Polling CNBC Indonesia

Pasar Galau Nih, Pak Gubernur! Bunga Acuan Turun atau Tidak?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 March 2020 11:31
Pasar Galau Nih, Pak Gubernur! Bunga Acuan Turun atau Tidak?
Gubernur BI Perry Warjiyo (CNBC Indonesia/Aristya Rahadian Krisabella)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak penyebaran virus corona terhadap perekonomian semakin nyata. Merespons situasi itu, bank sentral di berbagai negara memberi stimulus berupa pemotongan suku bunga acuan.

Sepertinya langkah serupa juga akan ditempuh oleh Bank Indonesia (BI). Mulai hari ini sampai besok, BI menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang akan memutuskan suku bunga acuan.


Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat akan menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,5%. Namun konsensus itu tidak terbentuk secara aklamasi.

Dari 12 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, enam yang meramal BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan ke 4,5%. Kemudian lima di antaranya memperkirakan suku bunga acuan ditahan di 4,75%. Sementara satu memproyeksi pemangkasan suku bunga acuan lebih agresif yaitu 50 bps menjadi 4,25%.

Institusi

BI 7 Day Reverse Repo Rate

CIMB Niaga

4.75

ING

4.75

Citi

4.75

BCA

4.75

Moody's Analytics

4.5

BNI Sekuritas

4.5

Maybank Indonesia

4.5

Danareksa Research Institute

4.5

Standard Chartered

4.5

Bank Danamon

4.5

Bahana Sekuritas

4.75

Mirae Asset

4.25

MEDIAN

4.5


Penyebaran virus corona memang semakin mengkhawatirkan. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Rabu (18/3/2020) pukul 10:13 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia tercatat 197.830. Sementara korban jiwa mencapai 7.944 orang.

 



Serangan virus corona adalah tragedi kemanusiaan dan kesehatan. Luasnya penyebaran virus ini membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan kondisi pandemi global.

Namun, dampak penyebaran virus corona juga terasa di sektor ekonomi. Aktivitas masyarakat menjadi terbatas (atau dibatasi) mengingat virus mematikan yang siap menyerang siapa saja dan kapan saja.

Berbagai perusahaan meliburkan atau mengizinkan karyawan bekerja dari rumah (Work from Home). Beberapa negara yang melakukan karantina wilayah alias lockdown bahkan sudah menutup akses bagi warga negara asing dan membatasi gerak masyarakat untuk meredam penyebaran virus lebih lanjut.


Hal-hal semacam ini yang membuat roda perekonomian bergerak lambat, atau mungkin bisa berhenti sama sekali. Ancaman perlambatan ekonomi bahkan resesi menjadi semakin nyata.

Oleh karena itu, sejumlah otoritas mencoba untuk menggairahkan perekonomian. Salah satunya adalah bank sentral melalui penurunan suku bunga acuan.

Ketika suku bunga acuan turun, diharapkan bakal tertransmisikan ke penurunan suku bunga kredit perbankan sehingga rumah tangga dan dunia usaha bisa mengakses pembiayaan dengan lebih murah. Ekonomi pun bakal terakselerasi.

Akhir pekan ini, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed kembali menurunkan suku bunga acuan. Tidak main-main, penurunannya mencapai 100 basis poin (bps) menjadi 0-0,25%, terendah sejak 2015.

Dalam sebulan terakhir, ini menjadi kali kedua The Fed menurunkan suku bunga acuan di luar rapat terjadwal. Pertama dilakukan pada 3 Maret, kala itu Federal Funds Rate dipangkas 50 bps. Seharusnya rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committe/FOMC) baru berlangsung pada 17-18 Maret.


"Penyebaran virus corona telah melukai masyarakat dan mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai negara, termasuk AS. Pasar keuangan global pun terpengaruh.

"Dampak penyebaran virus corona akan membebani aktivitas perekonomian AS dalam jangka pendek dan menyebabkan risiko terhadap prospek ke depan. Dengan perkembangan ini, Komite memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan ke 0-0,25%," tulis keterangan resmi The Fed.

Bank sentral Jepang (BoJ) juga melakukan rapat darurat tidak terjadwal. Meski tidak menurunkan suku bunga acuan, tetapi bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda itu berkomitmen untuk menjaga stabilitas pasar melalui gelontoran likuiditas.

"Pasar keuangan global sedang tidak stabil karena tingginya ketidakpastian akibat dampak penyebaran virus corona. Aktivitas ekonomi Jepang sudah melemah.

"BoJ merasa tepat melakukan pelonggaran moneter melalui tiga langkah. Pertama, memastikan kecukupan likuiditas melalui pembelian obligasi pemerintah dan operasi pasar valas. Kedua, memfasilitasi pembiayaan korporasi melalui skema operasi baru. Ketiga, secara aktif melakukan pembelian Exchange-Traded Funds (ETFs) dan Japan Real Estate Investment Trusts (J-REITs)," sebut keterangan tertulis BoJ.

Saat ini, suku bunga acuan di Negeri Matahari Terbit adalah -0,1%. Jika kondisi memungkinkan, Kuroda membuka peluang untuk membawa suku bunga acuan lebih rendah lagi.

"Saya rasa kami belum mencapai titik dasar dalam hal sejauh mana suku bunga acuan bisa diturunkan. Jika memungkinkan, kami bisa membawa suku bunga acuan minus lebih dalam lagi," tegas Kuroda, seperti diberitakan Reuters.


Contoh lain adalah bank sentral Selandia Baru (RBNZ) yang memangkas suku bunga acuan 75 bps menjadi 0,25%. Ini adalah rekor terendah sepanjang sejarah.


Oleh karena itu, kemungkinan BI akan menempuh langkah serupa dengan para kompratriotnya. Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, menilai BI akan bergabung dalam upaya global untuk memitigasi dampak penyebaran virus corona.

"Memang pada saat kondisi seperti ini monetary dan fiscal policy tidak akan berpengaruh banyak untuk real economy, karena intinya tetap di kemampuan pemerintah masing-masing dalam meminimalkan outbreak (penyebaran). Namun harapannya, begitu outbreak bisa diredam, yang itu mungkin karena negara-negara yang terdampak parah sudah mulai menerapkan lockdown, ekonomi bisa dipacu kencang," jelas Kevin.

Ruang untuk penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate, lanjut Kevin, juga tersedia. Sejauh ini inflasi domestik masih 'jinak', di mana pada Februari 2020 tercatat 2,98% year-on-year (YoY). Mirae Asset memperkirakan inflasi sepanjang 2020 masih terkendali di kisaran 3,3% YoY.

"Selain itu, spread (selisih) antara inflasi dengan yield (imbal hasil) obligasi pemerintah tenor 10 tahun masih tinggi. Per hari ini ada di 458,8 bps," kata Kevin. Jadi berinvestasi di Indonesia (terutama di obligasi pemerintah) masih menarik meski BI menurunkan suku bunga acuan.




Dari sisi yang memperkirakan suku bunga acuan bertahan di 4,75%, Putra Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, mengatakan neraca perdagangan yang 'menang banyak' pada Februari 2020 seharusnya belum membuat BI nyaman untuk menurunkan suku bunga acuan. Pada Februari, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 2,34 miliar. Ini adalah surplus tertinggi sejak 2011.



Surplus neraca perdagangan menggambarkan ketersediaan valas di perekonomian domestik meningkat, sehingga tekanan transaksi berjalan (current account) menurun. Ini bisa menjadi modal untuk memperkuat fondasi rupiah.


Perbaikan faktor eksternal ini semestinya bisa membuat BI lebih nyaman untuk menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, Satria menilai BI belum layak untuk mengendurkan kewaspadaan. Sebab penurunan suku bunga acuan belum tentu mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Dorongan kepada BI untuk menurunkan suku bunga acuan, terutama setelah The Fed menurunkan 150 bps, memang meningkat. Namun dampak (penurunan suku bunga acuan) mungkin tidak akan terasa karena likuiditas global sedang ketat dan investor memburu aset aman (safe haven assets). Dalam situasi seperti ini, kami memperkirakan Gubernur Perry memilih bermain aman dengan mempertahankan suku bunga acuan," sebut Satria.

Jadi bagaimana, Pak Gubenur...?


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular