Ambruk 2,59%, IHSG Cetak Koreksi Terdalam Sejak September

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 August 2019 16:44
Ambruk 2,59%, IHSG Cetak Koreksi Terdalam Sejak September
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Awal pekan ini berjalan tak mulus bagi pasar saham Tanah Air. Mengawali perdagangan hari ini, Senin (5/8/2019) dengan koreksi sebesar 0,46% ke level 6.311,16, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus memperlebar kekalahannya seiring dengan berjalannya waktu.

Per akhir sesi dua, indeks saham acuan di Indonesia tersebut tercatat ambruk 2,59% ke level 6.175,7, menandai koreksi harian terdalam sejak September 2018.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam membuat IHSG jatuh pada hari ini di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-4,67%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-2,68%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-2,61%), PT Astra International Tbk/ASII (-2,12%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-3,26%).

Nasib IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei ambruk 1,74%, indeks Shanghai melemah 1,62%, indeks Hang Seng anjlok 2,85%, indeks Straits Times turun 1,94%, dan indeks Kospi terkoreksi 2,56%.


Kicauan Presiden AS Donald Trump di Twitter masih sukses dalam memantik aksi jual dengan intensitas yang besar di bursa saham Benua Kuning. Pada hari Kamis (1/8/2019), Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang.

Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.

"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.



Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan kemarin.

Melansir CNBC International yang mengutip pemberitaan Wall Street Journal, ternyata keputusan dari Trump ini ditentang oleh para pejabat Gedung Putih lainnya. Keputusan Trump yang sekaligus mengakhiri gencatan senjata yang disepakati dengan Presiden China Xi Jinping pada akhir Juni pada awalnya tak disetujui oleh nyaris seluruh penasihatnya, termasuk oleh Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow.

Namun, Trump dikabarkan tetap kekeh untuk kembali meluncurkan serangan terhadap China. Para penasihatnya pun pada akhirnya ikut membantu Trump untuk menulis cuitan yang berisi pengumuman bahwa gencatan senjata antara AS dan China akan diakhiri.

Ambruk 2,59%, IHSG Cetak Koreksi Terdalam Sejak Mei 2018Foto: Wakil Perdana Menteri China Liu He berjabat tangan dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin di luar kantor Perwakilan Dagang AS di Washington, AS, (9/5/2019). (REUTERS / James Lawler Duggan)

Di sisi lain, China dibuat panas dan angkat bicara terkait dengan serangan terbaru dari Trump. Beijing menyebut bahwa pihaknya tak akan tinggal diam menghadapi "pemerasan" yang dilakukan AS, serta memperingatkan akan adanya serangan balasan.

"Jika AS benar mengeksekusi bea masuk tersebut maka China harus meluncurkan kebijakan balasan yang diperlukan guna melindungi kepentingan-kepentingan kami yang mendasar," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari Reuters.

Ketika perang dagang AS-China tereskalasi, laju perekonomian keduanya, berikut perekonomian global, akan semakin tertekan. Maklum, AS dan China merupakan dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.

Bagi Indonesia, AS dan China merupakan mitra yang sangat penting dalam urusan ekspor. Dalam periode Januari-Juni 2019, Indonesia tercatat mengekspor produk non-migas senilai US$ 11,4 miliar ke China, terbesar dibandingkan ekspor non-migas ke negara-negara lainnya.

Sementara itu, ekspor non-migas Indonesia ke AS dalam periode yang sama tercatat senilai US$ 8,3 miliar atau yang terbesar kedua setelah China.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi IHSG datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi. Sepanjang kuartal II-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia.

Walaupun sesuai ekspektasi, pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%.

Padahal, pada 3 bulan kedua tahun ini ada gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi masyarakat Indonesia, sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebagai informasi, lebih dari 50% perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga.

Sebelum angka pertumbuhan ekonomi dirilis, koreksi yang dibukukan IHSG adalah sebesar 1,52% ke level 6.243,97. IHSG kemudian memperlebar kekalahannya menjadi 2,59% pada penutupan perdagangan.

Mengingat pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun ini ternyata melambat, maka target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah untuk tahun 2019 di level 5,3% tampak akan kiat sulit untuk tercapai. Lagi-lagi, target yang dipatok pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) hanya sebatas target.

Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.


Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Kala perekonomian loyo, penjualan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan tertekan. Merespons hal tersebut, aksi jual dengan intensitas yang besar dilakukan oleh investor di pasar saham tanah air.

BERLANJUT KE HALAMAN 3>> Aksi jual yang dilakukan investor asing berkontribusi besar dalam mendorong IHSG ambruk pada hari ini. Hingga akhir sesi dua, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,09 triliun di pasar saham tanah air (pasar reguler).

Saham-saham yang banyak dilego investor asing pada hari ini di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 312,9 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 285,8 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 230 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 84,2 miliar), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 80,3 miliar).

Panasnya bara perang dagang AS-China dan rilis angka pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan sukses membuat investor asing berbondong-bondong meninggalkan pasar saham Indonesia.

Apalagi, kinerja rupiah juga tak mendukung. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,53% di pasar spot ke level Rp 14.250/dolar AS, menandai depresiasi selama tiga hari beruntun.


Kala rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs sehingga aksi jual menjadi opsi yang sangat mungkin untuk mereka ambil.

Panasnya bara perang dagang AS-China dan rilis angka pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan membuat pelaku pasar melego rupiah dan mengalihkannya ke dolar AS selaku safe haven. Selain itu, rupiah juga dilego seiring dengan kekhawatiran terkait dengan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD).

Mengutip Trading Economics, pada hari Kamis (8/8/2019) Bank Indonesia (BI) akan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal II-2019, beserta dengan data transaksi berjalan (yang merupakan bagian dari NPI).

Sebagai informasi, pada tiga bulan pertama tahun 2019 BI mencatat bahwa CAD adalah senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Kalau CAD pada tiga bulan kedua kembali lebih dalam dibandingkan periode yang sama tahun lalu, besar kemungkinan bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih dalam ketimbang 2018. Wajar jika rupiah babak belur pada hari ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular