Newsletter

Corona Rekor Lagi, Jokowi Putuskan Tidak Pilih Lockdown

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 June 2021 05:55
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terkoreksi.

Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,88%. Koreksi ini membuat IHSG menjadi indeks saham paling lemah di Asia.

Total volume perdagangan melibatkan 24,15 miliar unit saham dengan frekuensi 1,22 juta kali bernilai Rp 11,94 triliun. Investor asing membukukan jual bersih Rp 406,12 miliar di pasar reguler.

Arus modal keluar ini membuat rupiah tertekan. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air terdepresiasi 0,21%. Dolar AS kembali ke atas Rp 14.400.

Mata uang Asia lainnya bergerak variatif. Namun rupiah jadi yang terlemah di antara mereka.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata yang utama Benua Kuning di perdagangan pasar pada pukul 04:09 WIB:

Halaman Selanjutnya --> Data Ekonomi Campur Aduk, Wall Street Galau

Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama ditutup bervariasi cenderung melemah. S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) terpangkas masing-masing 0,21% dan 0,11%, tetapi Nasdaq Composite bertambah 0,13%. Nasdaq kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam yang campur aduk membuat investor bimbang menentukan langkah. Akibatnya, bursa saham New York hanya mampu bergerak tipis-tipis.

IHS Markit mengumumkan data pembacaan awal (flash reading) angka Purchasing Managers' Index (PMI) periode Juni 2021. PMI manufaktur AS diperkirakan berada di 62,6, skor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan yang dimulai pada Oktober 2009.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka tandanya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi.

"Indikator PMI menunjukkan pertumbuhan yang impresif pada bulan ini, menutup kinerja kuartal II-2021 yang sangat menggembirakan. Pemesanan baru (new orders) terus tumbuh, meski melambat, di tengah keterbatasan kapasitas dunia usaha.

"Ini menyebabkan harga barang dan jasa naik sangat tinggi, karena kurangnya pasokan semakin terasa. Dunia usaha masih terus mencoba untuk memenuhi permintaan akibat stok yang semakin berkurang. Kuartal II-2021 mungkin akan menjadi puncak pertumbuhan ekonomi, tetapi sepertnya tidak untuk inflasi," sebut Chris Williamson, Chied Business Economist IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Namun di sisi lain, ada data yang bernada sebaliknya. Penjualan rumah baru pada Mei 2021 tercatat 769.000 unit, turun 5,9% dibandingkan bulan sebelumnya dan menjadi angka terendah sejak Mei tahun lalu.

Penurunan penjualan disebabkan oleh harga yang naik. Rata-rata harga rumah baru di AS pada Mei 2021 adalah US$ 374.000 (sekira 5,4 miliar dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.454 seperti kurs tengah Bank Indonesia 23 Juni 2021), melonjak 18,1% dibandingkan Mei 2020. Harga ini sudah di luar kemampuan sejumlah calon pembeli rumah pertama.

"Dua data tersebut menimbulkan perdebatan di pasar. Apakah tekanan inflasi yang terjadi saat ini temporer saja atau permanen? Saya memperkirakan keraguan ini akan berlanjut hingga musim laporan keuangan selanjutnya," kata JJ Kinahan, Chief Market Strategist di TD Ameritrade, seperti dikutip dari Reuters.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street. Kegalauan di New York dikhawatirkan bakal menular ke Asia, investor bakal bingung menentukan ke mana arah perdagangan. Ini tentu bukan kabar baik bagi IHSG dan rupiah.

Sentimen kedua adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Ada tendensi dolar AS bangkit lagi, di mana Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,1% pada pukul 02:49 WIB.

Penyebab kebangkitan dolar AS adalah kembalinya isu seputar pengetatan kebijakan alias tapering off oleh bank sentral The Federal Reserve/The Fed. Dua pejabat teras The Fed, Raphael Bostic (Presiden The Fed Atlanta) dan Michelle Bowman (Anggota Dewan Gubernur The Fed), menyatakan tekanan inflasi boleh saja cuma sementara. Namun dampaknya akan terasa dalam waktu lebih lama dari perkiraan sebelumnya.

"Berbagai data terbaru membuat saya memajukan proyeksi (kenaikan suku bunga acuan). Saya memperkirakan suku bunga sudah perlu naik pada akhir 2022. Meski temporer, tekanan inflasi akan terjadi dalam waktu yang lebih lama dari perkiraan. Bukan hanya 2-3 bulan tetapi bisa 6-9 bulan," ungkap Bostic, sebagaimana diwartakan Reuters.

"Saya setuju bahwa tekanan inflasi disebabkan oleh keterbatasan pasokan dan peningkatan permintaan akibat pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening). Jika situasi sudah lebih stabil, lebih seimbang, tekanan ini memang akan berkurang. Namun saya sulit memperkirakan kapan itu terjadi, yang jelas akan memakan waktu," tambah Bowman, juga dikutip dari Reuters.

Pernyataan Bostic dan Bowman membuat hantu' taper tantrum yang sempat pergi kini datang lagi. Dibayangi oleh potensi kenaikan suku bunga, investor berpaling ke dolar AS karena ada harapan berinvestasi di mata uang ini akan memberikan cuan gede.

Apabila penguatan dolar AS berlanjut, maka rupiah akan sulit untuk bangkit. Bukan tidak mungkin mata uang Ibu Pertiwi kembali terdepresiasi.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Data terbaru menunjukkan pandemi semakin ganas.

Kementerian Kesehatan melaporkan, jumlah pasien positif corona di Indonesia per 23 Juni 2021 adalah 2.033.421 orang. Bertambah 15.308 orang dari hari sebelumnya, rekor tertinggi penambahan pasien harian sejak kasus perdana diumumkan pada awal Maret tahun lalu.

Dalam 14 hari terakhir, rata-rata pasien positif corona bertambah 11.169 orang per hari. Melonjak tajam dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 6.131 orang.

Angka kasus aktif terus bertambah. Kasus aktif adalah jumlah pasien yang masih dalam perawatan, baik di fasilitas kesehatan maupun mandiri. Data ini mencerminkan seberapa berat beban yang ditanggung oleh sistem pelayanan kesehatan.

Per 23 Juni 2021, angka kasus aktif ada di 160.524 orang. Naik dibandingkan hari sebelumnya yang sebanyak 152.686 orang dan menjadi yang tertinggi sejak 13 Februari 2021.

coronaSumber: Worldometer

Lonjakan kasus corona membuat pemerintah mengetatkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatam Masyarakat (PPKM). Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum memilih opsi karantina wilayah atau lockdown untuk menekan penyebaran virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. Menurut Kepala Negara, PPKM bila dijalankan secara murni dan konsekuen akan mampu membatasi aktivitas masyarakat tanpa mengorbankan aspek ekonomi.

"Pemerintah telah memutuskan PPKM Mikro masih menjadi kebijakan paling tepat untuk hentikan laju penularan. Pemerintah melihat bahwa kebijakan PPKM Mikro masih menjadi yang kebijakan yang paling tepat untuk konteks saat ini karena bisa berjalan tanpa mematikan ekonomi rakyat.

"Saya sampaikan bahwa PPKM Mikro dan lockdown memiliki esensi yang sama yaitu membatasi kegiatan masyarakat. Untuk itu tidak perlu dipertentangkan. Jika PPKM mikro terimplementasi dengan baik, tindakan-tindakan di lapangan yang terus diperkuat, semestinya laju kasus bisa terkendali," jelas Jokowi.

Entah karena pengetatan PPKM atau karena kesadaran sendiri, aktivitas warga di luar rumah mulai berkurang. Di tempat perbelanjaan ritel dan rekreasi, misalnya, kunjungan masyarakat kembali di bawah hari-hari sebelum pandemi. Sebelumnya, tingkat kunjungan sempat berada lebih dari hari biasa sebelum pandemi.

Masyarakat pun lambat laun mulai kembali #dirumahaja. Terlihat aktivitas di rumah meningkat, pertanda orang-orang tidak keluar.

Apabila situasi terus memburuk dan masyarakat semakin takut untuk keluar rumah, maka kekhawatiran ekonomi bakal 'mati suri' adalah hal yang nyata. Indonesia mungkin bisa terbebas dari jerat resesi ekonomi pada kuartal II-2021, tetapi entah bagaimana nasib kuartal-kuartal berikutnya. Risiko resesi kambuh lagi sepertinya belum bisa dihapus dari daftar.

Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Untuk mengakses data pasar terkini, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular