Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode September 2020 esok hari. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi atau tumbuh negatif nyaris 8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Sementara impor diperkirakan ambles 25,15% YoY. Ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 2,06 miliar.
Jika sesuai dengan ekspektasi, maka surplus perdagangan sepanjang kuartal III-2020 tidak main-main. Angkanya mencapai lebih dari US$ 7 miliar.
"Dari sisi ekspor, kami memperkirakan perbaikan akan berlangsung secara perlahan mengingat permintaan global masih konservatif. Sedangkan dari sisi impor, kebutuhan pengadaan bahan baku berkurang karena kelesuan aktivitas industri manufaktur," sebut Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, dalam laporannya.
Tingginya surplus neraca perdagangan membuat transaksi berjalan Indonesia kemungkinan bisa surplus pada kuartal III-2020. Kalau terwujud, maka akan menjadi surplus pertama sejak 2011.
"Transaksi berjalan pada kuartal III-2020 diperkirakan akan mencatat surplus. Dipengaruhi oleh perbaikan ekspor dan penyesuaian impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum cukup kuat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam jumpa pers usar Rapat Dewan Gubernur Periode September 2020, kemarin.
Sejatinya surplus transaksi berjalan adalah sesuatu yang harus disyukuri. Sudah sembilan tahun Indonesia tidak pernah mengalaminya, sampai-sampai muncul kebiasaan menyebut transaksi berjalan dengan CAD (Current Accont Deficit).
Namun kali ini sepertinya surplus transaksi berjalan bukan hal yang membanggakan. Bahkan semakin menegaskan bahwa ekonomi Indonesia sedang terjebak di 'lumpur' resesi.
Sebab, surplus transaksi berjalan datang dari impor yang ambrol. Sejak April, impor jatuh dengan kontraksi dua digit.
Lebih dari 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang dipakai untuk proses produksi industri dalam negeri. Impor barang konsumsi hanya sedikit, tidak sampai 10%.
Oleh karena itu, impor yang ambles adalah gambaran industri Tanah Air sedang lesu. Ini terlhat dari Purchasing Managers' Index (PMI) sektor manufaktur yang kerap berada di zona kontraksi.
Pada September 2020, skor PMI manufaktur Indonesia adalah 47,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,8.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50 berarti kontraksi, di atas 50 berarti ekspansi.
Masalah ini bukan cuma terjadi di Indonesia. Dunia sedang dilanda krisis, resesi ekonomi terjadi di mana-mana.
Krisis ini bermula dari masalah kesehatan yaitu penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini telah ditetapkan menjadi pandemi global.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 13 Oktober 2020 pukul 17:06 CEST (22:06 WIB) mencapai 37.704.153 orang. Bertambah 269.975 orang dibandingkan hari sebelumnya.
Pagebluk virus corona juga melanda Indonesia. Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah pasien positif corona per 13 Oktober 2020 adalah 340.622 orang. Bertambah 3.906 orang dibandingkan hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (30 September-13 Oktober), rata-rata pasien baru di Indonesia bertambah 4.136 orang per hari. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 4.121 orang.
Untuk meredam penyebaran virus corona, pemerintah di hampir seluruh negara mengedepankan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Intinya, manusia harus berjarak satu dengan yang lain. Berbagai aktivitas yang membuat interaksi dan kontak antar manusia (terutama dalam jarak dekat di ruangan tertutup) sebaiknya dihindari dulu.
Di Indonesia, kebijakan social distancing dikenal dengan nama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2020. Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa PSBB minimal meliputi:
- Peliburan sekolah dan tempat kerja.
- Pembatasan kegiatan keagamaan.
- Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Selain instruksi pemerintah, sebagian masyarakat yang punya kesadaran dan kekhawatiran akan risiko penularan menjalankan social distancing secara sukarela. Ini membuat aktivitas di luar rumah semakin terbatas.
Jadi, tidak heran proses produksi terganggu. Jumlah karyawan yang masuk kerja masih di bahwa kapasitas penuh.
Tidak hanya itu, permintaan juga anjlok karena kegiatan warga belum pulih seperti dulu. Ini membuat dunia usaha mengurangi produksi untuk menekan biaya.
"Penurunan penjualan membuat kapasitas produksi belum sepenuhnya terpakai. Perusahaan pun menurunkan pembelian bahan baku dalam rangka efisiensi. Hasilnya, produksi manufaktur turun selama tiga bulan beruntun," sebut keterangan tertulis IHS Markit dalam laporan PMI manufaktur Indonesia periode September 2020.
Jadi, memang betul Indonesia akhirnya bisa mencatatkan surplus transaksi berjalan. Namun surplus ini bukan tercipta dalam kondisi ideal, tetapi karena keprihatinan. Surplus transaksi berjalan terasa semakin hambar karena justru semakin menegaskan bahwa ekonomi Indonesia sedang mati suri, masuk jurang resesi.
TIM RISET CNBC INDONESIA