Newsletter

Obat & Vaksin Corona, Dagangan Terlaris di Pasar Pekan Ini?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 April 2020 06:07
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia bei
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepekan kemarin ada beberapa kabar bagus yang membuat pasar keuangan global dan Tanah Air bergairah. Apakah pekan ini gayung akan kembali bersambut dan pasar akan dipenuhi dengan berita baik? Mari kita cermati.

Pada Jumat (17/4/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) reli 3,44% ke level 4.634,82. Namun dalam sepekan, IHSG masih mencatatkan koreksi sebesar 0,31% (week on week/wow).

Investor asing masih terus mencatatkan aksi jual di bursa saham domestik. Ketika IHSG reli pada hari terakhir perdagangan pekan kemarin, asing membukukan net sell sebesar Rp 552,31 miliar. Aksi jual bersih ini semakin menambah nilai outflows dari pasar saham RI sebesar Rp 14,87 triliun di sepanjang tahun ini.

Beralih ke pasar obligasi, surat utang pemerintah bertenor 10 tahun cenderung mengalami apresiasi. Hal ini tercermin dari penurunan imbal hasilnya (yield). Yield surat utang pemerintah RI bertenor 10 tahun turun 10,3 basis poin (bps).

Walau pasar saham domestik masih ditinggalkan oleh investor asing, hal sebaliknya justru terjadi di pasar obligasi. Bank Indonesia (BI) mencatat selama periode 14-16 April 2020, arus modal asing yang masuk di pasar keuangan RI mencapai Rp 2,9 triliun.

"Inflow ini sebagian besar ke SBN," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Perkembangan Ekonomi Terkini, pada Jumat (17/4/2020).

Masuknya aliran dana asing akan turut mendorong penguatan rupiah yang memang kecanduan 'hot money'. Minggu kemarin rupiah mencatatkan reli tak terbendung sebesar 2,6% (wow) di hadapan dolar greenback dan membuat nilai tukar rupiah menjadi jawara Asia melampaui yen Jepang, baht Thailand dan dolar Hong Kong.

Nilai tukar rupiah semakin meninggalkan level Rp 16.000/US$. Pada hari terakhir perdagangan, rupiah ditutup di US$ 15.400/US$. Penguatan rupiah juga tak terlepas dari BI yang siap sedia di pasar dan meningkatkan intensitas triple intervention-nya di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) dan pembelian SBN di pasar sekunder.



Walau ditutup tak kompak karena IHSG masih terkoreksi secara mingguan, setidaknya pasar keuangan Tanah Air terlihat bergeliat terutama di hari terakhir perdagangan jelang akhir pekan.

Hal ini senada dengan bergairahnya bursa saham global terutama Wall Street sepekan kemarin akibat sentimen terhadap risiko yang mulai pulih. Kabar baik yang membuat Wall Street ceria datang dari rencana pencabutan lockdown di berbagai negara dan perkembangan terbaru obat virus corona (COVID-19).

[Gambas:Video CNBC]



Bursa saham New York pekan lalu juga mengalami apresiasi. Indeks S&P 500 menguat 4,08% (wow). Tak hanya bursa saham Negeri Paman Sam saja yang mengalami penguatan. Bursa saham Eropa dan Asia juga mengalami hal serupa.



Beberapa negara sudah menunjukkan penurunan jumlah kasus per hari seperti di Amerika dan Eropa. Keduanya sudah mulai berencana untuk kembali beraktivitas bahkan mencabut status lockdown.

Di Amerika, Presiden Donald Trump menyatakan bahwa AS sudah saatnya “kembali bekerja”. Pada Kamis (16/4/2020) Gedung Putih merilis seperangkat panduan untuk masyarakatnya kembali beraktivitas.

Beralih ke Eropa, Austria menjadi salah satu negara di Eropa yang pertama kali melonggarkan pembatasan sosialnya. Pada Selasa pekan lalu, Austria sudah memperbolehkan pertokoan dengan luas 400 meter persegi untuk buka dan beroperasi dengan catatan tetap membatasi jumlah orang yang berada di dalam toko serta tetap menerapkan aturan jaga jarak.

Di Denmark sekolah-sekolah dasar mulai kembali dibuka dan rumah sakit sudah mulai menangani pasien-pasien selain yang terjangkit virus corona. Sementara itu, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan akan mencabut larangan yang selama ini diterapkan pada 11 Mei nanti, sebagaimana diwartakan oleh Fortune.

Upaya untuk segera bangkit dari keterpurukan tersebut diapresiasi oleh pasar. Pasalnya ketika berbagai aktivitas sudah mulai diperbolehkan, roda perekonomian akan kembali berputar dan berangsur-angsur akan mengalami pemulihan.

Di sisi lain, kabar gembira juga datang dari perkembangan obat anti-corona. STAT melaporkan bahwa rumah sakit Chicago yang merawat pasien COVID-19 yang ditangani dengan obat Remdesivir dalam masa percobaan, pulih dengan cepat setelah sebelumnya mengalami gejala yang parah.

Dua sentimen positif tersebut memang membuat pasar saham global sumringah. Volatilitas di pasar pun berangsur turun. Sejak gelombang stimulus ekonomi bernilai jumbo di gelontorkan pada akhir Maret lalu, pasar memang cenderung kalem.

Nilai stimulus fiskal global yang ditaksir mencapai US$ 8 triliun itu membuat indeks volatilitas versi CBOE yang tadinya bergerak liar dan sempat menyentuh level tertinggi sejak krisis Keagan 2008 mulai turun. Artinya ketakutan di pasar pun ikut mereda.



Sampai di sini terlihat bahwa kondisi semakin membaik. Lantas apakah kehidupan normal seperti sebelumnya dapat terjadi lagi? Apakah pasar akan dengan cepar bergairah dan reli tak terbendung? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari sedikit flashback melihat apa yang sudah pandemi COVID-19 lakukan terhadap perekonomian global.

Mari lihat China terlebih dahulu sebagai negara pertama yang terserang pandemi. Akibat wabah, ekonomi China jadi babak belur. Pada kuartal pertama tahun 2020, Produk Domestik Bruto (PDB) China mengalami kontraksi 6,8%. Ini merupakan kontraksi paling dalam sejak empat dekade terakhir.



Beralih ke Negeri Paman Sam, AS yang kini memimpin klasemen global dengan jumlah kasus kumulatif mencapai lebih dari 700 ribu, ekonominya juga porak poranda akibat musuh tak kasat mata yang bernama virus corona.

Merebaknya wabah COVID-19 di AS membuat gelombang tsunami PHK terjadi. Jumlah pengangguran meningkat pesat. Mengacu pada data Departemen Ketenagakerjaan AS, per 11 April lalu ada 5,2 juta klaim tunjangan pengangguran.

Angkanya menurun dari pekan sebelumnya sebesar 6,6 juta. Namun jika ditotal dalam 4 pekan terakhir lonjakan pengangguran di AS sudah mencapai lebih dari 22 juta orang. Jumlah ini sepadan dengan lapangan kerja yang tercipta di AS sejak krisis keuangan 2008.



Dua raksasa ekonomi global sudah luluh lantak akibat virus. Keduanya merupakan mitra strategis Indonesia baik dari segi perdagangan maupun investasi. Ekonomi Indonesia tak mungkin ‘immune’ melawan gejolak eksternal yang terlampau besar ini. Bank Indonesia memperkirakan perekonomian RI tumbuh 2,3% tahun ini.

Saking besarnya dampak pandemi, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan pada 2020, ekonomi global akan terkontraksi sebesar 3%. Organisasi yang bermarkas di Washington itu juga mewanti-wanti dampak pandemi ini akan lebih besar dari Great Recession.



“Kemungkinan besar tahun ini, ekonomi global akan mengalami resesi yang hebat sejak Great Depression, melampaui krisis keuangan global satu dekade lalu” kata Gita Gopinath, Kepala Ekonom IMF, melansir CNBC International.

“Ini adalah sebuah periode krisis di mana guncangan yang terjadi tidak dapat dikendalikan dengan kebijakan ekonomi mengingat kita tidak tahu kapan pandemi akan berakhir” tambahnya. Untuk melihat gairah pasar pekan ini, investor masih perlu mencermati tiga hal. Pertama adalah perkembangan terkait jumlah kasus COVID-19, kedua adalah perkembangan terbaru soal vaksin & obat COVID-19 serta kapan ekonomi akan kembali pulih.

Perkembangan Pandemi COVID-19

Per 14 Maret 2020, jumlah kasus kumulatif orang yang terinfeksi COVID-19 secara global telah mencapai 2 juta kasus. Berdasarkan data kompilasi John Hopkins University CSSE, wabah COVID-19 kini telah menjangkiti 185 negara dan teritori di seluruh dunia.

Walaupun jumlah kasus COVID-19 di tiga negara terbanyak (AS, Spanyol dan Italia) cenderung melambat beberapa hari terakhir. Namun pertambahan jumlah kasus baru per harinya di tiga negara tersebut melandai dengan lambat tak secepat kenaikannya. Tentu hal ini perlu menjadi sorotan.



Di sisi lain jumlah kasus baru yang dilaporkan di berbagai belahan dunia lain masih menunjukkan adanya fase peningkatan atau belum mencapai puncak. Di Kawasan Asia Tenggara contohnya, pertambahan jumlah kasus cenderung fluktuatif tetapi pada tren meningkat.



Pekan lalu , China kembali merevisi data kasus COVID-19 di negaranya. Alhasil jumlah kasus bertambah 325 dan jumlah kematian naik 1.290 orang di kota Wuhan sebagai episentrum penyebaran virus.

Perubahan data yang dilakukan China ini sempat menjadi sorotan dunia. Namun Organisasi Kesehatan (WHO) menyatakan upaya China tersebut sebagai bentuk mendokumentasikan kasus COVID-19 secara rapi.


"Sangat penting untuk mengetahui jumlah orang yang meninggal karena COVID-19 karena ini esensial bagi kesehatan masyarakat dan bagi kita untuk memiliki laporan yang akurat," kata Van Kerkhove, ilmuwan WHO yang menangani kasus COVID-19.


"Ini merupakan tantangan ketika wabah sedang berlangsung, untuk mengidentifikasi semua kasus dan semua kematian, terutama jika sistemnya mengalami kewalahan," kata Van Kerkhove.

"Saya mengantisipasi bahwa banyak negara akan berada dalam situasi yang sama di mana mereka harus kembali dan meninjau catatan serta melihat apakah setiap kasus sudah terdokumentasi dengan baik,” tambahnya melansir CNBC Internasional.

Jika hal ini dilakukan oleh banyak negara, niscaya jumlah kasus yang dilaporkan akan mengalami lonjakan lagi. Lagi pula ada kendala lain yang membuat pelacakan kasus secara transparan, real time dan akurat tercapai. Persoalan jumlah orang yang dites corona di setiap negara juga perlu jadi sorotan.

Ketika populasi orang yang di tes terlalu sedikit, maka hal ini akan berpengaruh juga terhadap laporan jumlah kasus sesungguhnya di suatu negara. Jika banyak negara mulai mulai menggalakkan tes COVID-19 secara masif, maka jumlah kasus kembali akan melonjak lagi.

Sampai di sini kita bisa prediksi bahwa jumlah kasus sebenarnya kemungkinan besar lebih banyak dari pada sekarang. Fase tiap negara dalam menghadapi pandemi COVID-19 pun beda-beda ada yang melaporkan sudah melewati puncak (China) ada yang memasuki periode puncak (AS, Spanyol & Itala) ada yang masih terus naik signifikan (Asia Tenggara). Siap Tempur Lawan COVID-19 dengan Vaksin & Obat ?

Di sisi lain jumlah kasus yang terus bertambah dengan signifikan juga dipicu oleh transmisi virus yang terjadi dengan cepat. Hal ini terjadi lantaran, pandemi kali ini pemicunya adalah jenis virus yang baru dan belum ada obat atau bahkan vaksin.

Terkait, keberhasilan obat Remdesivir Gilead mampu membuat pasien berangsur pulih juga harus diwaspadai investor. Pasalnya kabar yang membuat pasar berbunga-bunga ini baru dilakukan di sebuah rumah sakit di Chicago.

Masih perlu uji klinis lanjutan dari obat ini dengan sample yang lebih banyak dan metode yang lebih saintifik untuk benar-benar menguji efektivitas obat yang berpotensi jadi antivirus corona ini.

Untuk saat ini ada beberapa jenis obat antivirus lain digunakan untuk menyembuhkan penyakit akibat infeksi virus corona. Obat-obatan yang digunakan untuk melawan virus corona saat ini bermacam-macam seperti Kaletra (obat HIV), Chloroquine (Malaria), Avigan (Influenza), Remdesivir (Ebola) dan Interferon alfa (Hepatitis B).

Dari jenis obat-obat tersebut yang menunjukkan efektivitas yang tinggi adalah jenis Remdesivir. Jenis obat ini gagal mendapat persetujuan sebagai obat ebola. Namun untuk saat ini remdesivir digunakan untuk menyembuhkan pasien corona di AS.

Untuk Avigan banyak digunakan di jepang, Chloroquine dan Kaletra direkomendasikan digunakan untuk Korea Selatan, sementara Tamiflu saat ini digunakan di Jepang. Berikut adalah rincian obat antivirus potensial untuk corona.



Sementara dari perkembangan vaksin sendiri saat ini kandidat vaksin terkuat adalah mRNA-1273 yang dikembangkan Moderna. Kandidat vaksin ini akan masuk periode uji klinis tahap II dalam beberapa bulan ke depan dan menjadi kandidat yang paling berprogress dibanding kandidat vaksin yang lain.



Sekalipun vaksin dan obat berhasil dikembangkan, tantangan besar masih menanti. Tantangan tersebut beragam dan kompleks. Tantangan yang dihadapi mulai dari lamanya waktu pengembangan, produksi masal yang mencukupi hingga distribusi merata ke negara-negara yang membutuhkan. Kapan Ekonomi Pulih?

Kini beralih pada pertanyaan kapan ekonomi akan pulih. Jawabannya jelas ketika pandemi ini mulai berakhir. Terlepas dari isu transparansi data, China mencabut status lockdown di Wuhan dan beberapa kota di Hubei setelah lonjakan kasus yang terjadi per harinya di bawah angka 100.

Rencana AS dan beberapa negara Eropa untuk kembali memulai aktivitas sebenarnya masih menunjukkan adanya risiko. Apalagi dalam panduan yang dirilis Gedung Putih pada Kamis pekan lalu, Pemerintah Pusat AS menyerahkan kepada negara bagian masing-masing untuk mengambil keputusan kapan dan bagaimana mekanismenya.

Pembukaan lockdown masih ada nada nada gambling mengingat adanya kemungkinan wabah gelombang kedua. Jika hal ini terjadi ekonomi akan semakin susah untuk bangkit dan pulih kembali.

Kepala ekonomi IMF kembali mengingatkan bahwa walau ekonomi diramal pulih pada 2021. Namun ini bukanlah pulih dengan arti sebenarnya. Artinya dampak dari krisis kesehatan yang merembet ke perekonomian ini tak bisa dianggap remeh. Setiap kesalahan dalam pengambilan keputusan maupun kebijakan harus dibayar mahal.


Minggu Sibuk Rilis Kinerja Keuangan Q1 Emiten Saham Bursa AS & Data Ekonomi

Walau fokus pasar masih tertuju pada perkembangan kasus COVID-19 dan kapan ekonomi akan pulih, pekan ini bursa saham AS akan disibukkan juga dengan rilis kinerja keuangan emiten saham Bursa New York dan juga data ekonomi AS periode mingguan seperti angka PMI manufaktur hingga data klaim tunjangan pengangguran AS.

Hari

Rilis Kinerja Keagan

Rilis Data Ekonomi AS

Senin

IBM, Steel Dynanycs, Equifax, Zions Bancorp, Ally Financial, Haliburton, Infosys, Royal Philips, Truist Financial

 

Selasa

Coca-Cola, Netflix, Travelers, Texas Instruments, Chubb, Lockheed Martin, CIT Group, SAP, HCA Healthcare, Manpower, Prologis, Comerica, Emerson Electric, Synchrony Financial,  Snap, Canadian Pacific Railways, Interactive Brokers, Teradyne

Philadelpia Fed non-manufacturing, Existing home sales

Rabu

 AT&T, Las Vegas Sands, Alcoa, Boston Beer, Kinder Morgan, Delta Air Lines, Baker Hughes, Quest Diagnostics, Kimberly-Clark, Nasdaq, Discover Financial, Netgear, Seagate Technology, SLM, TD Ameritrade, CSX, Biogen, Thermo Fisher, LM Ericsson

FHFA home prices

Kamis

Intel, Blackstone Group, Eli Lily, Credit Suisse, Invesco, Huntington Bancshares, Tractor Supply, Capital One, FirstEnergy, Hershey, Southwest Air, Union Pacific, Citrix, Domino’s Pizza, PulteGroup

Weekly claims, Manufacturing PMI, Services PMI, New home sales

Jumat

American Express, Verizon, Sanofi, Eni

Durable goods, Consumer sentiment

Sumber : CNBC International

Pelaku passer tentu sudah memperhitungkan bahwa COVID-19 tentu akan berdampak negatif untuk sektor dunia usaha maupun perekonomian. Namun setidaknya rilis data ini akan menjadi gambaran yang semakin meperjelas dampak dari pandemi.

Jika data-data tersebut tidak seusai dengan ekspektasi pasar alias lebih buruk, hal ini akan jadi sentimen negatif yang membebani pasar.

Kini saatnya untuk meninjau bagaimana prospek pasar keuangan Tanah Air sepekan ini. Jumlah pasien COVID-19 terus bertambah signifikan. Bahkan Indonesia sekarang sudah berada di puncak klasemen negara dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak kedua di Asia Tenggara dengan total 6.575 kasus.

Indonesia juga menjadi negara dengan jumlah tes corona yang paling sedikit dibadingkan negara lain per satu juta populasi. Ya mau bagaimana lagi, ukuran populasi Indonesia memang terlalu besar. Namun setidaknya harus ada gambaran terkait berapa jumlah sampel yang ideal untuk melakukan tes COVID-19 secara masif dan sensistif serta cepat.



Jika ada angin segar berhembus dari luar, pekan ini pasar keuangan RI berpotensi dapat bernapas lega. Ada potensi pasar keungan RI melanjutkan penguatan di akhir pekan lalu pada awal perdagangan pekan ini.

Namun jika yang terjadi sebalinya (ada kabar buruk dari luar), bursa saham RI akan semakin ditinggalkan investor asing. Bukan hanya saham saja yang dilego surat utang pun juga bisa kena ikut dampaknya. Kalau sampai outflows besar-besaran terjadi, rupiah bisa keok lagi. Jangan sampai sih.

Well, dunia memang masih dibayangi dengan ketidakpastian. Tindakan yang paling bijak saat ini memanglah tetap waspada dan tidak terlena.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  •          China Loan Prime Rate 1Y & 5Y (08:30 WIB)
  •          Bundesbank Monthly Report (17:00 WIB)

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Maret 2020 YoY)

2,96%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN-P 2020)

-5,07% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Maret 2020)

US$ 120,97 miliar

 

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular