Saham Teknologi AS Dinilai Membentuk "Bubble", tapi..

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
07 September 2020 21:02
People walk down Broadway past the Wall Street subway station in New York September 15, 2008. REUTERS/Chip East
Foto: REUTERS/Chip East

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham teknologi di bursa Amerika Serikat (AS) dinilai sudah membentuk "gelembung" (bubble). Namun kali ini, gelembung diperkirakan belum akan pecah dalam waktu dekat.

Hari ini (7/9/2020), bursa AS tengah libur lumayan panjang untuk memperingati Hari Pekerja. Jelang akhir pekan lalu, bursa terbesar di dunia ini mengalami koreksi dua hari berturut-turut, dengan indeks saham sektor teknologi di S&P 500 anjlok lebih dari 4% dalam sepekan.

"Saya pikir kita jelas-jelas berada di teritori gelembung," tutur Jonathan Bell, Kepala Investasi Stanhope Capital, kepada CNBC International. "Anda mendapati kemeriahan pada sangat sedikit saham. Itu jelas teritori bubble," tuturnya. 

Saat ini, lima saham raksasa sektor teknologi AS memiliki bobot hingga 20% dari bursa saham AS, dan menyumbang 12% indeks MSCI World.

Bell menilai ada banyak alasan bagi investor untuk membeli saham Alphabet (induk usaha Google), Amazon, Apple, Microsoft dan Facebook, menyusul kinerja mereka yang melampaui rata-rata di tengah pandemi.

"Bukan berarti bisnis mereka bukanlah bisnis yang bagus yang bisa bertahan. Ini hanya soal kemeriahannya saja yang terkait dengan mereka," tutur Bell. Saham Amazon telah terbang 78% tahun ini, disusul saham Apple (65%), Netflix (59%), Facebook (38%), dan Alphabet (19%).

Namun terkait dengan kapan gelembung saham teknologi tersebut meletus, Bell membandingkan situasi sekarang dengan komentar mantan bos Federal Reserve Alan Greenspan pada 1996, yang mengatakan ada tanda "kemeriahan irasional" di pasar keuangan. Saat itu, alih-alih meletus, bursa saham AS justru terus menguat.

"Saya akan bilang ke mereka bahwa ini adalah wilayah seperti-gelembung, tapi bukan berarti akan mengempis segera sekarang. Apa yang kita lihat pekan lalu hanyalah relaksasi di tengah kenaikan dua pekan sebelumnya," tutur Bell.

Dia menilai ada banyak alasan untuk memegang saham tersebut, tetapi tetap harus berhati-hati. "Jika anda memiliki 15% atau 20% dan menilai sahamnya akan menguat maka pantau terus, tetapi jika punya 30% atau 40% portofolio di sana, maka anda dibayangi risiko besar."

Sebelumnya, beberapa pelaku pasar menilai aksi jual saham teknologi pekan lalu merupakan sinyal tanda bahaya, dan memicu kekhawatiran bahwa saham teknologi sudah membentuk gelembung yang menunggu untuk meletus.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saham Teknologi Ambrol, Wall Street Jeblok

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular