
Corona Durjana! Prancis Sampai Tetapkan Darurat Nasional

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data perdagangan internasional periode September. Sepertinya neraca perdagangan lagi-lagi akan membukukan surplus yang cukup besar.
Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi atau tumbuh negatif nyaris 8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Sementara impor diperkirakan ambles 25,15% YoY. Ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 2,06 miliar.
Jika sesuai dengan ekspektasi, maka surplus perdagangan sepanjang kuartal III-2020 tidak main-main. Angkanya mencapai lebih dari US$ 7 miliar.
Tingginya surplus neraca perdagangan membuat transaksi berjalan Indonesia kemungkinan bisa surplus pada kuartal III-2020. Kalau terwujud, maka akan menjadi surplus pertama sejak 2011.
Sejatinya surplus transaksi berjalan adalah sesuatu yang harus disyukuri. Sudah sembilan tahun Indonesia tidak pernah mengalaminya, sampai-sampai muncul kebiasaan menyebut transaksi berjalan dengan CAD (Current Accont Deficit).
Namun kali ini sepertinya surplus transaksi berjalan bukan hal yang membanggakan. Bahkan semakin menegaskan bahwa ekonomi Indonesia sedang terjebak di 'lumpur' resesi.
Sebab, surplus transaksi berjalan datang dari impor yang ambrol. Sejak April, impor jatuh dengan kontraksi dua digit.
Lebih dari 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang dipakai untuk proses produksi industri dalam negeri. Impor barang konsumsi hanya sedikit, tidak sampai 10%.
Jadi, memang betul Indonesia akhirnya bisa mencatatkan surplus transaksi berjalan. Namun surplus ini bukan tercipta dalam kondisi ideal, tetapi karena keprihatinan. Surplus transaksi berjalan terasa semakin hambar karena justru semakin menegaskan bahwa ekonomi Indonesia sedang mati suri, masuk jurang resesi.
