
Newsletter
Kapan Sih AS-China Mau Teken Kesepakatan? Bosan Nunggunya...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 November 2019 05:59

Sentimen keempat, masih dari AS, malam ini akan ada pengumuman pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya periode kuartal III-2019. Pada pembacaan pertama, pertumbuhan ekonomi AS ada di 1,9% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Sedikit melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 2%.
Penantian terhadap data ini sangat mungkin bisa menjadi sentimen penggerak pasar. Sebab, pertumbuhan ekonomi AS akan menentukan arah kebijakan moneter Bank Sentral (The Federal Reserve/The Fed).
Kemarin, Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell mengatakan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam masih dalam fase ekspansi, meski dalam laju yang tidak secepat perkiraan. Powell menilai dampak pelonggaran moneter yang ditempuh The Fed tahun ini mulai terlihat. Sejak awal tahun, suku bunga acuan sudah turun tiga kali.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
Namun dengan pernyataan bahwa ekonomi AS masih terus ekspansif, dan dampak pelonggaran moneter baru mulai terasa, sepertinya The Fed akan menghentikan dulu siklus penurunan suku bunga untuk sementara waktu. Kalau ekonomi memang tumbuh, buat apa ada stimulus moneter yang berlebihan dan justru berisiko kontraproduktif karena menciptakan overheating?
Akan tetapi jika pembacaan kedua terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 menunjukkan perlambatan yang lebih dalam, maka bukan tidak mungkin The Fed akan mengkaji ulang posisinya. Bisa saja Powell dan kolega berpandangan AS butuh stimulus moneter lebih lanjut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, Federal Funds Rate bisa turun lagi.
Sembari menunggu rilis data pertumbuhan ekonomi, dolar AS saat ini bergerak melemah. Pada pukul 05:30 WIB, Dolar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,08%. Jika pelemahan dolar AS bertahan lama, maka rupiah punya kesempatan untuk membalas dendam.
Namun rupiah harus waspada dengan sentimen kelima yaitu harga minyak dunia. Pada pukul 05:31 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,8% dan 0,66%.
Penyebab kenaikan harga minyak adalah asa damai dagang AS-China. Apabila AS-China berdamai, maka rantai pasok dan pertumbuhan ekonomi global akan pulih. Artinya, ada potensi kenaikan permintaan energi sehingga harga si emas hitam bergerak ke utara.
Kenaikan harga minyak adalah kabar buruk bagi rupiah. Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak. Kala harga minyak naik, maka biaya impornya bakal membengkak sehingga menekan neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account).
Bila defisit transaksi berjalan memburuk gara-gara lonjakan impor minyak, maka rupiah tidak punya pijakan kuat. Oleh karena itu, rupiah harus tetap waspada.
(aji/aji)
Penantian terhadap data ini sangat mungkin bisa menjadi sentimen penggerak pasar. Sebab, pertumbuhan ekonomi AS akan menentukan arah kebijakan moneter Bank Sentral (The Federal Reserve/The Fed).
Kemarin, Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell mengatakan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam masih dalam fase ekspansi, meski dalam laju yang tidak secepat perkiraan. Powell menilai dampak pelonggaran moneter yang ditempuh The Fed tahun ini mulai terlihat. Sejak awal tahun, suku bunga acuan sudah turun tiga kali.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
Namun dengan pernyataan bahwa ekonomi AS masih terus ekspansif, dan dampak pelonggaran moneter baru mulai terasa, sepertinya The Fed akan menghentikan dulu siklus penurunan suku bunga untuk sementara waktu. Kalau ekonomi memang tumbuh, buat apa ada stimulus moneter yang berlebihan dan justru berisiko kontraproduktif karena menciptakan overheating?
Akan tetapi jika pembacaan kedua terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 menunjukkan perlambatan yang lebih dalam, maka bukan tidak mungkin The Fed akan mengkaji ulang posisinya. Bisa saja Powell dan kolega berpandangan AS butuh stimulus moneter lebih lanjut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, Federal Funds Rate bisa turun lagi.
Sembari menunggu rilis data pertumbuhan ekonomi, dolar AS saat ini bergerak melemah. Pada pukul 05:30 WIB, Dolar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,08%. Jika pelemahan dolar AS bertahan lama, maka rupiah punya kesempatan untuk membalas dendam.
Namun rupiah harus waspada dengan sentimen kelima yaitu harga minyak dunia. Pada pukul 05:31 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,8% dan 0,66%.
Penyebab kenaikan harga minyak adalah asa damai dagang AS-China. Apabila AS-China berdamai, maka rantai pasok dan pertumbuhan ekonomi global akan pulih. Artinya, ada potensi kenaikan permintaan energi sehingga harga si emas hitam bergerak ke utara.
Kenaikan harga minyak adalah kabar buruk bagi rupiah. Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak. Kala harga minyak naik, maka biaya impornya bakal membengkak sehingga menekan neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account).
Bila defisit transaksi berjalan memburuk gara-gara lonjakan impor minyak, maka rupiah tidak punya pijakan kuat. Oleh karena itu, rupiah harus tetap waspada.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular