Newsletter

Penonton Kecewa! Kebijakan ECB & The Fed tak Terlalu Longgar

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 July 2019 06:21
Penonton Kecewa! Kebijakan ECB & The Fed tak Terlalu Longgar
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia akhirnya berhasil menghijau pada perdagangan Kamis (25/7/19) setelah melemah tiga hari berturut-turut. Rupiah menguat 0,11% ke level 13.975/US$, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,26% ke level 6.401,37.

Sejalan dengan rupiah dan IHSG, harga obligasi Indonesia juga menguat, dengan imbal hasil (yield) tenor 10 tahun turun sebesar 9,29 basis poin menjadi 7,1525%.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.



Penguatan IHSG mengikuti mayoritas bursa utama Asia lainnya, setelah mendapat sentimen positif dari bursa saham AS (Wall Street), dimana indeks S&P 500 dan Nasdaq mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada hari sebelumnya.

Wall Street sebenarnya sudah mengirim sentimen positif dalam dua hari terakhir, tetapi sayangnya belum mampu mendongkrak kinerja IHSG. Hal tersebut terjadi karena rupiah yang hat trick mengalami pelemahan.

Kala rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs sehingga aksi jual di pasar saham tanah air menjadi opsi yang sangat mungkin untuk diambil.

Beruntung, indeks dolar akhirnya terkoreksi juga pada perdagangan Rabu lalu, sehingga rupiah memiliki ruang untuk menguat di hari Kamis. Lepasnya tekanan bagi rupiah membuat IHSG leluasa mengekor Wall Street dan bursa Benua Kuning lainnya.


Dolar AS mengalami tekanan setelah data menunjukkan aktivitas sektor manufaktur Paman Sam merosot tajam di bulan ini. Pembacaan awal Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur AS versi IHS Markit untuk periode Juli berada di angka 50, dibandingkan bulan sebelumnya 50,6. Angka indeks di bulan Juli tersebut merupakan yang terendah sejak September 2009.

Indeks dari Markit ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 berarti kontraksi atau penyusutan aktivitas, sementara di atas 50 menunjukkan ekspansi atau berkembang.

Indeks PMI AS di bulan itu tidak menunjukkan kontraksi, tetapi juga tidak berekspansi. Data tersebut tentunya memberikan tekanan bagi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk segera bertindak agar mampu mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi Paman Sam.

The Fed terlihat pasti akan memangkas suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) pada 31 Juli (1 Agustus waktu Indonesia), namun pertanyaan seberapa besar, atau seagresif apa pemangkasan yang akan dilakukan masih menjadi pertanyaan.

Masih adanya pertanyaan itu membuat penguatan indeks dolar belakangan ini terlihat berlebihan. Peluang The Fed memangkas suku bunga 50 basis poin (bps) 31 Juli nanti memang kecil, tetapi pemangkasan sebanyak tiga kali di tahun ini masih terbuka lebar. Pelaku pasar sepertinya melupakan hal tersebut sehingga dolar terus menguat, tetapi ketika sadar lagi, maka dolar akan terkoreksi.

Selain itu menghangatnya hubungan AS-China juga menjadi memberikan dampak positif ke pasar. Dalam wawancara dengan CNBC International kemarin waktu setempat, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa dirinya dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer akan bertandang ke China pada hari Senin (29/7/2019) untuk kemudian menggelar negosiasi dagang selama dua hari yang dimulai sehari setelahnya (Selasa, 30/7/2019).


Meski demikian, Mnuchin mengungkapkan bahwa saat ini ada banyak masalah yang belum bisa dipecahkan oleh kedua belah pihak.

"Saya akan mengatakan bahwa ada banyak permasalahan (yang belum bisa dipecahkan)," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.

Lamanya negosiasi hingga mencapai hasil diperkirakan akan memakan waktu enam bulan. Meski cukup panjang sampai bisa diketahui apakah kedua negara akhirnya sepakat mengakhiri perang dagang, tetapi mulai mesranya lagi hubungan kedua negara memberikan hawa optimistis di pasar finansial, setidaknya kedua negara tidak lagi saling menaikkan bea impor.


Halaman Selanjutnya >>> 

Bursa saham AS (Wall Street) berakhir di zona merah pada perdagangan Kamis, indeks Dow Jones dan S&P 500 masing-masing melemah 0,5%, sementara Nasdaq merosot hingga 1%.

European Central Bank (ECB) yang tidak terlalu dovish saat mengumumkan kebijakan moneter kemarin membuat bursa saham melemah. Meski tidak berkaitan langsung dengan bursa saham AS, tetapi sikap ECB tersebut kemungkinan akan seirama The Fed.

Sebagian pelaku pasar masih berharap The Fed akan memangkas suku bunga acuannya sebesar 50 bps menjadi 1,75%-2,00%. Hal itu sepertinya tidak akan terjadi, jika ECB saja tidak agresif dalam melonggarkan moneter, dengan kondisi ekonomi yang bisa dikatakan lebih buruk dari AS, apalagi The Fed dengan kondisi ekonomi Paman Sam yang lebih bagus.

Data terbaru menunjukkan pesanan barang tahan lama naik tajam di bulan Juni yang memberikan peluang produk domestik bruto (PBD) AS di kuartal-II akan lebih tinggi dari prediksi.

“Saya pikir para investor khawatir The Fed mungkin tidak akan terlalu agresif. Data pesanan barang tahan lama jauh lebih bagus dari ekspektasi, hal itu membuat beberapa investor membicarakan kemungkinan merevisi perkiraan PDB AS” kata Art Cashin, direktur operasional di UBS, mengutip CNBC Intenational.

Selain kemungkinan pelonggaran moneter yang tidak terlalu agresif dari ECB dan The Fed, laporan kinerja emiten juga cukup membebani bursa. Saham Facebook melemah 1,9% setelah sang CFO David Wehner memperkirakan pendapatan di masa yang akan datang akan mengalami penurunan secara beruntun.

Saham Ford anjlok 7,5% setelah melaporkan laba lebih rendah dari prediksi Wall Street. Sementara Tesla jeblok 13,6% setelah melaporkan kerugian lebih besar dari prediksi.

Boeing melanjutkan penurunan sebesar 3,7% setelah melemah 3,1% pada hari Rabu setelah melaporkan membukukan kerugian US$ 2,9 miliar di kuartal-II 2019, menjadi yang terburuk sepanjang sejarah perusahaan. Dikandangkannya pesawat tipe 737 Max menjadi penyebab kerugian tersebut. Raksasa dirgantara ini juga menyatakan akan menunda produksi jika larangan terbang 737 Max terus berlanjut.

Hingga Kamis sudah sepertiga dari emiten di S&P 500 telah melaporkan earning, dan 75% diantaranya mencetak laba lebih bagus dari ekspektasi, berdasarkan data FactSet, mengutip CNBC International. Persentase tersebut menurun dari hari sebelumnya 78%.


Halaman Selanjutnya >>>

Merahnya Wall Street bukan kabar bagus bagi bursa saham Asia. Tidak hanya Wall Street, bursa Eropa juga berakhir melemah Kamis kemarin, FTSE 100 Inggris turun 0,17%, DAX Jerman dan CAC Prancis masing-masing kehilangan nilainya 1,28% dan 0,5%.

Kompaknya bursa AS dan Eropa melemah menjadi sentimen pertama yang harus diperhatikan, bursa saham Benua Kuning kemungkinan akan mengikuti pergerakan tersebut, termasuk IHSG.

Sentimen kedua adalah kemungkinan tidak ada pelonggaran moneter yang agresif dari bank sentral utama dunia.



Presiden ECB, Mario Draghi, dalam konferensi pers kemarin menyatakan kemungkinan zona euro mengalami resesi sangat kecil. Draghi yang akan digantikan oleh Christine Lagarde (mantan direktur pelaksana IMF) pada 1 November nanti juga melihat dalam jangka menengah inflasi diperkirakan akan meningkat akibat berlanjutnya ekspansi ekonomi serta pertumbuhan upah yang cukup bagus.

Pernyataan Draghi tersebut memberikan pesan yang kuat. Meski tetap membuka peluang menurunkan suku bunga serta mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE), tetapi ECB tidak akan terlalu agresif dalam melonggarkan kebijakan moneternya.

Saat pengumuman kebijakan kemarin, suku bunga ECB yakni main refinancing rate, lending facility, dan deposit facility masing-masing dipertahankan sebesar 0%, 0,25% dan -0,4%. ECB menyatakan suku bunga akan masih akan di level saat ini atau lebih rendah lagi setidaknya hingga semester I 2020.

Artinya kebijakan pelonggaran moneter kemungkinan hanya dilakukan selama sembilan bulan, jika ECB memangkas suku bunga di bulan September sesuai prediksi para analis. Di semester II 2020, ECB kemungkinan akan menaikkan kembali suku bunganya jika perekonomian sudah membaik dan inflasi meningkat.



Pengumuman ECB tersebut membuat euro vs dolar bolak balik saling “hajar”, yang membuat indeks dolar naik turun cukup signifikan, sebelum akhirnya berhasil menguat tipis 0,06% ke level 97,79 berdasarkan data Refinitiv. 

Kembali menguatnya indeks dolar, meski tipis, tentunya bukan kabar bagus bagi rupiah pada hari ini.

Halaman Selanjutnya >>>   Jika ECB dengan kondisi ekonomi zona euro yang lesu saja tidak terlalu dovish apalagi The Fed dengan kondisi ekonomi AS yang masih lumayan.

Data terbaru yang dirilis Kamis kemarin menunjukkan pesanan barang tahan lama di bulan Juni naik 2% dari bulan sebelumnya yang turun 2,3%. Sementara pesanan barang tahan inti (yang tidak memasukkan sektor transportasi dalam perhitungan) tumbuh 1,2% dari bulan sebelumnya yang naik 0,4%.

Pesanan barang tahan lama ini menghitung jumlah produk terpesan yang memiliki umur ekonomis lebih dari 3 tahun.



Bahkan kategori barang investasi untuk dunia usaha mencatat kenaikan sebesar 1,9%, menjadi yang terbesar dalam empat bulan terakhir.


Bagusnya data pesanan barang tahan lama di Juni tersebut bisa jadi akan mempengaruhi data pertumbuhan ekonomi atau PDB AS yang akan dirilis malam ini pukul 19:30 WIB, ini akan menjadi sentimen ketiga yang patut dicermati.

Hasil survei Reuters menunjukkan pembacaan pertama PDB (advance GDP) AS diprediksi tumbuh 1,8% di kuartal-II 2019, lebih rendah dari kuartal sebelumnya 3,1%.

Data ini akan memastikan apakah The Fed nantinya akan agresif atau tidak. Yang pasti pelaku pasar saat ini masih melihat Jerome Powell dkk akan memangkas FFR sebanyak tiga kali di tahun ini, berdasarkan data dari piranti FedWatch milik CME Group.

Bursa saham Asia termasuk IHSG akan mengantisipasi rilis data tersebut. Prinsip kehati-hatian cenderung akan membawa bursa ke zona merah, apalagi dengan kenyataan jika ECB dan The Fed (mungkin) menerapkan kebijakan tidak selonggar harapan, tentunya penonton kecewa!

Halaman Selanjutnya >>>


Berikut Rilis data ekonomi hari ini:

• Inflasi Inti Tokyo (6:30 WIB)
• Tingkat Pengangguran Singapura Q2 (9:30 WIB)
• Produksi Industri Singapura (12:00 WIB)
• Pembacaan Awal PDB AS Q2 (19:30 WIB)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pekan ini:
• RUPS PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEX) (Jumat 26 Juli pukul 10:00 WIB)
• RUPS PT Suryamas Dutamakmur Tbk (Jumat 26 Juli pukul 10:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Juni 2019 YoY)3,28%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Juni 2019)US$ 123,8 miliar



TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular