Newsletter

Kapan Sih AS-China Mau Teken Kesepakatan? Bosan Nunggunya...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 November 2019 05:59
Kapan Sih AS-China Mau Teken Kesepakatan? Bosan Nunggunya...
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Minimnya sentimen yang beredar di pasar membuat investor menahan diri.

Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup minus 0,73%. Meski indeks saham Asia lainnya juga cenderung melemah, tetapi kinerja IHSG menjadi salah satu yang terburuk.




Rupiah pun bernasib serupa. Mata uang Tanah Air mengakhiri perdagangan pasar spor dengan depresiasi 0,07% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Seperti halnya di pasar saham, mayoritas mata uang utama Asia pun melemah. Namun pelemahan mata uang Asia tipis-tipis saja.




Sebenarnya kemarin ada kabar baik seputar hubungan AS-China. Isu ini memang begitu dominan di pasar dalam beberapa waktu terakhir.

Reuters mengabarkan, tim negosiator AS-China mengadakan kontak melalui sambungan telepon. Tidak main-main, yang berbicara adalah para pemain kunci negosiasi dagang baik di sisi Washington maupun Beijing.

China diwakili oleh Perdana Menteri Liu He, Menteri Perdagangan Zhong Shan, dan Gubernur Bank Sentral (PBoC) Yi Gang. Sementara AS ada Kepala Kantor Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin.

"China dan AS sepakat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada," demikian sebut pernyataan Kementerian Perdagangan China.

Pelaku pasar begitu menantikan kapan AS-China akan meneken kesepakatan damai dagang Fase I. Namun sampai sekarang belum ada kejelasan.

"Invesor memang masih harus waspada, terutama terhadap isu dialog dagang. Ingat, jika AS-China tidak bisa menemukan kata sepakat sebelum 15 Desember, maka kenaikan tarif bea masuk di AS akan berlaku sehingga tensi dagang akan meninggi lagi," kata Lukman Otunuga, Senior Research Analyst di FXTM, seperti diberitakan Reuters.

Situasi yang masih tidak pasti ini membuat investor undur diri. Bahkan di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih sampai Rp 1,57 triliun di seluruh pasar. Wow.


 

Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama ditutup menguat. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,2%, S&P 500 terangkat 0,22%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,18%.

Lagi-lagi perkembangan relasi AS-China memainkan peran penting untuk mendongkrak bursa saham New York, meski dalam kisaran terbatas. Presiden AS Donald Trump mengungkapkan, Washington dan Beijin sudah dekat untuk mencapai perjanjian dagang.

"Kami sedang dalam putaran terakhir dalam pembahasan kesepakatan yang sangat penting. Bahkan saya rasa ini akan menjadi salah satu kesepakatan dagang terbesar dalam sejarah. Semua berjalan baik, tetapi pada saat yang sama kami ingin ada perbaikan di Hong Kong," kata Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.

Trump menambahkan, Presiden China Xi Jinping tentu akan mewujudkan kedamaian dan ketertiban di Hong Kong yang dilanda aksi unjuk rasa selama berbulan-bulan. Trump yakin China akan merespons positif hasil pemilihan Dewan Distrik di Hong Kong di mana kubu pro-demokrasi menang telak.


"Saya rasa Presiden Xi bisa melakukan itu. Saya kenal beliau, dan beliau akan mewujudkannya," ujar Trump.

Selain itu, investor juga menantikan musim liburan di AS yang bakal mendongkrak konsumsi. Pekan ini ada libur Thanksgiving dan kemudian Black Friday, diskon besar-besaran di berbagai tempat belanja.

Saham-saham ritel pun melesat. Best Buy meroket 9,86%, Home Depot naik 1,08%, bahkan Amazon ikut terdongkrak 1,3% karena harapan kenaikan penjualan secara online.

 

Untuk perdagangan hari ini, investor patut memperhatikan sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan positif di Wall Street. Meski penguatan di bursa saham New York tidak seberapa, tetapi semoga cukup untuk membawa optimisme ke Asia.

Kedua adalah apalagi kalau bukan dinamika hubungan dagang AS-China. Walau Trump pede kesepakatan dagang bisa segera ditandatangani, tetapi ada satu hal yang berpotensi menjadi ganjalan yaitu Hong Kong.

Beijing sudah memanggil Duta Besar AS untuk China Terry Branstad. China menegaskan rancangan undang-undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong yang diusulkan Kongres AS adalah bentuk campur tangan terhadap kedaulatan negara lain.

"Kami mendesak AS untuk memperbaiki kesalahannya. Berhentilah mengintervensi Hong Kong dan ikut campur dengan urusan dalam negeri China," tegas Zheng Zeguang, Wakil Menteri Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.


Oleh karena itu, ketidakpastian masih menyelimuti prospek damai dagang AS-China. Meski Trump bilang kesepakatan sudah dekat, tetapi kapan waktu penandatanganannya masih belum jelas. Selama belum ada kabar soal itu, berbagai berita dan spekulasi akan berdatangan dan menjadi sentimen penggerak pasar.

Namun ada harapan di sentimen ketiga yaitu rilis data neraca perdagangan AS. Pembacaan awal menunjukkan neraca perdagangan Negeri Paman Sam masih defisit yaitu minus US$ 66,53 miliar. Walau defisit tetapi jauh lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang tekor US$ 70,55 miliar.

Data ini bisa menjadi sentimen positif bagi dialog dagang AS-China. Defisit perdagangan AS yang membaik bukan tidak mungkin membuat Trump puas sehingga AS bisa bernegosiasi dengan mood yang lebih enak.

Trump memang sangat khawatir soal defisit perdagangan, terutama dengan China. Sepanjang Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan Negeri Tirai Bambu. Tahun lalu, defisit perdagangan AS dengan China tercatat US$ 419,53 miliar.

Jadi, mari berharap data neraca perdagangan AS bisa menjadi pintu masuk bagi negosiasi yang lebih baik. Semoga...

 

Sentimen keempat, masih dari AS, malam ini akan ada pengumuman pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya periode kuartal III-2019. Pada pembacaan pertama, pertumbuhan ekonomi AS ada di 1,9% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Sedikit melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 2%.

Penantian terhadap data ini sangat mungkin bisa menjadi sentimen penggerak pasar. Sebab, pertumbuhan ekonomi AS akan menentukan arah kebijakan moneter Bank Sentral (The Federal Reserve/The Fed).

Kemarin, Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell mengatakan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam masih dalam fase ekspansi, meski dalam laju yang tidak secepat perkiraan. Powell menilai dampak pelonggaran moneter yang ditempuh The Fed tahun ini mulai terlihat. Sejak awal tahun, suku bunga acuan sudah turun tiga kali.

"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.

Namun dengan pernyataan bahwa ekonomi AS masih terus ekspansif, dan dampak pelonggaran moneter baru mulai terasa, sepertinya The Fed akan menghentikan dulu siklus penurunan suku bunga untuk sementara waktu. Kalau ekonomi memang tumbuh, buat apa ada stimulus moneter yang berlebihan dan justru berisiko kontraproduktif karena menciptakan overheating?


Akan tetapi jika pembacaan kedua terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 menunjukkan perlambatan yang lebih dalam, maka bukan tidak mungkin The Fed akan mengkaji ulang posisinya. Bisa saja Powell dan kolega berpandangan AS butuh stimulus moneter lebih lanjut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, Federal Funds Rate bisa turun lagi.

Sembari menunggu rilis data pertumbuhan ekonomi, dolar AS saat ini bergerak melemah. Pada pukul 05:30 WIB, Dolar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,08%. Jika pelemahan dolar AS bertahan lama, maka rupiah punya kesempatan untuk membalas dendam.

Namun rupiah harus waspada dengan sentimen kelima yaitu harga minyak dunia. Pada pukul 05:31 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,8% dan 0,66%.

Penyebab kenaikan harga minyak adalah asa damai dagang AS-China. Apabila AS-China berdamai, maka rantai pasok dan pertumbuhan ekonomi global akan pulih. Artinya, ada potensi kenaikan permintaan energi sehingga harga si emas hitam bergerak ke utara.


Kenaikan harga minyak adalah kabar buruk bagi rupiah. Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak. Kala harga minyak naik, maka biaya impornya bakal membengkak sehingga menekan neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account).

Bila defisit transaksi berjalan memburuk gara-gara lonjakan impor minyak, maka rupiah tidak punya pijakan kuat. Oleh karena itu, rupiah harus tetap waspada.



Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (10:00 WIB).
2. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (14:00 WIB).
3. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Tabungan Negara Tbk (14:00 WIB).
4. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk (14.00 WIB).
5. Rilis data keuntungan korporasi industrial China periode Oktober 2019 (08:30 WIB).
6. Rilis data pembacaan kedua pertumbuhan ekonomi AS kuartal III-2019 (20:30 WIB).
7. Rilis data Personal Consumption Expenditure AS periode Oktober 2019 (20:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:


Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q III-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Oktober 2019 YoY)

3,13%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Q III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Oktober 2019)

US$ 126,69 miliar

 

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Anies Restui Restoran Hingga Bioskop Buka! Cuan, Cuan, Cuan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular