
Intip Segudang Alasan China yang Mulai 'Buang Dolar'
Wangi Sinintya, CNBC Indonesia
24 November 2019 16:50

Beijing, CNBC Indonesia - China merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Tidak hanya itu, Negeri Tirai Bambu adalah salah satu negara yang banyak berinteraksi dengan Amerika Serikat (AS). Hal itu membuat China banyak menggunakan dolar dalam melakukan transaksi, dan sangat bergantung pada dolar.
Namun, rupanya China serius meningkatkan upaya 'decoupling' alias menjauhkan diri dari keterikatan dengan negara lain. Bahkan negara yang dipimpin Xi Jinping itu secara diam-diam melakukan diversifikasi cadangan devisa untuk mengurangi ketergantungan pada dolar, termasuk membangun "cadangan devisa bayangan".
Adanya perang dagang antara China dan AS juga meningkatkan risiko bagi Negeri Tirai Bambu. Sehingga langkah 'buang dolar' atau dedolarisasi itu pun dilakukan. Utamanya saat kabar AS mulai mempertimbangkan melakukan pembatasan terhadap investasi di China kian merebak. Salah satu bentuk pembatasan yang dilakukan Negeri Paman Sam adalah dengan melakukan delisting saham China di AS.
"Ketegangan perdagangan yang sedang berlangsung dengan AS telah meningkatkan risiko decoupling keuangan antara dua ekonomi terbesar," tulis laporan ANZ Research seperti dilansir dari CNBC Internasional, Minggu (24/11/2019).
Jadi, tidaklah mengherankan jika China mulai mengelola risiko dengan mendiversifikasi cadangan devisa ke dalam mata uang lain serta membangun "cadangan devisa bayangan" atau shadow reserves.
"Meskipun China masih mengalokasikan porsi yang tinggi dari cadangan valasnya ke dolar AS, laju diversifikasi ke mata uang lain kemungkinan akan lebih cepat ke depannya," tulis laporan ANZ Research.
Saat ini porsi dolar AS dalam cadangan China diperkirakan sekitar 59% pada Juni 2019. Meskipun tidak diketahui pasti, ANZ meyakini terdapat pula mata uang lain seperti pound Inggris, yen Jepang, dan euro Uni Eropa dalam cadangan devisa itu.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), dolar AS saat ini mencakup 58% dari total mata uang cadangan devisa di dunia dan sekitar 40% dari utang dunia tercatat dalam mata uang dolar.
China juga telah berangsur-angsur mengurangi kepemilikan atas surat utang AS. Padahal, China adalah pemegang asing terbesar hingga Juni. Negeri Tirai Bambu telah mengurangi kepemilikannya sebesar US$ 88 miliar dalam 14 bulan terakhir. Demikian laporan DBS beberapa waktu lalu.
Menurut data dari Departemen Keuangan AS, China memiliki US$ 1,11 triliun surat utang AS per Juni. Pada saat yang sama, China juga telah gencar melakukan pembelian emas. Cadangan emas resmi negara ini mencapai 1.957,5 ton per Oktober lalu.
Selain pemerintahan, ekonom dari Pinebridge Investment Paul Hsiao juga menyebut perusahaan-perusahaan China banyak yang terpengaruh pergerakan dolar. Ini dikarenakan utang perusahaan-perusahaan China mencapai US$ 500 miliar.
"Sebagian besar dalam dolar AS yang bisa menjadi masalah bagi perusahaan China," kata Hsiao dalam email ke CNBC. "China dan kawasan Asia yang lebih luas lagi, masih sangat terekspos terhadap pergerakan dolar AS," lanjutnya.
(miq/miq) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Namun, rupanya China serius meningkatkan upaya 'decoupling' alias menjauhkan diri dari keterikatan dengan negara lain. Bahkan negara yang dipimpin Xi Jinping itu secara diam-diam melakukan diversifikasi cadangan devisa untuk mengurangi ketergantungan pada dolar, termasuk membangun "cadangan devisa bayangan".
Adanya perang dagang antara China dan AS juga meningkatkan risiko bagi Negeri Tirai Bambu. Sehingga langkah 'buang dolar' atau dedolarisasi itu pun dilakukan. Utamanya saat kabar AS mulai mempertimbangkan melakukan pembatasan terhadap investasi di China kian merebak. Salah satu bentuk pembatasan yang dilakukan Negeri Paman Sam adalah dengan melakukan delisting saham China di AS.
Jadi, tidaklah mengherankan jika China mulai mengelola risiko dengan mendiversifikasi cadangan devisa ke dalam mata uang lain serta membangun "cadangan devisa bayangan" atau shadow reserves.
"Meskipun China masih mengalokasikan porsi yang tinggi dari cadangan valasnya ke dolar AS, laju diversifikasi ke mata uang lain kemungkinan akan lebih cepat ke depannya," tulis laporan ANZ Research.
Saat ini porsi dolar AS dalam cadangan China diperkirakan sekitar 59% pada Juni 2019. Meskipun tidak diketahui pasti, ANZ meyakini terdapat pula mata uang lain seperti pound Inggris, yen Jepang, dan euro Uni Eropa dalam cadangan devisa itu.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), dolar AS saat ini mencakup 58% dari total mata uang cadangan devisa di dunia dan sekitar 40% dari utang dunia tercatat dalam mata uang dolar.
China juga telah berangsur-angsur mengurangi kepemilikan atas surat utang AS. Padahal, China adalah pemegang asing terbesar hingga Juni. Negeri Tirai Bambu telah mengurangi kepemilikannya sebesar US$ 88 miliar dalam 14 bulan terakhir. Demikian laporan DBS beberapa waktu lalu.
Menurut data dari Departemen Keuangan AS, China memiliki US$ 1,11 triliun surat utang AS per Juni. Pada saat yang sama, China juga telah gencar melakukan pembelian emas. Cadangan emas resmi negara ini mencapai 1.957,5 ton per Oktober lalu.
Selain pemerintahan, ekonom dari Pinebridge Investment Paul Hsiao juga menyebut perusahaan-perusahaan China banyak yang terpengaruh pergerakan dolar. Ini dikarenakan utang perusahaan-perusahaan China mencapai US$ 500 miliar.
"Sebagian besar dalam dolar AS yang bisa menjadi masalah bagi perusahaan China," kata Hsiao dalam email ke CNBC. "China dan kawasan Asia yang lebih luas lagi, masih sangat terekspos terhadap pergerakan dolar AS," lanjutnya.
(miq/miq) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular