
Newsletter
Ada Kabar Gembira Dari China, Masa Gak Direspons?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 July 2019 06:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri berakhir di zona merah pada perdagangan Senin (22/7/2019) kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir melemah 0,36% dan rupiah turun tipis 0,07%. Sementara imbal hasil (yield) obligasi atau Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun mengalami kenaikan 3,9 basis poin (bps) menjadi 7,17%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Dengan demikian kenaikan yield berarti para investor banyak melepas SUN sehingga harganya turun.
Pola pergerakan IHSG dan rupiah berbeda pada Senin kemarin, bursa saham Indonesia sejatinya dibuka menguat 0,08% di level 6.461,41, tetapi langsung berbalik turun dan terus tertahan di zona merah.
Sementara Mata Uang Garuda dibuka di zona merah, meski pada akhirnya tetap melemah, tetapi rupiah terus memangkas pelemahan, dari sebelumnya di level Rp 13.395 hingga berakhir di level Rp 13.940/US$.
Pergerakan tersebut memberikan gambaran pemangkasan suku bunga Bank Indonesia (BI) pada Kamis (18/7/2019) pada pekan lalu masih memberikan efek walau tidak besar. Faktor eksternal lebih mendominasi pergerakan, selain itu juga ada faktor koreksi teknikal.
Penurunan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75% dilakukan karena BI memiliki ruang pelonggaran lebih besar terutama karena terjaganya inflasi. Ruang tersebut dimanfaatkan oleh BI untuk memacu perekonomian lebih kencang, sehingga berdampak positif ke pasar finansial dalam negeri.
Pada perdagangan Jumat (19/7/19) lalu, IHSG naik hingga mencapai level tertinggi sejak 2 Mei, sementara rupiah di dekat level terkuat satu tahun, sehingga terlihat wajar jika terjadi koreksi teknikal.
Dari sisi eksternal, para investor masih dibuat bertanya-tanya seberapa besar bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan memangkas suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) pada 31 Juli (1 Agustus waktu Indonesia) dan berapa banyak pemangkasan yang akan dilakukan di tahun ini.
Pertanyaan pertama sepertinya bisa lebih mudah di jawab, The Fed akan memangkas FFR sebesar 25 bps menjadi 2,00%-2,25%. Pemangkasan sebesar 50 bps bisa diabaikan (tapi tidak menutup kemungkinan) mengingat ekonomi AS tidak sedang mengalami krisis seperti tahun 2008.
Yang paling membuat investor penasaran adalah berapa kali The Fed akan memangkas suku bunganya di tahun ini. Saking penasarannya, kabar bagus dari China juga tidak terlalu menjadi perhatian.
Mengutip kantor berita Xinhua, China dikatakan bersedia membeli lebih banyak produk pertanian asal AS. Komisi Tarif dan Kepabeanan China dikabarkan sedang mengurus izin impor tersebut.
"Kementerian terkait di China berharap AS bisa segera bertemu dengan pemerintah, dan ingin agar AS menepati janjinya," tulis berita Xinhua.
Halaman Selanjutnya >>>
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Dengan demikian kenaikan yield berarti para investor banyak melepas SUN sehingga harganya turun.
Pola pergerakan IHSG dan rupiah berbeda pada Senin kemarin, bursa saham Indonesia sejatinya dibuka menguat 0,08% di level 6.461,41, tetapi langsung berbalik turun dan terus tertahan di zona merah.
Sementara Mata Uang Garuda dibuka di zona merah, meski pada akhirnya tetap melemah, tetapi rupiah terus memangkas pelemahan, dari sebelumnya di level Rp 13.395 hingga berakhir di level Rp 13.940/US$.
Pergerakan tersebut memberikan gambaran pemangkasan suku bunga Bank Indonesia (BI) pada Kamis (18/7/2019) pada pekan lalu masih memberikan efek walau tidak besar. Faktor eksternal lebih mendominasi pergerakan, selain itu juga ada faktor koreksi teknikal.
Penurunan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75% dilakukan karena BI memiliki ruang pelonggaran lebih besar terutama karena terjaganya inflasi. Ruang tersebut dimanfaatkan oleh BI untuk memacu perekonomian lebih kencang, sehingga berdampak positif ke pasar finansial dalam negeri.
Pada perdagangan Jumat (19/7/19) lalu, IHSG naik hingga mencapai level tertinggi sejak 2 Mei, sementara rupiah di dekat level terkuat satu tahun, sehingga terlihat wajar jika terjadi koreksi teknikal.
Dari sisi eksternal, para investor masih dibuat bertanya-tanya seberapa besar bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan memangkas suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) pada 31 Juli (1 Agustus waktu Indonesia) dan berapa banyak pemangkasan yang akan dilakukan di tahun ini.
Pertanyaan pertama sepertinya bisa lebih mudah di jawab, The Fed akan memangkas FFR sebesar 25 bps menjadi 2,00%-2,25%. Pemangkasan sebesar 50 bps bisa diabaikan (tapi tidak menutup kemungkinan) mengingat ekonomi AS tidak sedang mengalami krisis seperti tahun 2008.
Yang paling membuat investor penasaran adalah berapa kali The Fed akan memangkas suku bunganya di tahun ini. Saking penasarannya, kabar bagus dari China juga tidak terlalu menjadi perhatian.
Mengutip kantor berita Xinhua, China dikatakan bersedia membeli lebih banyak produk pertanian asal AS. Komisi Tarif dan Kepabeanan China dikabarkan sedang mengurus izin impor tersebut.
"Kementerian terkait di China berharap AS bisa segera bertemu dengan pemerintah, dan ingin agar AS menepati janjinya," tulis berita Xinhua.
Halaman Selanjutnya >>>
Pages
Most Popular