
Newsletter
AS-China Lagi, Lagi-lagi AS-China, Kapan Kelarnya?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 November 2019 06:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu bukan periode yang menyenangkan bagi pasar keuangan Indonesia. Pasar saham, valas, sampai obligasi seluruhnya terkoreksi.
Seperti halnya di Asia, bursa saham New York juga grogi akibat hubungan AS-China yang maju-mundur. "Padahal tanpa ketidakpastian, indeks S&P 500 mungkin sudah naik 12% dalam dua tahun terakhir," sebut peneliti Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Dallas Pavel Kapinos dan Alex Musatov, seperti dikutip dari Reuters.
Akan tetapi, sebenarnya ada harapan karena Wall Street ditutup menguat pada perdagangan akhir pekan. DJIA naik 0,39%, S&P 500 menguat 0,22%, dan Nasdaq bertambah 0,16%.
Lagi-lagi muncul sinyal positif dari relasi Washington-Beijing. Presiden Trump dalam wawancara dengan Fox News Channel mengatakan bahwa kesepakatan dagang AS-China mungkin sudah dekat.
"Kita akan segera memperoleh kesepakatan dengan China, mungkin sudah dekat. Kami mendukung Hong Kong, tetapi saya juga mendukung Presiden Xi (Jinping). Beliau sahabat saya, seorang yang luar biasa," kata Trump dalam acara tersebut, seperti diberitakan Reuters.
Robert O'Brien, Penasihat Pertahanan Gedung Putih, mengungkapkan bahwa perjanjian damai dagang AS-China Fase I bisa diteken pada akhir tahun ini. Namun, itu bukan berarti AS akan abai terhadap isu hak asasi manusia di Hong Kong.
"Kami berharap bisa mencapai kesepakatan pada akhir tahun, saya masih merasa itu mungkin. Pada saat yang sama, kami juga tidak bisa menutup mata atas apa yang terjadi di Hong Kong atau Laut China Selatan atau wilayah lainnya di mana aktivitas China dinilai mengkhawatirkan," papar O'Brien, seperti diwartakan Reuters.
Walau isu Hong Kong bisa menjadi ganjalan, tetapi setidaknya ada harapan AS-China bisa menandatangani perjanjian dagang. Semoga sentimen ini mampu bertahan lama sehingga membuat pasar keuangan Asia kembali ceria.
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu saja dinamika AS-China. Sepertinya sebelum ada kejelasan kapan Presiden Trump dan Presiden Xi bertemu untuk meneken kesepakatan dagang, berbagai spekulasi masih akan memberi warna.
Investor patut waspada karena sinyal yang datang akhir pekan lalu agak mixed. Meski memberi harapan, tetapi Trump lagi-lagi menegaskan bahwa kesepakatan dagang dengan China tidak bisa bersifat win-win. Kepentingan AS harus diutamakan, karena selama ini China dinilai telah berlaku tidak adil.
"AS menderita selama bertahun-tahun karena China mencatat surplus (perdagangan) yang begitu besar. Saya sudah mengatakan kepada Presiden Xi bahwa (kesepakatan) ini tidak bisa seimbang. Kami ada di lantai, sementara Anda sudah di langit-langit," tegas Trump dalam wawancara di Fox News.
Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Pekan ini, tepatnya pada Selasa dini hari waktu Indonesia, US Census Bureau akan mengumumkan pembacaan awal neraca perdagangan AS. Nanti akan terlihat bagaimana perkembangan neraca perdagangan AS dengan China. Jika semakin parah, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi rencana damai dagang.
Oleh karena itu, masih ada risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Selama AS masih membukukan defisit perdagangan dengan China, apalagi kalau nilainya semakin parah, maka Trump bakal semakin galak dan perang dagang bisa semakin panjang.
Sentimen kedua, masih terkait hubungan AS-China, pelaku pasar juga perlu mencermati perkembangan isu Hong Kong. Kongres AS sudah menyetujui aturan soal penegakan hak asasi manusia di Hong Kong, tetapi sikap Trump masih mendua.
"Kalau bukan karena saya, Hong Kong sudah hancur dalam 14 menit. Presiden Xi punya sejuta pasukan yang bersiaga di luar wilayah Hong Kong, mereka tidak masuk karena saya yang memintanya.
"Begini, kita harus bersama dengan Hong Kong tetapi saya juga bersama Presiden Xi. Saya mendukung Hong Kong, saya mendukung kebebasan, tetapi saya juga ingin mendukung hal yang sedang kita perjuangkan.
"Kita sedang dalam proses untuk menuju kesepakatan dagang terbesar dalam sejarah. Jika kita berhasil, tentu akan sangat luar biasa," jelas Trump dalam wawancara dengan Fox News Channel, seperti diberitakan Reuters.
Mengingat perkembangan di Hong Kong, terutama terkait keterlibatan AS, bisa mempengaruhi prospek damai dagang, maka ada baiknya pelaku pasar memonitor perkembangan isu ini. Segala hal yang berkaitan dengan hubungan dagang AS-China memang sangat berpotensi menjadi isu penggerak pasar.
Sentimen ketiga, sepertinya investor patut mewaspadai pergerakan dolar AS. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,48%. Bahkan indeks ini sudah menguat nyaris 1% sejak awal bulan.
Ada kemungkinan tren penguatan dolar AS belum berakhir. Pasalnya, data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam cukup positif.
Akhir pekan lalu, IHS Markit merilis angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode November yang sebesar 52,2. Naik dibandingkan Oktober yaitu 51,3.
Kemudian, pembacaan awal PMI sektor jasa periode November menunjukkan angka 51,6. Juga naik dibandingkan Oktober yang sebesar 50,6.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha cenderung ekspansif.
Data-data ini semakin meyakinkan pasar bahwa The Fed bakal menghentikan siklus penurunan suku bunga acuan untuk sementara waktu. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate bertahan di 1,5-1,75% pada pertemuan The Fed 11 Desember mencapai 93,4%.
Memang ada alasan kuat bagi Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega untuk mempertahankan suku bunga. Data PMI memberi konfirmasi bahwa ekonomi AS masih di jalur ekspansi, meski ada perlambatan.
Selain itu, The Fed sudah menurunkan suku bunga acuan tiga kali sejak awal tahun. Ada baiknya The Fed menilai dulu seberapa jauh efektivitas penurunan tersebut sebelum menentukan langkah selanjutnya.
Suku bunga acuan yang mungkin belum akan turun dalam waktu dekat membuat berinvestasi di dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) tidak rugi-rugi amat. Ini membuat dolar AS masih punya tenaga untuk menguat, sehingga mata uang Asia, termasuk rupiah, wajib waspada.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Atlas Resources Tbk (10:00 WIB).
2. Rilis data Coincident Index dan Leading Economic Index Jepang periode September (21:00 WIB).
3. Rilis data Ifo Business Climate Jerman periode November (16:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Anies Restui Restoran Hingga Bioskop Buka! Cuan, Cuan, Cuan?
Sepanjang minggu kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,46%. Kala penutupan perdagangan akhir pekan, IHSG berada di posisi terlemah sejak 14 November.
Namun IHSG tidak sendirian, karena berbagai indeks saham utama Asia juga bergerak ke selatan. Bahkan beberapa di antaranya melemah lebih dalam ketimbang IHSG.
Rupiah pun mengalami derita serupa. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air melemah 0,09% secara point-to-point.
Mayoritas mata uang utama Benua Kuning juga melemah terhadap greenback. Bahkan won Korea Selatan terdepresiasi lebih dari 1%.
Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Indonesia seri acuan tenor 10 tahun naik 2,8 basis poin (bps) secara point-to-point. Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual.
Dari sisi eksternal, sentimen penggerak utama di pasar keuangan global pekan lalu adalah dinamika hubungan AS-China. Banyak kabar dan spekulasi berseliweran, dan setiap ada berita terbaru pasti mendapat respons.
Pada awal pekan lalu, sempat ada harapan kedua negara bisa segera mencapai kesepakatan dagang Fase I. Dalam wawancara bersama Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mengungkapkan bahwa AS-China sangat mungkin untuk menyepakati perjanjian damai dagang Fase I.
Namun sehari setelahnya justru berita buruk yang datang. CNBC International memberitakan, seperti mengutip seorang pejabat pemerintahan China, Beijing agak pesimistis dengan masa depan kesepakatan tersebut. Pasalnya, China tetap keukeuh ingin memasukkan penghapusan bea masuk menjadi salah satu poin perjanjian damai dagang.
"Mood di Beijing soal kesepakatan dagang agak pesimistis, seorang pejabat pemerintah memberitahu kepada saya. China kurang nyaman setelah Trump (Presiden AS Donald Trump) mengatakan tidak ada penghapusan bea masuk. Sekarang strateginya adalah melanjutkan pembicaraan, tetapi (China) terus menunggu perkembangan kemungkinan pelengseran (Trump) dan Pemilu AS 2020. Juga memprioritaskan dukungan terhadap ekonomi domestik," demikian cuit jurnalis CNBC International Eunice Yoon melalui Twitter.
Ketidakpastian bertambah kala Christian Whiton, Senior Fellow for Strategy and Trade di Center for the National Interest, mengatakan bahwa satu hal yang mengganjal adalah permintaan China untuk menghapus segala bentuk bea masuk yang sudah diterapkan selama perang dagang. Sebagai informasi, AS telah memberlakukan bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 550 miliar selama perang dagang yang berlangsung lebih dari setahun terakhir.
"Kalau pembicaraan berlangsung mulus, maka kenaikan bea masuk lebih lanjut bisa dibatalkan. Namun kalau tidak, maka AS akan kembali mengenakan bea masuk baru dan proses perundingan berlanjut sampai tahun depan," kata Whiton, seperti diberitakan Reuters.
Pada akhir pekan lalu, situasi bertambah rumit kala ada faktor lain yang mempengaruhi kesepakatan tersebut. Hong Kong. House of Representatives dan Senat AS mengesahkan aturan yang meminta penegakan hak asasi manusia di wilayah otonom China itu.
Aturan itu tinggal menunggu tanda tangan Presiden AS Donald Trump untuk segera berlaku efektif. Salah satu poinnya adalah AS bisa mengenakan sanksi bagi aparat pemerintah China yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.
Sikap Washington yang mulai terang-terangan mengintervensi Hong Kong tentu membuat Beijing tidak nyaman. Kementerian Luar Negeri China menegaskan bahwa Hong Kong adalah urusan dalam negeri mereka.
"Kami mendesak AS untuk menghentikan aktivitas ini, hentikan sebelum terlambat. Berhentilah ikut campur dalam urusan Hong Kong dan China. AS harus berhenti melakukan hal-hal yang bisa mengundang balasan dari China," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.
Dari dalam negeri, sempat ada harapan dari hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI). Gubernur Perry Warjiyo dan kolega memutuskan untuk mempertahan suku bunga acuan di angka 5%. Namun Giro Wajib Minimum (GWM) diturunkan 50 bps, berlaku mulai 2 Januari 2020.
Penurunan GWM tersebut diperkirakan mampu menambah likuiditas perbankan sebesar Rp 26 triliun. Likuiditas tersebut diharapkan mampu merangsang perbankan untuk lebih getol menyalurkan kredit.
Maklum, pertumbuhan kredit memang terus melambat. Pada September, penyaluran kredit hanya tumbuh 7,89% year-on-year (YoY) dan sepanjang 2019 diperkirakan cuma 8%.
Apabila penyaluran kredit semakin kencang, maka dampaknya adalah percepatan pertumbuhan ekonomi. Ada harapan pertumbuhan ekonomi 2020, seiring dengan pelonggaran GWM, bisa lebih baik dari 2019 yang oleh BI diperkirakan sebesar 5,1%.
Akan tetapi, sepertinya Perry Warijyo effect ternyata tidak bertahan lama. Pasar keuangan Indonesia akhirnya terhanyut oleh kebimbangan damai dagang AS-China.
Dari Wall Street, tiga indeks utama juga mengalami koreksi. Secara mingguan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,46% point-to-point. Dalam periode yang sama, S&P 500 dan Nasdaq Composite melemah masing-masing 0,33% dan 0,25%. Namun IHSG tidak sendirian, karena berbagai indeks saham utama Asia juga bergerak ke selatan. Bahkan beberapa di antaranya melemah lebih dalam ketimbang IHSG.
Rupiah pun mengalami derita serupa. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air melemah 0,09% secara point-to-point.
Mayoritas mata uang utama Benua Kuning juga melemah terhadap greenback. Bahkan won Korea Selatan terdepresiasi lebih dari 1%.
Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Indonesia seri acuan tenor 10 tahun naik 2,8 basis poin (bps) secara point-to-point. Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual.
Dari sisi eksternal, sentimen penggerak utama di pasar keuangan global pekan lalu adalah dinamika hubungan AS-China. Banyak kabar dan spekulasi berseliweran, dan setiap ada berita terbaru pasti mendapat respons.
Pada awal pekan lalu, sempat ada harapan kedua negara bisa segera mencapai kesepakatan dagang Fase I. Dalam wawancara bersama Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mengungkapkan bahwa AS-China sangat mungkin untuk menyepakati perjanjian damai dagang Fase I.
Namun sehari setelahnya justru berita buruk yang datang. CNBC International memberitakan, seperti mengutip seorang pejabat pemerintahan China, Beijing agak pesimistis dengan masa depan kesepakatan tersebut. Pasalnya, China tetap keukeuh ingin memasukkan penghapusan bea masuk menjadi salah satu poin perjanjian damai dagang.
"Mood di Beijing soal kesepakatan dagang agak pesimistis, seorang pejabat pemerintah memberitahu kepada saya. China kurang nyaman setelah Trump (Presiden AS Donald Trump) mengatakan tidak ada penghapusan bea masuk. Sekarang strateginya adalah melanjutkan pembicaraan, tetapi (China) terus menunggu perkembangan kemungkinan pelengseran (Trump) dan Pemilu AS 2020. Juga memprioritaskan dukungan terhadap ekonomi domestik," demikian cuit jurnalis CNBC International Eunice Yoon melalui Twitter.
Ketidakpastian bertambah kala Christian Whiton, Senior Fellow for Strategy and Trade di Center for the National Interest, mengatakan bahwa satu hal yang mengganjal adalah permintaan China untuk menghapus segala bentuk bea masuk yang sudah diterapkan selama perang dagang. Sebagai informasi, AS telah memberlakukan bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 550 miliar selama perang dagang yang berlangsung lebih dari setahun terakhir.
"Kalau pembicaraan berlangsung mulus, maka kenaikan bea masuk lebih lanjut bisa dibatalkan. Namun kalau tidak, maka AS akan kembali mengenakan bea masuk baru dan proses perundingan berlanjut sampai tahun depan," kata Whiton, seperti diberitakan Reuters.
Pada akhir pekan lalu, situasi bertambah rumit kala ada faktor lain yang mempengaruhi kesepakatan tersebut. Hong Kong. House of Representatives dan Senat AS mengesahkan aturan yang meminta penegakan hak asasi manusia di wilayah otonom China itu.
Aturan itu tinggal menunggu tanda tangan Presiden AS Donald Trump untuk segera berlaku efektif. Salah satu poinnya adalah AS bisa mengenakan sanksi bagi aparat pemerintah China yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.
Sikap Washington yang mulai terang-terangan mengintervensi Hong Kong tentu membuat Beijing tidak nyaman. Kementerian Luar Negeri China menegaskan bahwa Hong Kong adalah urusan dalam negeri mereka.
"Kami mendesak AS untuk menghentikan aktivitas ini, hentikan sebelum terlambat. Berhentilah ikut campur dalam urusan Hong Kong dan China. AS harus berhenti melakukan hal-hal yang bisa mengundang balasan dari China," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.
Dari dalam negeri, sempat ada harapan dari hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI). Gubernur Perry Warjiyo dan kolega memutuskan untuk mempertahan suku bunga acuan di angka 5%. Namun Giro Wajib Minimum (GWM) diturunkan 50 bps, berlaku mulai 2 Januari 2020.
Penurunan GWM tersebut diperkirakan mampu menambah likuiditas perbankan sebesar Rp 26 triliun. Likuiditas tersebut diharapkan mampu merangsang perbankan untuk lebih getol menyalurkan kredit.
Maklum, pertumbuhan kredit memang terus melambat. Pada September, penyaluran kredit hanya tumbuh 7,89% year-on-year (YoY) dan sepanjang 2019 diperkirakan cuma 8%.
Apabila penyaluran kredit semakin kencang, maka dampaknya adalah percepatan pertumbuhan ekonomi. Ada harapan pertumbuhan ekonomi 2020, seiring dengan pelonggaran GWM, bisa lebih baik dari 2019 yang oleh BI diperkirakan sebesar 5,1%.
Akan tetapi, sepertinya Perry Warijyo effect ternyata tidak bertahan lama. Pasar keuangan Indonesia akhirnya terhanyut oleh kebimbangan damai dagang AS-China.
Seperti halnya di Asia, bursa saham New York juga grogi akibat hubungan AS-China yang maju-mundur. "Padahal tanpa ketidakpastian, indeks S&P 500 mungkin sudah naik 12% dalam dua tahun terakhir," sebut peneliti Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Dallas Pavel Kapinos dan Alex Musatov, seperti dikutip dari Reuters.
Akan tetapi, sebenarnya ada harapan karena Wall Street ditutup menguat pada perdagangan akhir pekan. DJIA naik 0,39%, S&P 500 menguat 0,22%, dan Nasdaq bertambah 0,16%.
Lagi-lagi muncul sinyal positif dari relasi Washington-Beijing. Presiden Trump dalam wawancara dengan Fox News Channel mengatakan bahwa kesepakatan dagang AS-China mungkin sudah dekat.
"Kita akan segera memperoleh kesepakatan dengan China, mungkin sudah dekat. Kami mendukung Hong Kong, tetapi saya juga mendukung Presiden Xi (Jinping). Beliau sahabat saya, seorang yang luar biasa," kata Trump dalam acara tersebut, seperti diberitakan Reuters.
Robert O'Brien, Penasihat Pertahanan Gedung Putih, mengungkapkan bahwa perjanjian damai dagang AS-China Fase I bisa diteken pada akhir tahun ini. Namun, itu bukan berarti AS akan abai terhadap isu hak asasi manusia di Hong Kong.
"Kami berharap bisa mencapai kesepakatan pada akhir tahun, saya masih merasa itu mungkin. Pada saat yang sama, kami juga tidak bisa menutup mata atas apa yang terjadi di Hong Kong atau Laut China Selatan atau wilayah lainnya di mana aktivitas China dinilai mengkhawatirkan," papar O'Brien, seperti diwartakan Reuters.
Walau isu Hong Kong bisa menjadi ganjalan, tetapi setidaknya ada harapan AS-China bisa menandatangani perjanjian dagang. Semoga sentimen ini mampu bertahan lama sehingga membuat pasar keuangan Asia kembali ceria.
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu saja dinamika AS-China. Sepertinya sebelum ada kejelasan kapan Presiden Trump dan Presiden Xi bertemu untuk meneken kesepakatan dagang, berbagai spekulasi masih akan memberi warna.
Investor patut waspada karena sinyal yang datang akhir pekan lalu agak mixed. Meski memberi harapan, tetapi Trump lagi-lagi menegaskan bahwa kesepakatan dagang dengan China tidak bisa bersifat win-win. Kepentingan AS harus diutamakan, karena selama ini China dinilai telah berlaku tidak adil.
"AS menderita selama bertahun-tahun karena China mencatat surplus (perdagangan) yang begitu besar. Saya sudah mengatakan kepada Presiden Xi bahwa (kesepakatan) ini tidak bisa seimbang. Kami ada di lantai, sementara Anda sudah di langit-langit," tegas Trump dalam wawancara di Fox News.
Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Pekan ini, tepatnya pada Selasa dini hari waktu Indonesia, US Census Bureau akan mengumumkan pembacaan awal neraca perdagangan AS. Nanti akan terlihat bagaimana perkembangan neraca perdagangan AS dengan China. Jika semakin parah, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi rencana damai dagang.
Oleh karena itu, masih ada risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Selama AS masih membukukan defisit perdagangan dengan China, apalagi kalau nilainya semakin parah, maka Trump bakal semakin galak dan perang dagang bisa semakin panjang.
Sentimen kedua, masih terkait hubungan AS-China, pelaku pasar juga perlu mencermati perkembangan isu Hong Kong. Kongres AS sudah menyetujui aturan soal penegakan hak asasi manusia di Hong Kong, tetapi sikap Trump masih mendua.
"Kalau bukan karena saya, Hong Kong sudah hancur dalam 14 menit. Presiden Xi punya sejuta pasukan yang bersiaga di luar wilayah Hong Kong, mereka tidak masuk karena saya yang memintanya.
"Begini, kita harus bersama dengan Hong Kong tetapi saya juga bersama Presiden Xi. Saya mendukung Hong Kong, saya mendukung kebebasan, tetapi saya juga ingin mendukung hal yang sedang kita perjuangkan.
"Kita sedang dalam proses untuk menuju kesepakatan dagang terbesar dalam sejarah. Jika kita berhasil, tentu akan sangat luar biasa," jelas Trump dalam wawancara dengan Fox News Channel, seperti diberitakan Reuters.
Mengingat perkembangan di Hong Kong, terutama terkait keterlibatan AS, bisa mempengaruhi prospek damai dagang, maka ada baiknya pelaku pasar memonitor perkembangan isu ini. Segala hal yang berkaitan dengan hubungan dagang AS-China memang sangat berpotensi menjadi isu penggerak pasar.
Sentimen ketiga, sepertinya investor patut mewaspadai pergerakan dolar AS. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,48%. Bahkan indeks ini sudah menguat nyaris 1% sejak awal bulan.
Ada kemungkinan tren penguatan dolar AS belum berakhir. Pasalnya, data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam cukup positif.
Akhir pekan lalu, IHS Markit merilis angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode November yang sebesar 52,2. Naik dibandingkan Oktober yaitu 51,3.
Kemudian, pembacaan awal PMI sektor jasa periode November menunjukkan angka 51,6. Juga naik dibandingkan Oktober yang sebesar 50,6.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha cenderung ekspansif.
Data-data ini semakin meyakinkan pasar bahwa The Fed bakal menghentikan siklus penurunan suku bunga acuan untuk sementara waktu. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate bertahan di 1,5-1,75% pada pertemuan The Fed 11 Desember mencapai 93,4%.
Memang ada alasan kuat bagi Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega untuk mempertahankan suku bunga. Data PMI memberi konfirmasi bahwa ekonomi AS masih di jalur ekspansi, meski ada perlambatan.
Selain itu, The Fed sudah menurunkan suku bunga acuan tiga kali sejak awal tahun. Ada baiknya The Fed menilai dulu seberapa jauh efektivitas penurunan tersebut sebelum menentukan langkah selanjutnya.
Suku bunga acuan yang mungkin belum akan turun dalam waktu dekat membuat berinvestasi di dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) tidak rugi-rugi amat. Ini membuat dolar AS masih punya tenaga untuk menguat, sehingga mata uang Asia, termasuk rupiah, wajib waspada.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Atlas Resources Tbk (10:00 WIB).
2. Rilis data Coincident Index dan Leading Economic Index Jepang periode September (21:00 WIB).
3. Rilis data Ifo Business Climate Jerman periode November (16:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Oktober 2019 YoY) | 3,13% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2019) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2019) | -US$ 46 juta |
Cadangan devisa (Oktober 2019) | US$ 126,69 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Anies Restui Restoran Hingga Bioskop Buka! Cuan, Cuan, Cuan?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular