
Newsletter
Waspada Serangan Balasan China!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 November 2019 05:44

Sentimen kedua, investor sepertinya perlu memantau perkembangan di Eropa. Hari akan dirilis sejumlah data penting di Benua Biru yaitu Indeks Keyakinan Konsumen Inggris, pembacaan final angka pertumbuhan ekonomi Prancis, serta angka pengangguran dan penjualan ritel Jerman.
Ketiga negara tersebut memang lolos dari resesi. Namun bukan berarti tidak ada masalah.
Negara-negara Eropa punya ketergantungan yang tinggi terhadap ekspor. Di Jerman, ekspor menyumbang sekitar 40% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan di Prancis dan Inggris masing-masing sekitar 30% dan 29%.
Selama rantai pasok global masih bermasalah gara-gara perang dagang, maka risiko resesi masih akan menghantui. Risiko resesi di Eropa tentu akan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan dunia.
Baca: Eropa, 'Pusat Gempa' Resesi Ekonomi Dunia?
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah arah kebijakan BI untuk 2020. Dalam pidato di Pertemuan Tahunan BI tadi malam, Gubernur Perry Warjiyo mengungkapkan posisi (stance) kebijakan masih akan akomodatif, baik itu kebijakan moneter maupun makro prudensial.
"Bauran kebijakan akomodatif akan kami lanjutkan pada 2020 mendatang. Ke depan, kami akan mencermati perkembangan ekonomi domestik dan global dalam memanfaatkan terbukanya ruang kebijakan moneter yang akomodatif untuk tetap menjaga terkendalinya inflasi dan stabilitas eksternal serta turut mendorong momentum pertumbuhan," kata Perry.
Pernyataan Perry bisa diartikan bahwa BI belum akan mengubah stance untuk tahun depan. Agak berbeda dengan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang mungkin bakal mulai agak ngerem, ada kemungkinan BI masih akan agresif.
Pada 2 Januari 2020, BI akan mulai menerapkan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin. Jika benar BI masih akomodatif, maka penurunan GWM bisa jadi bukan pelonggaran yang pertama.
Mungkinkah suku bunga acuan turun lagi? Mengapa tidak, kalau BI betul-betul konsisten dalam penerapan kebijakan yang akomodatif.
Ketiga negara tersebut memang lolos dari resesi. Namun bukan berarti tidak ada masalah.
Negara-negara Eropa punya ketergantungan yang tinggi terhadap ekspor. Di Jerman, ekspor menyumbang sekitar 40% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan di Prancis dan Inggris masing-masing sekitar 30% dan 29%.
Selama rantai pasok global masih bermasalah gara-gara perang dagang, maka risiko resesi masih akan menghantui. Risiko resesi di Eropa tentu akan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan dunia.
Baca: Eropa, 'Pusat Gempa' Resesi Ekonomi Dunia?
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah arah kebijakan BI untuk 2020. Dalam pidato di Pertemuan Tahunan BI tadi malam, Gubernur Perry Warjiyo mengungkapkan posisi (stance) kebijakan masih akan akomodatif, baik itu kebijakan moneter maupun makro prudensial.
"Bauran kebijakan akomodatif akan kami lanjutkan pada 2020 mendatang. Ke depan, kami akan mencermati perkembangan ekonomi domestik dan global dalam memanfaatkan terbukanya ruang kebijakan moneter yang akomodatif untuk tetap menjaga terkendalinya inflasi dan stabilitas eksternal serta turut mendorong momentum pertumbuhan," kata Perry.
Pernyataan Perry bisa diartikan bahwa BI belum akan mengubah stance untuk tahun depan. Agak berbeda dengan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang mungkin bakal mulai agak ngerem, ada kemungkinan BI masih akan agresif.
Pada 2 Januari 2020, BI akan mulai menerapkan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin. Jika benar BI masih akomodatif, maka penurunan GWM bisa jadi bukan pelonggaran yang pertama.
Mungkinkah suku bunga acuan turun lagi? Mengapa tidak, kalau BI betul-betul konsisten dalam penerapan kebijakan yang akomodatif.
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular