
Polling CNBC Indonesia
Pasar Galau Nih, Pak Gubernur! Bunga Acuan Turun atau Tidak?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 March 2020 11:31

Oleh karena itu, kemungkinan BI akan menempuh langkah serupa dengan para kompratriotnya. Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, menilai BI akan bergabung dalam upaya global untuk memitigasi dampak penyebaran virus corona.
"Memang pada saat kondisi seperti ini monetary dan fiscal policy tidak akan berpengaruh banyak untuk real economy, karena intinya tetap di kemampuan pemerintah masing-masing dalam meminimalkan outbreak (penyebaran). Namun harapannya, begitu outbreak bisa diredam, yang itu mungkin karena negara-negara yang terdampak parah sudah mulai menerapkan lockdown, ekonomi bisa dipacu kencang," jelas Kevin.
Ruang untuk penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate, lanjut Kevin, juga tersedia. Sejauh ini inflasi domestik masih 'jinak', di mana pada Februari 2020 tercatat 2,98% year-on-year (YoY). Mirae Asset memperkirakan inflasi sepanjang 2020 masih terkendali di kisaran 3,3% YoY.
"Selain itu, spread (selisih) antara inflasi dengan yield (imbal hasil) obligasi pemerintah tenor 10 tahun masih tinggi. Per hari ini ada di 458,8 bps," kata Kevin. Jadi berinvestasi di Indonesia (terutama di obligasi pemerintah) masih menarik meski BI menurunkan suku bunga acuan.
Dari sisi yang memperkirakan suku bunga acuan bertahan di 4,75%, Putra Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, mengatakan neraca perdagangan yang 'menang banyak' pada Februari 2020 seharusnya belum membuat BI nyaman untuk menurunkan suku bunga acuan. Pada Februari, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 2,34 miliar. Ini adalah surplus tertinggi sejak 2011.
Surplus neraca perdagangan menggambarkan ketersediaan valas di perekonomian domestik meningkat, sehingga tekanan transaksi berjalan (current account) menurun. Ini bisa menjadi modal untuk memperkuat fondasi rupiah.
Perbaikan faktor eksternal ini semestinya bisa membuat BI lebih nyaman untuk menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, Satria menilai BI belum layak untuk mengendurkan kewaspadaan. Sebab penurunan suku bunga acuan belum tentu mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Dorongan kepada BI untuk menurunkan suku bunga acuan, terutama setelah The Fed menurunkan 150 bps, memang meningkat. Namun dampak (penurunan suku bunga acuan) mungkin tidak akan terasa karena likuiditas global sedang ketat dan investor memburu aset aman (safe haven assets). Dalam situasi seperti ini, kami memperkirakan Gubernur Perry memilih bermain aman dengan mempertahankan suku bunga acuan," sebut Satria.
Jadi bagaimana, Pak Gubenur...?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
"Memang pada saat kondisi seperti ini monetary dan fiscal policy tidak akan berpengaruh banyak untuk real economy, karena intinya tetap di kemampuan pemerintah masing-masing dalam meminimalkan outbreak (penyebaran). Namun harapannya, begitu outbreak bisa diredam, yang itu mungkin karena negara-negara yang terdampak parah sudah mulai menerapkan lockdown, ekonomi bisa dipacu kencang," jelas Kevin.
Ruang untuk penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate, lanjut Kevin, juga tersedia. Sejauh ini inflasi domestik masih 'jinak', di mana pada Februari 2020 tercatat 2,98% year-on-year (YoY). Mirae Asset memperkirakan inflasi sepanjang 2020 masih terkendali di kisaran 3,3% YoY.
"Selain itu, spread (selisih) antara inflasi dengan yield (imbal hasil) obligasi pemerintah tenor 10 tahun masih tinggi. Per hari ini ada di 458,8 bps," kata Kevin. Jadi berinvestasi di Indonesia (terutama di obligasi pemerintah) masih menarik meski BI menurunkan suku bunga acuan.
Dari sisi yang memperkirakan suku bunga acuan bertahan di 4,75%, Putra Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, mengatakan neraca perdagangan yang 'menang banyak' pada Februari 2020 seharusnya belum membuat BI nyaman untuk menurunkan suku bunga acuan. Pada Februari, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 2,34 miliar. Ini adalah surplus tertinggi sejak 2011.
Surplus neraca perdagangan menggambarkan ketersediaan valas di perekonomian domestik meningkat, sehingga tekanan transaksi berjalan (current account) menurun. Ini bisa menjadi modal untuk memperkuat fondasi rupiah.
Perbaikan faktor eksternal ini semestinya bisa membuat BI lebih nyaman untuk menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, Satria menilai BI belum layak untuk mengendurkan kewaspadaan. Sebab penurunan suku bunga acuan belum tentu mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Dorongan kepada BI untuk menurunkan suku bunga acuan, terutama setelah The Fed menurunkan 150 bps, memang meningkat. Namun dampak (penurunan suku bunga acuan) mungkin tidak akan terasa karena likuiditas global sedang ketat dan investor memburu aset aman (safe haven assets). Dalam situasi seperti ini, kami memperkirakan Gubernur Perry memilih bermain aman dengan mempertahankan suku bunga acuan," sebut Satria.
Jadi bagaimana, Pak Gubenur...?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular