
Newsletter
Huft...!!! Semoga Ada Keajaiban di Pasar Keuangan Hari ini
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
06 August 2019 06:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Awan kelabu telah menghampiri pasar keuangan dalam negeri kemarin. Pada penutupan sesi perdagangan hari Senin (5/8/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,59%, rupiah melemah 0,53%, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor acuan 10 tahun naik 8,9 basis poin.
Khusus IHSG, pelemahan harian tersebut merupakan yang paling dalam sejak September 2018. Perlu diketahui bahwa pergerakan harga dan yield di pasar obligasi akan berbanding terbalik. Kala yield naik, artinya harga sedang turun karena marak aksi jual. Berlaku pula sebaliknya.
Nasib IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei ambruk 1,74%, indeks Shanghai melemah 1,62%, indeks Hang Seng anjlok 2,85%, indeks Straits Times turun 1,94%, dan indeks Kospi terkoreksi 2,56%.
Dari dalam negeri, sentimen negatif datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi. Sepanjang kuartal II-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) RI atas harga konstan hanya mampu tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Meskipun sudah sesuai dengan ekspektasi analis, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 melambat dari kuartal sebelumnya yang sebesar 5,07% YoY. Bahkan pertumbuhan ekonomi yang dibacakan kali ini merupakan yang paling rendah sejak kuartal II-2017 atau dua tahun lalu.
Padahal kalau boleh dibilang, ada banyak agenda yang bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak perekonomian. Contohnya Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif yang jatuh pada bulan April. Selain itu ada pula bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri pada Mei dan Juni.
Agenda-agenda tersebut punya kekuatan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Sebagai informasi, perekonomian Indonesia saat ini masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga dengan porsi lebih dari 50% terhadap PDB.
Kini sejarah telah mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi RI melambat dalam dua kuartal berturut-turut. Lantas bagaimana nasib target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,4% yang telah dibidik oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)?
Tampaknya akan semakin sulit untuk tercapai. Berkaca pada catatan sejarah yang lebih lawas, pemerintah dengan jelas menulis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2017. Namun di akhir tahun, rakyat terpaksa dibuat kecewa dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,07%.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang solid, sulit rasanya untuk membangkitkan gairah investor asing untuk masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
Tak heran investor asing buru-buru kabur dari bursa saham Indonesia. Hingga akhir penutupan sesi dua, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,09 triliun di pasar reguler.
Yah, walaupun harus diakui bahwa ada faktor eksternal yang ikut menjadi pemicu aksi jual investor. Daya tarik investor pada aset-aset berisiko masih minim akibat risiko eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang kian membuncah.
Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump melalui cuitan di Twitter menebar ancaman bakal menerapkan bea masuk 10% bagi importasi produk-produk asal China senilai US$ 300 miliar. Kebijakan tersebut rencananya berlaku mulai 1 September.
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan kemarin.
Seorang sumber yang berhasil dimintai keterangan oleh Wall Street Journal (WSJ) mengatakan bahwa dalam rapat tersebut, hampir seluruh penasihat Trump menolak keputusan pengenaan tarif baru.
Beberapa nama yang disebut turut hadir di Oval Office adalah penasihat keamanan nasional, John Bolton, penasihat ekonomi, Larry Kudlow, dan pelaksana tugas Kepala Staff Kepresidenan, Mick Mulvaney, dan penasihat perdagangan, Peter Navaro.
Kecuali Navaro, seluruh penasihat Trump menolak keputusan pengenaan tarif baru terhadap produk China. Namun apa daya, Trump tetap bersikukuh untuk menabuh genderang 'perang' baru. Akhirnya pada penasihat Trump terpaksa ikut membantu untuk menulis cuitan yang membuat pasar keuangan bergetar.
Kini komando perang dagang hanya milik Trump seorang, yang sayangnya mewakili suara rakyat AS.
Reaksi China? Mudah ditebak.
"Jika AS benar mengeksekusi bea masuk tersebut maka China harus meluncurkan kebijakan balasan yang diperlukan guna melindungi kepentingan-kepentingan kami yang mendasar," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari Reuters.
Dalam kondisi penuh risiko seperti ini, bermain aman agaknya memang merupakan langkah bijak. Investor bayak mengalihkan aset-asetnya ke bentuk safe haven, seperti emas.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Khusus IHSG, pelemahan harian tersebut merupakan yang paling dalam sejak September 2018. Perlu diketahui bahwa pergerakan harga dan yield di pasar obligasi akan berbanding terbalik. Kala yield naik, artinya harga sedang turun karena marak aksi jual. Berlaku pula sebaliknya.
Nasib IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei ambruk 1,74%, indeks Shanghai melemah 1,62%, indeks Hang Seng anjlok 2,85%, indeks Straits Times turun 1,94%, dan indeks Kospi terkoreksi 2,56%.
Dari dalam negeri, sentimen negatif datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi. Sepanjang kuartal II-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) RI atas harga konstan hanya mampu tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Meskipun sudah sesuai dengan ekspektasi analis, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 melambat dari kuartal sebelumnya yang sebesar 5,07% YoY. Bahkan pertumbuhan ekonomi yang dibacakan kali ini merupakan yang paling rendah sejak kuartal II-2017 atau dua tahun lalu.
Padahal kalau boleh dibilang, ada banyak agenda yang bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak perekonomian. Contohnya Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif yang jatuh pada bulan April. Selain itu ada pula bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri pada Mei dan Juni.
Agenda-agenda tersebut punya kekuatan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Sebagai informasi, perekonomian Indonesia saat ini masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga dengan porsi lebih dari 50% terhadap PDB.
Kini sejarah telah mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi RI melambat dalam dua kuartal berturut-turut. Lantas bagaimana nasib target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,4% yang telah dibidik oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)?
Tampaknya akan semakin sulit untuk tercapai. Berkaca pada catatan sejarah yang lebih lawas, pemerintah dengan jelas menulis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2017. Namun di akhir tahun, rakyat terpaksa dibuat kecewa dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,07%.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang solid, sulit rasanya untuk membangkitkan gairah investor asing untuk masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
Tak heran investor asing buru-buru kabur dari bursa saham Indonesia. Hingga akhir penutupan sesi dua, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,09 triliun di pasar reguler.
Yah, walaupun harus diakui bahwa ada faktor eksternal yang ikut menjadi pemicu aksi jual investor. Daya tarik investor pada aset-aset berisiko masih minim akibat risiko eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang kian membuncah.
Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump melalui cuitan di Twitter menebar ancaman bakal menerapkan bea masuk 10% bagi importasi produk-produk asal China senilai US$ 300 miliar. Kebijakan tersebut rencananya berlaku mulai 1 September.
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan kemarin.
Seorang sumber yang berhasil dimintai keterangan oleh Wall Street Journal (WSJ) mengatakan bahwa dalam rapat tersebut, hampir seluruh penasihat Trump menolak keputusan pengenaan tarif baru.
Beberapa nama yang disebut turut hadir di Oval Office adalah penasihat keamanan nasional, John Bolton, penasihat ekonomi, Larry Kudlow, dan pelaksana tugas Kepala Staff Kepresidenan, Mick Mulvaney, dan penasihat perdagangan, Peter Navaro.
Kecuali Navaro, seluruh penasihat Trump menolak keputusan pengenaan tarif baru terhadap produk China. Namun apa daya, Trump tetap bersikukuh untuk menabuh genderang 'perang' baru. Akhirnya pada penasihat Trump terpaksa ikut membantu untuk menulis cuitan yang membuat pasar keuangan bergetar.
Kini komando perang dagang hanya milik Trump seorang, yang sayangnya mewakili suara rakyat AS.
Reaksi China? Mudah ditebak.
"Jika AS benar mengeksekusi bea masuk tersebut maka China harus meluncurkan kebijakan balasan yang diperlukan guna melindungi kepentingan-kepentingan kami yang mendasar," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari Reuters.
Dalam kondisi penuh risiko seperti ini, bermain aman agaknya memang merupakan langkah bijak. Investor bayak mengalihkan aset-asetnya ke bentuk safe haven, seperti emas.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular