- Menambah proyeksi BNI Sekuritas.
Jakarta, CNBC Indonesia - April biasanya menjadi salah satu momentum inflasi rendah di Indonesia. Tidak terkecuali tahun ini, sepertinya inflasi domestik bakal 'jinak'.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi April 2020 hari ini. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulan lalu akan berada di 0,2% secara bulanan (
month-on-month/MoM). Sementara inflasi tahunan (
year-on-year/YoY) diperkirakan 2,78% dan inflasi inti di 2,91% YoY.
Institusi | Inflasi MoM (%) | Inflasi YoY (%) | Inflasi Inti YoY (%) |
Maybank Indonesia | 0.15 | 2.75 | 2.86 |
CIMB Niaga | 0.22 | 2.87 | - |
BCA | 0.32 | 2.93 | 3.02 |
ING | - | 2.79 | - |
Citi | 0.23 | 2.83 | 2.91 |
Danareksa Research Institute | 0.16 | 2.76 | - |
Bank Mandiri | 0.16 | 2.76 | - |
Bank Danamon | - | 2.75 | 2.94 |
BTN | 0.2 | 2.8 | 3 |
Barclays | - | 2.64 | 2.62 |
Bank Permata | 0.17 | 2.77 | 2.86 |
BNI Sekuritas | 0.2 | 2.8 | - |
MEDIAN | 0.2 | 2.78 | 2.91 |
Secara bulanan, laju inflasi sedikit terakselerasi dibandingkan Maret. Namun kalau melihat tahunan, ada perlambatan di mana inflasi kian menjauhi level 3%.
Maret-April adalah periode tekanan inflasi di Indonesia mencapai titik minimal. Sebab, periode ini adalah masa panen raya beras. Ketika panen raya, harga beras akan bergerak turun karena tingginya pasokan.
Harga beras akan sangat mempengaruhi inflasi karena bobot komoditas ini adalah yang paling berat di keranjang Indeks Harga Konsumen (IHK) yaitu sekira 3,8%. Perubahan harga beras, walau tipis, bisa menentukan arah inflasi secara keseluruhan.
Sepanjang April, harga beras boleh dibilang stabil. Pada awal April, harga rata-rata nasional untuk beras kualitas medium (yang paling banyak dikonsumsi rakyat Indonesia) adalah Rp 12.000/kg. Pada 30 April, harga masih berada di titik tersebut.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi April adalah 0,18% MoM atau 2,78% YoY. Meski harga beras stabil, Survei Pemantauan Harga (SPH) bank sentral menunjukkan ada kenaikan harga sejumlah komoditas pangan seperti bawang merah (0,12%), emas perhiasan (0,09%), jeruk (0,05%), dan gula pasir (0,02%).
"Sementara itu, komoditas utama yang menyumbang deflasi yaitu cabai merah (-0,11%) dan daging ayam ras (-0,08%). Hal ini menunjukkan komitmen dari pemerintah untuk menjaga pasokan bahan-bahan kebutuhan pokok dapat terpenuhi secara baik," sebut keterangan tertulis BI.
Meski inflasi umum relatif aman, tetapi yang perlu dicermati adalah laju inflasi inti. Sejak September tahun lalu, laju inflasi inti berada dalam tren perlambatan.
Inflasi inti menunjukkan kelompok yang pergerakan harganya persisten, susah naik-turun. Oleh karena itu, inflasi inti mencerminkan persepsi konsumen terhadap kondisi perekonomian secara umum terhadap indikator-indikator makro seperti nilai tukar mata uang atau ekspektasi inflasi.
Ketika harga komoditas/produk yang sejatinya susah bergerak cenderung turun, dapat diartikan bahwa konsumen sedang enggan berbelanja atau malah mengurangi konsumsinya. Apakah ada penurunan daya beli?
Untuk membuktikan itu, kita bisa merujuk ke data Indeks Keyakinan Konsumen. Pada Maret, IKK tercatat sebesar 113,8. Konsumen masih
pede, karena nilai indeks di atas 100.
Namun optimisme konsumen terus dalam tren penurunan. Bahkan pencapaian Maret 2020 adalah yang terendah sejak September 2016.
Pada Maret, rata-rata porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk konsumsi adalah 69%. Turun dibandingkan Februari yaitu 69,2%. Sementara porsi pendapatan yang disisihkan untuk menabung naik dari 18,1% menjadi 18,6%.
Sudah jelas bahwa konsumen memang mengurangi belanja dan memupuk tabungan. Daya beli mungkin tidak turun, karena konsumen sebenarnya masih punya uang. Namun uang itu tidak digunakan untuk berbelanja melainkan ditabung.
Mengapa masyarakat lebih memilih menabung ketimbang berbelanja? Kemungkinan besar dipengaruhi oleh persepsi semakin terbatasnya lapangan kerja. Cari kerja semakin susah, bos...
Semakin sulitnya mencari pekerjaan tergambar dari sub-indeks dalam IKK yaitu Ketersediaan Lapangan Kerja. Pada Maret, sub-indeks ini bernilai 86. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 90,1.
Penyebabnya apalagi kalau bukan pandemi virus corona (
Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini begitu cepat.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah pasien positif corona di Indonesia per 29 April adalah 9.511 orang. Sepanjang 8 Maret-29 April, rata-rata penambahan pasien baru mencapai 20,48%.
Penyebaran virus yang begitu cepat membuat pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2020.
Kementerian Kesehatan juga sudah menerbitkan aturan pelaksananya yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No 9/2020. Pasal 13 beleid ini menyebutkan bahwa PSBB meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial budaya, serta pembatasan moda transportasi.
Daerah pertama yang mendapat lampu hijau untuk melaksanakan PSBB adalah Provinsi DKI Jakarta. Penerapan PSBB di Ibu Kota tertuang dalam Peraturan Gubernur No 35/2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang mulai berlaku 10 April 2020.
Dalam pasal 3 ayat (3), Gubernur Anies Rasyid Baswedan menginstruksikan kepada warga untuk melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBR) dan menggunakan masker saat berada di luar rumah. Kemudian pada ayat (4) tertulis pembatasan aktivitas luar rumah yang dibatasi adalah kegiatan belajar/mengajar di sekolah dan institusi pendidikan lainnya, aktivitas bekerja di tempat kerja, aktivitas keagamaan di rumah ibadah, kegiatan di tempat atau fasilitas umum, kegiatan sosial-budaya, serta pergerakan orang dan barang menggunakan moda transportasi.
PSBB bertujuan untuk mempersempit ruang gerak virus corona dan menyelamatkan ribuan bahkan mungkin jutaan nyawa. Namun upaya ini dibayar dengan harga yang tidak murah yaitu penurunan aktivitas ekonomi secara signifikan.
Aktivitas ekonomi yang seakan mati suri membuat pendapatan dunia usaha menurun drastis, bahkan mungkin bisa nihil. Sementara komponen biaya terus berjalan. Kondisi ini harus disikapi dengan efisiensi, salah satunya dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Jumlah PHK di DKI sampai 20 April saja sudah hampir 500.000, tepatnya 499.318. Ini adalah sepertiga dari total PHK nasional," ungkap Susiwijono, Sekretaris Menko Perekonomian, belum lama ini.
Ancaman PHK membuat rumah tangga harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk, kehilangan mata pencarian. Jadi sangat wajar konsumen mengurangi belanja dan menambah tabungan untuk berjaga-jaga kalau sampai menjadi korban PHK.
Oleh karena itu, inflasi yang rendah tidak selamanya membawa kabar baik. Ada pula risiko besar yang perlu diwaspadai yaitu penurunan konsumsi rumah tangga akibat kekhawatiran akan PHK.
TIM RISET CNBC INDONESIA