Newsletter

Waspada Serangan Balasan China!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 November 2019 05:44
Waspada Serangan Balasan China!
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia berakhir variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok dalam, tetapi nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah masih bisa menguat.

Kemarin, IHSG ditutup amblas 1,16% dan tidak lagi di kisaran 6.000. IHSG menyentuh posisi terendah sejak Mei.


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat tipis 0,04%, tetapi penguatan ini baru hadir jelang penutupan pasar spot. Mata uang Tanah Air nyaris seharian menghuni zona merah.

Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 2,2 basis poin (bps). Penurunan yield artinya harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.

Secara umum, sebenarnya pasar keuangan Asia babak-belur pada perdagangan kemarin. Penyebabnya adalah hubungan AS-China yang menegang.

Presiden AS Donald Trump menandatangani Undang-undang (UU) penegakan hak asasi manusia di Hong Kong yang diusulkan oleh Kongres. Salah satu poin dalam UU tersebut adalah pemberian sanksi bagi pejabat China yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.

"Saya meneken UU ini sebagai bentuk respek kepada Presiden Xi (Jinping), China, dan rakyat Hong Kong. UU ini disahkan dengan harapan pemimpin dan perwakilan China di Hong Kong dapat mengatasi perbedaan serta menciptakan perdamaian dan kemakmuran bagi semua," kata Trump melalui keterangan tertulis.

Seperti perkiraan, China tidak terima. Kementerian Luar Negeri China menegaskan penolakan terhadap UU yang baru diteken Trump. Beijing menilai upaya AS mengintervensi urusan rumah tangga China akan gagal.

"Pemerintah China akan membalas jika AS terus melakukan hal semacam ini. AS adalah pihak yang harus bertanggung jawab," tegas pernyataan tertulis Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.


Oleh karena itu, langkah Trump yang mengesahkan UU penegakan hak asasi manusia di Hong Kong tentu akan mempengaruhi mood China saat melakukan perundingan dagang. Bisa saja AS-China gagal menyepakati perjanjian damai dagang Fase I.

Risiko perang dagang yang kembali meningkat menyebabkan pelaku pasar cenderung bermain aman. Aset-aset berisiko di negara berkembang pun jadi tumbal.

Namun mengapa rupiah dan harga obligasi masih bisa menguat? Sepertinya rupiah terangkat karena intervensi Bank Indonesia (BI). Bank sentral terlihat aktif di pasar Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF).

Selain itu, ada kemungkinan MH Thamrin juga masuk di pasar obligasi. 'Guyuran' BI di pasar Surat Berharga Negara (SBN) membuat harga instrumen ini naik.

Ditambah lagi investor memang tampaknya sedang getol memburu obligasi pemerintah karena suplainya yang terbatas. Kementerian Keuangan memutuskan untuk membatalkan dua lelang yang tersisa sampai akhir 2019. Ini membuat pasokan obligasi pemerintah di pasar menjadi berkurang sehingga harganya terangkat.



Hari ini, tidak ada perdagangan di Wall Street karena bursa saham New York tutup memperingati libur Thanksgiving. Jadi dinamika di Wall Street tidak akan menjadi sentimen penggerak pasar.

Namun, investor tetap perlu menyimak sejumlah sentimen lainnya. Pertama tentu perkembangan hubungan AS-China. Usai Trump meneken UU perlindungan hak asasi manusia di Hong Kong, situasinya menjadi liar. Bola panas terus bergulir.

Kementerian Luar Negeri China menegaskan Beijing pasti akan melakukan 'serangan balasan'. China mulai menebar ancaman.

"Anda lihat saja. Apa yang akan terjadi, terjadilah," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementeiran Luar Negeri China, seperti dikutip dari Reuters.


Hu Xijin, redaktur di tabloid Global Times (yang berafiliasi dengan pemerintah China), mengungkapkan counter attack itu akan berupa larangan masuk ke wilayah China bagi orang-orang yang terlibat dalam penyusunan UU penegakan hak asasi manusia di Hong Kong. Larangan masuk itu tidak hanya berlaku di daerah China daratan.

"Menurut apa yang saya tahu, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Presiden Trump dan rakyat AS, China sedang mempertimbangkan untuk melarang orang-orang menyusun UU hak asasi manusia dan demokrasi di Hong Kong ke daftar hitam. Mereka tidak bisa masuk ke China, Hong Kong, dan Makau," ungkap Hu dalam cuitan di Twitter.


Kemesraan AS-China yang memudar membuat prospek damai dagang menjadi samar-samar. Kalau sampai kesepakatan dagang Fase I gagal dan api perang dagang kembali berkobar, maka rantai pasok global tidak akan pulih bahkan semakin parah. Perlambatan ekonomi bahkan resesi akan menjadi berita yang datang bertubi-tubi.


Sentimen kedua, investor sepertinya perlu memantau perkembangan di Eropa. Hari akan dirilis sejumlah data penting di Benua Biru yaitu Indeks Keyakinan Konsumen Inggris, pembacaan final angka pertumbuhan ekonomi Prancis, serta angka pengangguran dan penjualan ritel Jerman.

Ketiga negara tersebut memang lolos dari resesi. Namun bukan berarti tidak ada masalah.

 

Negara-negara Eropa punya ketergantungan yang tinggi terhadap ekspor. Di Jerman, ekspor menyumbang sekitar 40% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan di Prancis dan Inggris masing-masing sekitar 30% dan 29%.

Selama rantai pasok global masih bermasalah gara-gara perang dagang, maka risiko resesi masih akan menghantui. Risiko resesi di Eropa tentu akan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan dunia.

Baca: Eropa, 'Pusat Gempa' Resesi Ekonomi Dunia?

Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah arah kebijakan BI untuk 2020. Dalam pidato di Pertemuan Tahunan BI tadi malam, Gubernur Perry Warjiyo mengungkapkan posisi (stance) kebijakan masih akan akomodatif, baik itu kebijakan moneter maupun makro prudensial.

"Bauran kebijakan akomodatif akan kami lanjutkan pada 2020 mendatang. Ke depan, kami akan mencermati perkembangan ekonomi domestik dan global dalam memanfaatkan terbukanya ruang kebijakan moneter yang akomodatif untuk tetap menjaga terkendalinya inflasi dan stabilitas eksternal serta turut mendorong momentum pertumbuhan," kata Perry.


Pernyataan Perry bisa diartikan bahwa BI belum akan mengubah stance untuk tahun depan. Agak berbeda dengan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang mungkin bakal mulai agak ngerem, ada kemungkinan BI masih akan agresif.

Pada 2 Januari 2020, BI akan mulai menerapkan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin. Jika benar BI masih akomodatif, maka penurunan GWM bisa jadi bukan pelonggaran yang pertama.

Mungkinkah suku bunga acuan turun lagi? Mengapa tidak, kalau BI betul-betul konsisten dalam penerapan kebijakan yang akomodatif.





Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data penjualan ritel Korea Selatan periode Oktober 2019 (06:00 WIB).
2. Rilis data angka pengangguran dan produksi industri Jepang periode Oktober 2019 (06:00 WIB).
3. Rilis data Indeks Kepercayaan Konsumen Inggris periode November (07:00 WIB).
4. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Lippo Cikarang Tbk (08:00 WIB).
5. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Cowell Development Tbk (08:00 WIB).
6. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Asuransi Jasa Tania Tbk (tentatif).
7. Paparan publik PT Hero Supermarket Tbk (14:00 WIB).
8. Rilis data penjualan ritel dan angka pengangguran Jerman (14:00 WIB).
9. Rilis data pembacaan final pertumbuhan ekonomi Prancis kuartal III-2019 (14:45 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q III-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Oktober 2019 YoY)

3,13%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Q III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Oktober 2019)

US$ 126,69 miliar

 

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular