- Menambah proyeksi dari Bank Mandiri
Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan kembali mencatat surplus pada Maret 2020. Namun sepertinya tidak akan sedahsyat bulan sebelumnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode Maret 2020 pada Rabu (15/4/2020). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi (tumbuh negatif) -6,5% year-on-year (YoY), impor juga terkontraksi -8,24% YoY. Penurunan impor yang lebih dalam ketimbang ekspor membuat neraca perdagangan diperkirakan surplus US$ 544 juta.
Institusi | Pertumbuhan Ekspor (%YoY) | Pertumbuhan Impor (%YoY) | Neraca Perdagangan (US$ Juta) |
ING | -1.6 | -2 | 718 |
CIMB Niaga | -6.5 | -4.8 | 400 |
Barclays | 1.6 | -11.9 | 2499 |
Citi | -6 | -2.3 | 130 |
Trimegah Sekuritas | - | - | 1000 |
Bank Danamon | -6.52 | -9.38 | 1012 |
Moody's Analytics | - | - | -2400 |
Maybank Indonesia | -14.19 | -7.51 | -323 |
BNI Sekuritas | -9.48 | -9 | 544 |
Standard Chartered | -16.8 | -15.9 | 443 |
Bank Mandiri | -5.13 | -8.24 | 1054.8 |
MEDIAN | -6.5 | -8.24 | 544 |
Pada Februari 2020, BPS melaporkan ekspor tumbuh 11% YoY dan impor turun 5,11% YoY. Ini membuat neraca perdagangan membukukan surplus US$ 2,34 miliar, rekor tertinggi sejak 2011.
Di satu sisi, surplus neraca perdagangan patut disyukuri karena akan membuat fundamental ekonomi domestik menjadi lebih kokoh. Devisa dari kegiatan perdagangan menjadi menebal, dan menjadi pijakan kuat bagi penguatan nilai tukar rupiah.
Ketika devisa dari pos ini semakin tinggi, maka ketergantungan rupiah terhadap arus modal asing di sektor keuangan (
hot money) menjadi berkurang. Mata uang Tanah Air akan lebih stabil, tidak lagi gampang 'digoyang' kala
hot money itu pergi.
Namun di sisi lain, surplus neraca perdagangan juga perlu diwaspadai. Apalagi kalau impor terus menurun.
Lho, bukannya kalau impor turun justru bagus?
[Gambas:Video CNBC]
Masalahnya, hampir seluruh impor Indonesia adalah untuk keperluan produktif yaitu berupa bahan baku/penolong dan barang modal. Pada Februari 2020, impor bahan baku penolong punya porsi 76,63% dari total impor sementara barang modal berkontribusi 15,77%. Impor barang konsumsi hanya 7,6%.
Penurunan impor secara keseluruhan mencerminkan kelesuan impor bahan baku/penolong dan barang modal. Ketika impor dua pos ini turun, maka bisa dipastikan kegiatan produksi sedang loyo.
Kelesuan aktivitas produksi sudah tergambar dari rilis
Prompt Manufacturing Index (PMI) keluaran Bank Indonesia (BI). Pada kuartal I-2020, BI menyebutkan PMI berada di 45,64%. Turun dari 51,50% pada kuartal sebelumnya dan 52,65% pada kuartal I-2019. Pencapaian kuartal I-2020 adalah yang terendah sejak kuartal I-2015.
Sebagaimana
Purchasing Managers' Index (PMI) keluaran IHS Markit, PMI versi BI juga menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Di bawah 50 berarti industri sedang masuk fase kontraksi, tidak ada ekspansi.
Penyebab utama kontraksi PMI adalah sulitnya mendapatkan pasokan
input alias bahan baku/penolong. Penyebabnya apa lagi kalau bukan pandemi virus corona (
Coronavirus Desease-2019/Covid-19).
Gara-gara virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini, aktivitas masyarakat menjadi terbatas (atau dibatasi). Pabrik adalah salah satu korbannya, banyak yang ditutup sementara atau walau masih buka tidak dalam kapasitas penuh karena pengurangan tenaga kerja.
Pokoknya segala bentuk kegiatan yang berpotensi menciptakan kumpulan orang menjadi sesuatu yang hukumnya makruh, sebisa mungkin dihindari. Apesnya, ini termasuk bekerja.
Akibatnya, produktivitas manufaktur global merosot. IHS Markit mencatat PMI manufaktur global pada Februari-Maret berada di zona kontraksi.
Globalisasi membuat dunia saling terhubung. Penurunan produktivitas di satu negara akan mempengaruhi negara lainnya. Jadi kala manufaktur global lunglai, Indonesia tidak terkecuali.
Perlambatan bahkan kontraksi di sektor industri manufaktur punya dampak yang luar biasa terhadap perekonomian Indonesia. Setidaknya ada dua dampak besar, pertama adalah kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada 2019, industri pengolahan menyumbang Rp 3.119,6 triliun dalam pembentukan PDB nasional. Jumlah itu hampir 20% dari total PDB yang sebesar Rp 15.183,7 triliun. Kala sang penyumbang terbesar tidak bisa lagi diharapkan, mau jadi apa pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Kedua adalah penciptaan lapangan kerja. Pada Agustus 2019, industri pengolahan menciptakan 18,93 juta lapangan kerja, yang setara dengan 14,96% dari total penciptaan lapangan kerja. Hanya kalah dari sektor pertanian dan perdagangan.
Kala aktivitas produksi industri menurun, maka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah sebuah risiko yang sangat nyata. Sebab pendapatan menurun seiring terbatasnya aktivitas masyarakat sementara beban usaha masih terus berjalan. Efisiensi menjadi sulit terhindarkan, dan PHK adalah salah satu opsinya.
Inti dari cerita yang agak panjang kali lebar kali tinggi ini adalah, jangan senang dulu impor turun. Sebab penurunan impor bisa jadi (bahkan hampir pasti) mencerminkan kelesuan industri manufaktur dan perekonomian secara keseluruhan.
TIM RISET CNBC INDONESIA