Ancaman Perang Kurs dan Perlambatan Ekonomi Jepit Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 August 2019 16:29
Ancaman Perang Kurs dan Perlambatan Ekonomi Jepit Rupiah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mengawali perdagangan pasar spot pekan ini dengan start yang kurang ciamik. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah melemah sejak pembukaan pasar dan bertahan di zona merah hingga lapak ditutup. 

Pada Senin (5/8/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.250 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,53% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Padahal saat pembukaan pasar, rupiah hanya melemah tipis 0,07% dan dolar AS masih di bawah Rp 14.200. Namun selepas itu, depresiasi rupiah semakin dalam dan ambang psikologis dolar AS di Rp 14.200 tertembus. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 

 

Rupiah terpapar sentimen negatif dari dalam dan luar negeri. Dari domestik, rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 tidak membantu, malah membebani. 

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia pada April-Juni 2019 tumbuh 5,05% year-on-year (YoY). Sesuai dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia. 

Meski sesuai ekspektasi dan sudah diperhitungkan, tetapi laporan BPS memberi konfirmasi bahwa perlambatan ekonomi sudah menjangkiti Indonesia. Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 lebih lambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,07%. Angka 5,05% adalah pencapaian paling rendah sejak kuartal II-2017.

 


Indonesia sudah mengalami 'penyakit' yang sama dengan negara-negara tetangga. Di Singapura, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2019 tercatat 0,1%. Laju paling lemah sejak kuartal II-2019. 

Sementara di China, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2019 adalah 6,2%. Ini adalah pencapaian terendah dalam 27 tahun terakhir. 

Dibayangi oleh kekhawatiran perlambatan ekonomi domestik, pelaku pasar enggan menanamkan modal di pasar keuangan Indonesia. Akibatnya, rupiah pun tidak punya pilihan selain melemah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sementara dari sisi eksternal, rupiah hanya satu dari banyak mata uang Asia yang melemah di hadapan dolar AS. Bahkan yen Jepang menjadi satu-satunya mata uang Asia yang masih mampu menguat. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:19 WIB: 

 

Pasar keuangan Asia memang sedang dilanda prahara. Tidak cuma pasar valas, bursa saham Benua Kuning pun berjatuhan. Koreksi 1-2% adalah pemandangan biasa. 

 

Investor benar-benar cemas melihat perkembangan hubungan AS-China. Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump melalui cuitan di Twitter menebar ancaman bakal menerapkan bea masuk 10% bagi importasi produk-produk asal China senilai US$ 300 miliar. Kebijakan tersebut rencananya berlaku mulai 1 September. 

China tidak terima. Namun cara China mengancam lebih sangar lagi. Tidak cuma berkoar di media sosial, China sepertinya menempuh cara ekstrem dengan 'memainkan' nilai tukar yuan. 

Hari ini yuan melemah parah di hadapan dolar AS, anjlok di kisaran 1%. US$ 1 sudah berada di level CNY 7, sesuatu yang kali terakhir terjadi pada 2008. 

 


Ada tendensi China sengaja melemahkan nilai tukar yuan. China memang bisa melakukan itu, karena nilai tukar yuan tidak sepenuhnya bergerak sesuai mekanisme pasar. 

Bank Sentral China (PBoC) setiap hari menetapkan nilai tengah yuan. Mata uang ini hanya boleh melemah atau menguat maksimal 2% dari nilai tengah tersebut. 

Ketika yuan melemah, ekspor China akan kompetitif karena produk Negeri Tirai Bambu lebih murah di pasar global. Jadi walau barang China sulit masuk ke AS, tetapi tidak masalah karena bisa berpenetrasi ke negara-negara lain. 

Jika kemudian negara lain melakukan hal serupa, melemahkan mata uang demi menggenjot ekspor, maka terjadilah apa yang disebut perang mata uang (currency war). Devaluasi kompetitif seperti ini tentu tidak sehat dan sepertinya menjadi ancaman baru bagi perekonomian global. Perang dagang sudah naik kelas, bertransformasi menjadi perang mata uang. 

Dalam situasi 'mencekam' seperti ini, mana ada investor yang berani bermain-main dengan instrumen berisiko. Itu sebabnya yen bisa menguat sendirian di Asia, sebab mata uang Negeri Matahari Terbit adalah salah satu aset ama (safe haven) selain emas dan franc Swiss.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular