ini membuat likuiditas melimpah. Istilahnya, ada 'hujan duit' yang merembes hingga ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Kini 'hujan duit' itu mulai berkurang, dan bahkan bisa sepenuhnya reda dalam tiga bulan ke depan. Jadi aliran modal asing ke pasar keuangan negara-negara berkembang tidak akan sederas dulu, yang tentu akan mempengaruhi stabilitas rupiah.

Halaman Selanjutnya --> BI Jaga Indonesia Tetap 'Seksi'

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular