Newsletter

Huft...!!! Semoga Ada Keajaiban di Pasar Keuangan Hari ini

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
06 August 2019 06:15
Diterpa Badai Mata Uang, Wall Street Terjun Bebas
Foto: Wall Street/Brendan McDermid | Reuters
Tiga indeks utama Wall Street anjlok parah sekaligus menandai koreksi paling dalam sepanjang tahun berjalan 2019 pada sesi perdagangan Senin (5/8/2019).
Hal tersebut terjadi setelah eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China melebar menjadi perang mata uang (currency war). Hal itu ditandai dengan pelemahan yuan yang sangat tajam.
Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,9%, S&P 500 runtuh 2,98%, dan Nasdaq Composite terjun 3,47%.
Investor global dibuat semakin cemas dengan perkembangan perang dagang dua raksasa ekonomi dunia. Setelah Trump mengancam pengenaan tarif baru yang akan berlaku 1 September nanti, pemerintah China disinyalir 'memainkan' mata uangnya.
Hal itu terjadi sebelum sesi perdagangan kemarin dibuka, di mana Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah mata uang di level CNY 6,922/US$ yang merupakan terendah sejak 3 Desember 2018. Sementara pada akhir perdagangan kemarin kurs yuan ditutup pada level CNY 7,03/US$ yang merupakan posisi paling lemah sejak Maret 2008.
Di China, pergerakan nilai mata uang tidak murni hanya karena mekanisme pasar. PBOC punya wewenang untuk menetapkan nilai tengah yuan di setiap sesi perdagangan. Dengan cara tersebut, otoritas moneter dapat mengatur batas pergerakan kurs yuan.
Ada kemungkinan hal itu dilakukan untuk memperkuat ekspor China. Karena ketika yuan melemah, harga produk-produk asal Negeri Tirai Bambu menjadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Alhasil harga ekspor akan lebih kompetitif di pasar global.
Jadi, walaupun sulit masuk ke AS karena ada bea impor yang tinggi, barang-barang 'murah' asal China akan lebih mudah menembus pasar di negara-negara lain.
Beberapa analis bahkan memperkirakan pelemahan yuan akan terus berlanjut dan menembus level CNY 7,3/US$, seperti dikutip dari Reuters.
Trump dibuat geram dengan langkah yang diambil oleh pemerintah China, yang lagi-lagi dituangkan melalui cuitan di Twitter.
"China melemahkan mata uang mereka ke level terendah hampir sepanjang sejarah. Ini disebut 'manipulasi mata uang'. Apakah Anda mendengarkan, wahai Federal Reserve? Ini adalah pelanggaran besar yang akan sangat melemahkan China dari waktu ke waktu!" tulis Trump melalui akun Twitter @realDonaldTrump.
Masih belum jelas langkah apa yang akan diambil oleh Washington selanjutnya. Namun jika kemudian banyak negara lain melakukan hal serupa (melemahkan mata uang demi menggenjot ekspor), maka terjadilah apa yang disebut perang mata uang.
Devaluasi kompetitif seperti ini sangat tidak sehat dan berisiko menjadi ancaman baru bagi perekonomian global.

Semakin memperburuk suasana, pemerintah China juga bereaksi setelah Trump ribut di Twitter.
Menteri Perdagangan China mengatakan perusahaan-perusahaan China telah berhenti membeli produk-produk agrikultur asal AS, dikutip dari Reuters. China juga tidak akan mengesampingkan bea impor atas produk pertanian AS yang dibeli setelah tanggal 3 Agustus 2019.
Langkah China ini berpotensi terus mengeskalasi perang dagang ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Diketahui bahwa China merupakan pembeli terbesar produk-produk pertanian asal AS, seperti kedelai dan jagung. Kala China berhenti membeli produk pertanian AS, maka sesungguhnya pangsa pasar petani Negeri Adidaya akan tergerus cukup banyak.
Sementara para petani merupakan konstituen penting bagi Trump yang akan kembali bertanding dengan Demokrat pada pemilu 2020. Tanpa adanya dukungan dari petani (karena dampak perang dagang), Trump akan semakin sulit untuk menang.
Rasa-rasanya kesepakatan dagang atau yang biasa disebut 'damai dagang' jadi semakin sulit untuk terjadi.

BERLANJUT KE HALAMAN 3>>>


(taa/taa)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular