
Newsletter
Huft...!!! Semoga Ada Keajaiban di Pasar Keuangan Hari ini
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
06 August 2019 06:15

Untuk perdagangan hari ini, Selasa (6/8/2019), ada baiknya investor mencermati sejumlah sentimen yang berpotensi menjadi penentu arah gerak pasar.
Pertama, perkembangan dari perang dagang AS-China. Sebelumnya telah disampaikan oleh Menteri Perdagangan China bahwa Negeri Tirai Bambu telah berhenti membeli produk pertanian asal AS.
Hal itu semakin membuat pelaku pasar yakin bahwa kesepakatan dagang AS-China sudah semakin jauh. Bila tidak ada kesepakatan hingga tanggal 1 September 2019, tarif baru (10%) atas produk impor asal China senilai US$ 200 miliar (yang sebelumnya bukan objek perang dagang) sudah siap untuk diberlakukan oleh pemerintah AS.
Sentimen ini boleh jadi menurunkan minat investor pada aset-aset berisiko.
Kedua, kelanjutan dari perang mata uang. Sebagaimana yang telah diketahui, sebelum sesi perdagangan kemarin dibuka, Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah mata uangnya di level CNY 6,922/US$ yang merupakan terendah sejak 3 Desember 2018. Sementara pada akhir perdagangan kemarin kurs yuan ditutup pada level CNY 7,03/US$ yang merupakan posisi paling lemah sejak Maret 2008.
Beberapa pihak takut bahwa China sengaja melakukan itu untuk mendorong ekspor karena harga produk yang jadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain.
Jika hari ini PBOC kembali menetapkan nilai tengah kurs yuan yang semakin rendah, maka dugaan pelaku pasar akan semakin terkonfirmasi. Akan ada gelombang pelemahan yuan yang bisa jadi membuat otoritas moneter di berbagai negara bereaksi.
Bukan tidak mungkin negara-negara lain ikut mengambil langkah demi melemahkan mata uangnya.
Diterpa ancaman global perekonomian global baru seperti ini, tentu saja derajat ketidakpastian kian membuncah. Dalam kondisi tersebut, investor semakin enggan untuk 'bermain' di aset-aset berisiko dan lebih memilih safe haven.
Ketiga, harga minyak amblas lebih dari 2% akibat risiko perlambatan ekonomi global yang didorong oleh eskalasi perang dagang.
Pada penutupan sesi perdagangan Senin (5/8/2019) harga minyak Brent anjlok 3,36% sementara light sweet (West Texas Intermediate/WTI) jatuh 1,74%. Bahkan harga Brent sudah hampir meninggalkan level US$ 60/barel.
Bagi Indonesia, pelemahan harga minyak punya dampak positif. Aliran valas yang keluar untuk membiayai impor minyak semakin kecil.
Karena hingga saat ini Indonesia masih menjadi negara net-importir minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Akibatnya, neraca transaksi berjalan (current account) bisa sedikit terbantu. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang selalu menghiasi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dapat ditekan dan memberi fondasi bagi rupiah.
Keempat, Bank Indonesia (BI) pada hari ini dijadwalkan merilis angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia periode Juli 2019. Nilai IKK akan menandakan persepsi konsumen Indonesia akan kondisi perekonomian nasional.
Bila konsumen masih tetap optimis, atau bahkan semakin meningkat, maka besar kemungkinan tingkat konsumsi masyarakat dapat terjaga, di tengah gejolak perekonomian global.
Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama perekonomian RI. Kalau konsumsi bagus, artinya perekonomian Indonesia bisa bertahan. Sesuatu poin positif yang bisa menarik minat investor asing untuk masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
Namun, bila yang terjadi adalah sebaliknya, akan semakin banyak alasan bagi investor untuk melarikan diri, seperti yang terjadi kemarin di mana investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,09 triliun di pasar saham reguler.
BERLANJUT KE HALAMAN 4>>> (taa/taa)
Pertama, perkembangan dari perang dagang AS-China. Sebelumnya telah disampaikan oleh Menteri Perdagangan China bahwa Negeri Tirai Bambu telah berhenti membeli produk pertanian asal AS.
Hal itu semakin membuat pelaku pasar yakin bahwa kesepakatan dagang AS-China sudah semakin jauh. Bila tidak ada kesepakatan hingga tanggal 1 September 2019, tarif baru (10%) atas produk impor asal China senilai US$ 200 miliar (yang sebelumnya bukan objek perang dagang) sudah siap untuk diberlakukan oleh pemerintah AS.
Sentimen ini boleh jadi menurunkan minat investor pada aset-aset berisiko.
Kedua, kelanjutan dari perang mata uang. Sebagaimana yang telah diketahui, sebelum sesi perdagangan kemarin dibuka, Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah mata uangnya di level CNY 6,922/US$ yang merupakan terendah sejak 3 Desember 2018. Sementara pada akhir perdagangan kemarin kurs yuan ditutup pada level CNY 7,03/US$ yang merupakan posisi paling lemah sejak Maret 2008.
Beberapa pihak takut bahwa China sengaja melakukan itu untuk mendorong ekspor karena harga produk yang jadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain.
Jika hari ini PBOC kembali menetapkan nilai tengah kurs yuan yang semakin rendah, maka dugaan pelaku pasar akan semakin terkonfirmasi. Akan ada gelombang pelemahan yuan yang bisa jadi membuat otoritas moneter di berbagai negara bereaksi.
Bukan tidak mungkin negara-negara lain ikut mengambil langkah demi melemahkan mata uangnya.
Diterpa ancaman global perekonomian global baru seperti ini, tentu saja derajat ketidakpastian kian membuncah. Dalam kondisi tersebut, investor semakin enggan untuk 'bermain' di aset-aset berisiko dan lebih memilih safe haven.
Ketiga, harga minyak amblas lebih dari 2% akibat risiko perlambatan ekonomi global yang didorong oleh eskalasi perang dagang.
Pada penutupan sesi perdagangan Senin (5/8/2019) harga minyak Brent anjlok 3,36% sementara light sweet (West Texas Intermediate/WTI) jatuh 1,74%. Bahkan harga Brent sudah hampir meninggalkan level US$ 60/barel.
Bagi Indonesia, pelemahan harga minyak punya dampak positif. Aliran valas yang keluar untuk membiayai impor minyak semakin kecil.
Karena hingga saat ini Indonesia masih menjadi negara net-importir minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Akibatnya, neraca transaksi berjalan (current account) bisa sedikit terbantu. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang selalu menghiasi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dapat ditekan dan memberi fondasi bagi rupiah.
Keempat, Bank Indonesia (BI) pada hari ini dijadwalkan merilis angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia periode Juli 2019. Nilai IKK akan menandakan persepsi konsumen Indonesia akan kondisi perekonomian nasional.
Bila konsumen masih tetap optimis, atau bahkan semakin meningkat, maka besar kemungkinan tingkat konsumsi masyarakat dapat terjaga, di tengah gejolak perekonomian global.
Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama perekonomian RI. Kalau konsumsi bagus, artinya perekonomian Indonesia bisa bertahan. Sesuatu poin positif yang bisa menarik minat investor asing untuk masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
Namun, bila yang terjadi adalah sebaliknya, akan semakin banyak alasan bagi investor untuk melarikan diri, seperti yang terjadi kemarin di mana investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,09 triliun di pasar saham reguler.
BERLANJUT KE HALAMAN 4>>> (taa/taa)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular