
Berat! Wall Street Ambles, Minyak Ambrol, Dolar Perkasa...

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, tetapi nilai tukar rupiah sebaliknya.
Kemarin, IHSG finish di posisi 5.244,07 atau menguat 0,27% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. IHSG bergerak senada dengan bursa saham utama Asia lainnya.
Sentimen yang membuat IHSG menghijau adalah kabar baik dari pengembangan vaksin anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). CSL, perusahaan farmasi asal Australia, telah membuat kesepakatan untuk membuat dua vaksin. Pertama adalah buatan AstraZaneca dan Universitas Oxford, kedua adalah buatan mereka sendiri yang bekerja sama dengan Universitas Queensland.
Scott Morrison, Perdana Menteri Australia, memperkirakan gelombang pertama vaksin anti-virus corona akan tersedia di Negeri Kanguru pada Januari 2021. Morrison menambahkan, fasilitas milik CLS akan menghasilkan 3,8 miliar dosis vaksin AstraZaneca.
Sementara vaksin yang dikembangkan CSL baru memulai uji coba klinis tahap II pada akhir 2020, sehingga baru tersedia paling cepat pertengahan 2021. CSL menargetkan produksi dua vaksin ini sebanyak hampir 85 miliar dosis.
Selain itu, pengembangan vaksin Sinovac dari China juga menunjukkan perkembangan positif. Berdasarkan hasil awal dari uji coba tahap menengah, vaksin dipandang aman untuk digunakan oleh orang-orang berusia lanjut. Namun memang respons imun yang terjadi tidak setinggi mereka yang berusia muda.
Dari tiga kelompok relawan yang disuntik vaksin CoronaVac dengan dosis rendah, sedang, dan tinggi, lebih dari 90% mengalami peningkatan antibodi. Ini juga terjadi terhadap 421 relawan berusia lebih dari 60 tahun.
Saat ini CoronaVac tengah menjalani uji coba tahap III di Brasil dan Indonesia. Para karyawan Sinovac juga menjadi relawan dalam pengembangan vaksin tersebut. Jika tidak ada aral melintang, sepertinya vaksin anti-virus corona bisa tersedia pada akhir tahun ini atau awal bulan depan.
Namun rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,2% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah juga kompak dengan mata uang utama Asia, yang tidak berdaya di hadapan greenback.
Amukan dolar AS akhirnya terasa di Asia. Tidak hanya di Asia, mata uang Negeri Adikuasa juga berjaya di tingkat dunia. Pada pukul 09:25 WIB kemarin, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,45%.
Maklum, dolar AS memang sudah cukup lama teraniaya. Dalam tiga bulan terakhir, Dollar Index anjlok 3,31%. Sejak akhir 2019 alias year-to-date, indeks ini masih terkoreksi 3,38%.
Depresiasi yang sudah lumayan dalam itu membuat dolar AS punya ruang untuk mencatat technical rebound. Dolar AS yang sudah 'murah' membuatnya kembali dilirik pelaku pasar.
Bursa saham New York baru memulai perdagangan perdana pekan ini, karena kemarin libur memperingati Hari Buruh. Namun baru memulai pekan yang baru, Wall Street langsung ambles.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 2,25%. Sedangkan S&P 500 dan Nasdaq Composite ambrol masing-masing 2,78% dan 4,11%.
Saham-saham teknologi yang dalam beberapa waktu terakhir jadi pendorong reli di Wall Street kini mulai kehilangan pamor. Harga saham Apple ditutup turun 6,72%, kemudian Facebook terpangkas 4,09%, Alphabet (induk usaha Google) minus 3,64%, Amazon berkurang 4,39%, dan Netflix terkoreksi 1,75%.
Investor di Wall Street juga cemas terhadap hubungan AS-China yang semakin memburuk. Presiden AS Donald Trump lagi-lagi mengutarakan wacana untuk putus hubungan dengan Negeri Tirai Bambu.
"Kita kehilangan miliaran dolar (saat berbisnis dengan China). Jika kita tidak berbisnis dengan mereka, maka tidak akan kehilangan miliaran dolar. Ini namanya decoupling, mungkin Anda mulai berpikir soal itu.
"Kita akan membuat AS menjadi negara industri superpower kelas dunia dan mengakhiri ketergantungan kepada China selamanya. Apakah itu dengan decoupling atau pengenaan bea masuk, yang sudah saya lakukan, kita akan menyudahi ketergantungan terhadap China. Kita tidak bisa mengandalkan China," papar Trump dalam jumpa pers di Gedung Putih, seperti dikutip dari Reuters.
Namun, sejumlah pihak meyakini bahwa koreksi di Wall Street hanya fenomena sesaat. Ke depan, bursa saham Negeri Paman Sam diperkirakan tetap semarak.
"Saya tidak berpikir akan terjadi koreksi besar-besaran. Dengan kebijakan ultra-longgar dari The Fed (The Federal Reserve, bank sentral AS), praktis tidak ada tempat untuk menaruh uang kecuali di pasar saham," ujar Peter Cardillo, Chief Market Economist Spartan Capital yang berbasis di New York, sebagaimana diwartakan Reuters.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang kurang kondusif. Ada kemungkinan aura negatif di New York akan menular ke pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah perkembangan nilai tukar dolar AS, yang sepertinya masih melanjutkan tren penguatan. Pada pukul 00:02 WIB, Dollar Index menguat 0,63%.
Penguatan dolar AS dipicu oleh ekspektasi pasar terhadap rapat bank sentral Uni Eropa (ECB) pekan ini. Investor memperkirakan Gubernur Christine Lagarde dan kolega akan lebih dovish lagi dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi Benua Biru.
"ECB mungkin akan mulai khawatir dengan penguatan mata uang euro akhir-akhir ini, dan bisa jadi akan mengubah proyeksi inflasi. Kami berpandangan dolar AS bisa menguat sepanjang pekan ini karena potensi kebijakan ECB yang lebih dovish," kata Kim Mundy, Currency Analyst di Commonwealth Bank of Australia, seperti dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, rupiah sepertinya masih harus waspada. Sebab penguatan dolar AS akan memakan 'tumbal' mata uang lainnya.
Sentimen ketiga, investor perlu memantau perkembangan harga komoditas utamanya minyak mentah. Pada pukul 00:10 WIB, harga minyak jenis brent ambrol 6,99% sementara light sweet ambles 8%. Harga komoditas ini sudah di bawah US$ 40/barel.
Penurunan harga si emas hitam disebabkan oleh dua faktor. Satu, pasar masih merespons kebijakan Saudi Aramco (perusahaan migas milik negara asal Arab Saudi) yang memangkas harga jual. Harga minyak Arab Saudi yang murah-meriah membuat brent (yang merupakan acuan Eropa) dan light sweet (acuan di AS) menjadi kurang menarik.
Dua, investor mencemaskan perkembangan pandemi virus corona yang semakin menggila. Per 8 September, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di seluruh negara mencapai 27.236.916 orang. Bertambah 203.897 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (26 Agustus-8 September), rata-rata pasien baru bertambah 263.665,86 orang per hari. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 256.792,14 orang.
Penyebaran virus corona yang semakin mencemaskan membuat investor agak pesimistis terhadap prospek pemulihan ekonomi dunia. "Koreksi harga ini disebabkan oleh proyeksi permintaan yang masih tetap rendah, setidaknya sampai akhir tahun ini," kata Paola Rodriguez-Masiu, Analis Rystad Energy, seperti dikutip dari Reuters.
Anjloknya harga minyak bisa membuat situasi pasar menjadi gaduh. Dari pasar komoditas, kepanikan bisa menjalar ke pasar keuangan.
Saat situasi tidak kondusif, investor akan cenderung menghindar dari aset-aset berisiko di negara berkembang. Akibatnya, IHSG dan rupiah bisa jadi korban.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data penjualan ritel periode Juli 2020. Bank Indonesia (BI) memperkirakan penjualan ritel pada bulan itu terkontraksi 12,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Penjualan ritel yang lesu semakin memberi konfirmasi bahwa konsumsi rumah tangga domestik sedang bermasalah. Sebelumnya, sudah ada dua data yang menggambarkan hal itu yakni Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang masih terus di bawah 100 dan deflasi yang terjadi pada Juli-Agustus. Bahkan BI memperkirakan deflasi akan berlanjut pada September.
Konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran dengan sumbangan lebih dari 50%. Jadi kalau konsumsi rumah tangga sangat lemah, susah berharap ekonomi bisa tumbuh, yang ada malah kontraksi (tumbuh negatif) seperti pada kuartal II-2020.
Oleh karena itu, kemungkinan PDB Indonesia masih akan negatif pada kuartal III-2020. Dengan begitu, Indonesia akan membukukan kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun, yang merupakan definisi dari resesi.
Semakin hari sepertinya peluang terjadinya resesi di Ibu Pertiwi kian mendekati kepastian. Kalau resesi adalah sebuah keniscayaan, menjadi tugas dari para pembuat kebijakan agar resesi itu tidak dalam dan lama. Sebab kalau resesi terlampau dalam dan lama, itu namanya depresi.
Amit-amit jabang bayi..
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data inflasi China periode Agustus 2020 (08:30 WIB).
- Rilis data penjualan ritel Indonesia periode Juli 2020 (10:00 WIB).
- Rilis data pembacaan final pertumbuhan ekonomi Rusia periode kuartal II-2020 (20:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Agustus 2020 YoY) | 1,32% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2020) | US$ 137,04 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'
