Newsletter

Mengharap Berkah Ramadan, Semoga Ada Happy di Weekend Ini

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
24 April 2020 06:19
Bursa efek Indonesia
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, pasar keuangan Tanah Air diterpa oleh berbagai sentimen positif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar ditutup menguat, sementara untuk pasar obligasi pemerintah ditutup variatif.

IHSG dalam dua hari terakhir berhasil melenggang ke zona hijau. Kemarin, indeks bursa saham RI menguat 0,57% ke level 4.593,55. Dana asing sempat masuk di sesi satu perdagangan, tetapi tak bertahan lama.



Di sesi perdagangan kedua, investor asing memilih keluar dengan net sell sebesar Rp 243,79 miliar. Aksi jual bersih investor asing kemarin menggenapkan net sell asing di pasar ekuitas Tanah Air mencapai Rp 16,5 triliun di sepanjang tahun ini.

Beralih ke pasar Surat Utang Negara (SUN), obligasi pemerintah RI untuk berbagai tenor ditutup bervariasi. Untuk tenor 5 dan 10 tahun mengalami pelemahan harga, sementara untuk seri acuan tenor 15 dan 20 tahun justru mengalami penurunan yield yang artinya harga obligasi seri acuan ini naik.

Kabar gembira lain datang dari mata uang Garuda. Nilai tukar rupiah akhirnya bisa memukul mundur dolar AS walau dengan penguatan terbatas. Pada penutupan pasar spot, rupiah dibanderol Rp 15.350/US$ atau menguat 0,32%.

Penguatan di pasar kemarin dipicu oleh beberapa sentimen positif yang datang dari penguatan harga minyak kontrak West Texas Intermediate (WTI) pengiriman Juni. Harga kontrak minyak WTI pengiriman Juni akhirnya naik ke level US$ 14/barel setelah sebelumnya jatuh akibat terseret harga kontrak WTI yang nyungsep ke wilayah negatif.

Sentimen positif juga datang dari perkembangan pandemi COVID-19 yang terjadi di Eropa. Karena pertambahan jumlah kasus sudah mulai turun, beberapa negara Eropa mulai melonggarkan aturan karantina wilayahnya. Bahkan ada yang sudah menetapkan tanggal kapan lockdown akan dibuka.



Italia berencana membuka lockdown secara bertahap pada 4 Mei nanti. Sebagai informasi saja, Italia dan Spanyol sudah mulai mengijinkan warganya mulai beraktivitas sejak pekan lalu.



Aktivitas ekonomi juga mulai bergeliat di negara Benua Biru lainnya. Jerman sudah mulai mengizinkan warganya beraktivitas, toko-toko kecil sudah diizinkan buka kembali sejak Senin, dan sekolah mulai aktif lagi per 4 Mei. Belanda juga berencana membuka lockdown secara bertahap mulai 11 Mei.

[Gambas:Video CNBC]



Lockdown adalah ancaman terbesar bagi perekonomian saat ini. Ketika orang-orang dipaksa berada di rumah, konsekuensinya adalah produktivitas menurun, berbagai sektor industri terancam, rantai pasok terganggu dan permintaan melambat.

Melihat kondisi ini, ekonomi pun jadi tumbal. Bahkan IMF memperkirakan dengan adanya lockdown masal yang terjadi di berbagai negara memicu ekonomi global terkontraksi 3% tahun ini. Namun dengan dibukanya lockdown, ada harapan ekonomi bisa bersemi kembali dan ini jadi sentimen positif untuk aset-aset berisiko seperti saham.



Kabar baik lainnya yang membuat pasar keuangan menjadi cukup bergairah datang dari AS. Kemarin senat AS menyetujui paket stimulus dengan memberikan bantuan untuk UMKM di AS dengan nilai mencapai US$ 310 miliar. Paket ini merupakan tambahan dari stimulus jumbo senilai US$ 2,2 triliun yang digelontorkan pemerintah AS beberapa pekan lalu.

Selain itu rilis data ekonomi yang buruk yang datang dari negara-negara di dunia juga cenderung tak digubris oleh pasar, lantaran sudah diantisipasi dan kini pasar cenderung melihat ke depan berbagai skenario pemulihan ekonomi (forward looking).

Indikator Ekonomi

Aktual

Angka Sebelumnya

Perkiraan/ (Konsensus)

PMI manufaktur Australia pembacaan awal April versi CommBank

45.6

49.7

46

PMI manufaktur Jepang pembacaan awal April versi Jibun Bank

43.7

44.8

42

PMI manufaktur Jerman pembacaan awal April versi Markit

34.4

45.4

(39)

Pertumbuhan PDB Korea Selatan Q120 (%yoy)

1.3

2.3

(0.6)

Keterangan : angka dalam kurung mengindikasikan konsensus pasar
Sumber : Trading Economics

Kalau dicermati betul, angka-angka di atas seolah menunjukkan betapa dahsyatnya dampak pandemi COVID-19 terhadap perekonomian. Sehingga tidaklah heran kalau dunia disebut tengah dibayangi resesi besar.
Pada perdagangan dini hari tadi, tiga indeks utama bursa saham New York bergerak dengan volatil sebelum akhirnya ditutup cenderung flat. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJI) menguat 0,17%, sementara S&P 500 dan Nasdaq composite masing-masing melemah 1%.

Di awal perdagangan, indeks saham Wall Street menguat seiring dengan dilaporkannya data klaim pengangguran AS periode mingguan. Mengacu pada data Departemen Tenaga Kerja AS, ada sebanyak 4,4 juta orang di AS yang mengajukan tunjangan pengangguran per 18 April kemarin.

Jumlah ini menurun dibandingkan pekan-pekan sebelumnya yang mencapai lebih dari 5 juta orang mengajukan klaim. Pasar pun sudah mengantisipasi rilis data pengangguran yang buruk ini akibat pandemi COVID-19 yang menyerang ekonomi AS. 



TS Lombard mencatat klaim baru tersebut cenderung melambat jumlahnya jika dibandingkan dengan pekan-pekan sebelumnya. Ini mengindikasikan bahwa pelonggaran lockdown bakal mengurangi jumlah pengangguran baru tersebut. Mereka memperkirakan April akan menjadi posisi terburuk pengangguran dan kemudian membaik kembali pada Mei dan seterusnya.

Wall Street semakin mencatatkan penguatan seiring dengan kenaikan harga minyak pada perdagangan kemarin (waktu AS). Harga minyak mentah acuan AS yakni West Texas Intermediate (WTI) melesat hampir 20% pada perdagangan kemarin sebelum akhirnya dipatok di US$ 16,5/barel. Untuk minyak mentah acuan internasional yakni Brent juga menguat 4,7% ke US$ 21,33/barel.

Peningkatan itu sebagian didorong oleh ancaman Presiden Donald Trump bahwa AS akan "menghancurkan" kapal perang Iran yang melecehkan kapal-kapal Amerika di Teluk Persia yang kaya minyak. Hal ini dikatakan oleh Bjornar Tonhaugen, Kepala Pasar Minyak di Rystad Energy.

Selain itu, penguatan harga minyak juga didorong oleh rencana dari berbagai negara yang akan mencabut status lockdown yang artinya roda ekonomi akan berputar kembali dan membutuhkan lebih banyak bahan bakar dari sebelumnya. 

Harga si emas hitam sempat jatuh ke teritori negatif pada perdagangan awal pekan ini. Kontrak WTI pengiriman Mei ambles lebih dari 300% dalam sehari membawanya ke level terendah minus US$ 36,63/barel. Bukan hanya level terendah dalam sejarah, tetapi angka harga minyak yang menyentuh wilayah negatif juga baru terjadi pertama kali ini dalam catatan sejarah.

Namun kontrak pengiriman Mei sudah berakhir pada 21 April lalu. Kini kontrak pengiriman Juni yang aktif diperdagangkan. Seiring dengan dimulainya pemangkasan produksi minyak oleh Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak dan koleganya (OPEC+), dan kembali dibukanya perekonomian maka keseimbangan supply dan demand seharusnya membaik.

Namun ada kabar kurang sedap dari perkembangan obat COVID-19 yang diproduksi oleh Gilead Science yakni Remdesivir. Melansir Financial Times, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan obat ini gagal membuat pasien COVID-19 di China membaik. 

Namun harga saham-saham rebound setelah Gilead Science mengeluarkan pernyataan merespons laporan WHO tersebut. Gilead mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dokumen WHO memiliki karakterisasi studi yang tidak sesuai. "Dengan demikian, hasil penelitian tidak dapat disimpulkan, meskipun tren dalam data menunjukkan manfaat potensial untuk Remdesivir, terutama untuk pasien yang diobati pada awal penyakit," kata perusahaan, sebagaimana diwartakan CNBC International.



Namun karena belum ada kejelasan lebih lanjut, pasar yang sempat rebound dan bergerak volatil akhirnya harus memangkas penguatannya dan berakhir flat. Dengan begitu dalam sepekan ini Dow Jones masih terkoreksi 3%, sementara S&P 500 dan Nasdaq Composite masih ambles masing-masing 2,67% dan 1,8%. Investor patut mencermati beberapa sentimen yang akan jadi penggerak pasar yang datang dari eksternal. Secara umum sentimen untuk hari ini campur aduk (mixed).

Pertama, Wall Street yang ditutup flat jelas bukan ending scenario yang diinginkan untuk mayoritas bursa saham Asia yang akan menutup perdagangan pekan. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, pasar memang tengah dipenuhi sentimen bernada positif maupun negatif di waktu yang bersamaan. 

Kemudian sentimen kedua yang perlu dicermati investor adalah perkembangan dari pandemi COVID-19 itu sendiri. Berdasarkan data John Hopkins University CSSE, sampai dengan hari ini pukul 05.05 WIB, sudah ada 2,7 juta orang di dunia yang terinfeksi virus corona. 

Jumlah kasus masih terus bertambah. Namun pertambahan jumlah kasus di Eropa yang semakin sedikit membuat banyak negara dari Benua Biru sudah mulai melonggarkan aturannya dan berencana membuka lockdown.

Jika hari ini negara-negara Eropa yang sudah mulai beraktivitas seperti Italia, Spanyol dan Jerman tak melaporkan pertambahan jumlah kasus baru yang signifikan juga langkah ini diikuti oleh banyak negara lain maka ini akan jadi sentimen yang positif untuk pasar dan memberikan sinyal bahwa ekonomi bisa kembali pulih. Namun risiko masih tetap ada mengingat gelombang wabah kedua bisa datang kapan saja. Jadi harus tetap waspada.

Investor juga perlu mencermati perkembangan terbaru obat COVID-19 yang diproduksi Gilead. Pasalnya laporan WHO mengatakan obat ini gagal saat pertama kali di uji coba di China. Masalah obat memang pelik.

Saat ini kendalanya ada di sampel, metode uji, hingga efektivitas obat itu sendiri yang juga sangat bergantung dari tipe virus mana yang bersirkulasi di suatu negara. Jika masih belum ada kejelasan terkait prospek dari obat Remdesivir, maka ini jadi sentimen yang memberatkan bagi pasar.

Tak lupa juga investor juga perlu mencermati pergerakan harga minyak hari ini. Tentu masih ingat di benak bahwa ketika harga minyak anjlok, pasar keuangan global juga kena imbasnya. Jika harga minyak masih melanjutkan penguatannya, maka hal ini berpotensi jadi pendorong harga aset-aset berisiko untuk naik lagi. Sebagai catatan, dalam dua hari terakhir saja harga minyak mentah terutama acuan AS yakni WTI reli lebih dari 40%. 

Kabar selanjutnya datang dari DPR AS. Pagi tadi, akhirnya DPR AS resmi meloloskan RUU Paket Stimulus Tambahan untuk UMKM dan Rumah Sakit senilai US$ 484 miliar. Saat ini DPR AS telah mengirimkan dokumen RUU tersebut ke Presiden AS Donald Trump untuk ditandatangani.

Dari jumlah yang fantastis tersebut, sebanyak US$ 310 miliar akan dialokasikan untuk sektor UMKM AS yang terdampak pandemi COVID-19 melalui program perlindungan gaji atau Paycheck Protection Program (PPP), US$ 60 miliar untuk pinjaman lunak dan hibah bagi UMKM, US$ 75 miliar dialokasikan sebagai hibah untuk rumah sakit yang kewalahan dalam menangani pasien COVID-19 dan sebanyak US$ 25 miliar untuk meningkatkan pengetesan virus corona.

Dengan tambahan paket stimulus ini berarti pemerintah AS sudah menggelontorkan dana hampir US$ 3 triliun untuk berperang melawan pandemi. Sebelumnya beberapa pekan lalu AS sudah menggelontorkan stimulus fiskal jumbo yang nilainya mencapai US$ 2,2 triliun atau setara dengan 10% dari output perekonomian AS. Tambahan stimulus yang digelontorkan oleh pemerintah AS ini akan jadi angin segar untuk pasar hari ini.

Investor juga perlu mencermati sentimen yang datang dari dalam negeri. Pertama tentu terkait dengan perkembangan kasus COVID-19. Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan jumlah kasus COVID-19 di Tanah Air mencapai 7.775 kasus.

Jumlah kasus baru bertambah sebanyak 283 dalam sehari terakhir. Jumlah ini memang lebih rendah dibanding pertambahan kasus baru satu hari sebelumnya yang mencapai 375 kasus. Jelas masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah kasus sudah mulai mereda di Indonesia atau belum. 

Pada dasarnya masih butuh banyak tes virus corona ke depan di Tanah Air untuk melihat sebenarnya seberapa banyak orang di Indonesia yang terinfeksi virus. Artinya jika tes COVID-19 lebih digencarkan lagi secara masif, maka potensi lonjakan kasus yang signifikan masih ada. 

Indonesia memang tak tinggal diam saja. Beberapa emiten farmasi Tanah Air bersiap untuk membantu republik tercinta mengembangkan obat COVID-19. Produsen farmasi dalam negeri PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) tengah bersiap untuk memproduksi obat Covid-19 dalam waktu dekat. Untuk melakukan produksi ini, perusahaan akan bekerja sama dengan perusahaan farmasi asing. Oleh karena itu investor perlu mencermati perkembangan baru dari kabar ini serta memantau pergerakan saham dari emiten-emiten farmasi RI terutama KLBF.

Hari ini adalah hari terakhir perdagangan pada pekan ini sekaligus menjadi hari pertama puasa Ramadan 2020. Hari ini larangan mudik juga resmi ditetapkan. Dalam aturan larangan mudik, akses untuk keluar masuk jabodetabek dibatasi. Operasi jalan tol juga dipantau ketat karena hanya diperuntukkan bagi logistik dan tenaga medis serta layanan lain seperti keuangan. 

Larangan mudik tahun ini jelas akan membuat Ramadan tahun ini akan sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Di sisi lain mulai banyak kota-kota di luar Jabodetabek yang menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Setidaknya sudah ada 20 wilayah di Tanah Air yang terapkan PSBB. 

Untuk Jakarta sendiri yang menerapkan PSBB sejak 10 April lalu masanya sudah habis kemarin. Namun mengingat lonjakan jumlah kasus masih terjadi dan Jakarta menjadi episentrum penyebaran virus maka PSBB di Jakarta diperpanjang untuk 14 hari ke depan hingga 7 Mei 2020. 

Namun, dalam hal masih ditemukan penyebaran dan kasus baru maka PSBB bisa diperpanjang lagi selama dua pekan sampai tanggal 21 Mei 2020. Hal ini termaktub dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. 

Dengan adanya larangan mudik diikuti dengan makin banyaknya wilayah yang menerapkan PSBB serta potensi PSBB yang juga diperpanjang jelas meninggalkan konsekuensi yang bagi perekonomian. Hal ini akan menjadi sentimen yang memberatkan pasar disamping upaya pengembangan obat COVID-19 yang bernada positif untuk pasar.

Sentimen global maupun domestik memang sedang campur aduk. Pasar kembali berpotensi bergerak dengan volatil dan variatif untuk hari ini. Terakhir, penulis ingin mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan bagi pemeluk muslim di Tanah Air. Mari bersama berdoa, berkah puasa Ramadan kali ini menghantarkan kita dan bangsa kita menjadi lebih baik lagi dan dapat segera melalui badai pandemi yang menyiksa ini. This too shall pass!

Berikut sejumlah agenda dan rilis data ekonomi yang terjadwal untuk hari ini:

  • Rilis data inflasi Jepang bulan Maret (06.30 WIB)
  • Rilis data tingkat pengangguran Singapura Q120 (09.30 WIB)
  • Rilis data aktivitas industri Jepang Februari (11.30 WIB)
  • Rilis data produksi industri Singapura (12.00 WIB)
  • Rilis data pertumbuhan kredit Indonesia bulan Maret (17.20 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Maret 2020 YoY)

2,96%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN-P 2020)

-5,07% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Maret 2020)

US$ 120,97 miliar

 


TIM RISET CNBC INDONESIA

 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular