
Newsletter
Ketupat Sudah Lewat, Ada yang Hijau Lagi Hari Ini?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 June 2019 05:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia tidak beroperasi selama sepekan kemarin karena libur Idul Fitri. Lumayan banyak sentimen yang terlewatkan sehingga pelaku pasar mungkin butuh watu untuk menyesuaikan diri saat perdagangan kembali dibuka hari ini.
Sepanjang minggu kemarin, indeks saham utama Asia menguat bergerak variatif cenderung menguat. Secara mingguan, Nikkei 225 naik 1,4%, Hang Seng menguat 0,2%, Kospi bertambah 1,5%, dan Straits Times melesat 1,4%. Hanya Shanghai Composite yang terpaksa gigit jari karena anjlok 2,4%.
Ada cukup banyak hal yang perlu dicerna oleh investor di pasar keuangan Indonesia. Namun untungnya, sentimen yang beredar cenderung positif.
Pertama adalah ancaman perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan tetangganya, Meksiko. Presiden AS Donald Trump mengancam bakal mengenakan bea masuk untuk importasi produk-produk asal Meksiko jika Negeri Sombrero tidak kunjung membenahi masalah di perbatasan. Sejak masa kampanye, Trump memang sangat keras jika menyangkut soal imigran gelap.
Namun sepertinya ancaman bea masuk hanyalah alat untuk 'menginjak kaki'. Ancaman tersebut berhasil membuat Meksiko setuju untuk membeli lebih banyak produk AS, terutama pertanian.
"MEKSIKO SETUJU UNTUK SEGERA MEMBELI PRODUK PERTANIAN DALAM JUMLAH YANG BESAR DARI PARA PETANI YANG PATRIOTIK!" cuit Trump di Twitter.
Setelah itu, sikap Trump terhadap Meksiko pun melunak. Bahkan rencana pengenaan bea masuk kemungkinan batal.
"Meksiko awalnya tidak kooperatif soal perbatasan, tetapi kini saya percaya. Terutama setelah berbicara dengan presiden mereka, dan Meksiko akan sangat kooperatif dan ingin menyelesaikan pekerjaan dengan baik," cuit Trump.
Sentimen kedua adalah suku bunga acuan. Setelah tahun lalu mengangkasa, hawa penurunan suku bunga global kian terasa.
Pekan lalu, Bank Sentral Australia (RBA) menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,25%. Sebelumnya Bank Sentral India (RBI) juga sudah menurunkan suku bunga acuan, bahkan lebih agresif.
Aroma penurunan suku bunga acuan bahkan juga tercium di AS. Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Federal Reserves/The Fed, mengatakan bahwa perang dagang AS sejumlah negara akan berdampak terhadap kinerja perekonomian Negeri Paman Sam. Oleh karena itu, The Fed siap menempuh langkah yang diperlukan.
"Kami tidak tahu kapan dan bagaimana masalah ini (perang dagang) bisa diselesaikan. Kami terus memonitor dampak dari perkembangannya terhadap prospek perekonomian AS dan seperti biasanya akan bertindak jika dibutuhkan untuk menjaga ekspansi pasar tenaga kerja dan inflasi mendekati target 2%," papar Powell, mengutip Reuters.
Investor membaca salah satu langkah yang bakal ditempuh The Fed adalah menurunkan suku bunga. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate bertahan di level yang sekarang yaitu 2,25-2,5% pada akhir 2019 hanya 1,4%. Wow...
Peluang untuk turun jauh lebih besar. Kemungkinan suku bunga acuan berada di 2-2,25% pada akhir tahun (turun 25 basis pon) adalah 12,2%. Sedangkan peluang Federal Funds Rate berada di 1,75-2% (turun 50 basis poin) adalah 32,6%. Bahkan kemungkinan suku bunga acuan nangkring di 1,5-1,75% (turun 75 basis poin) adalah 35,5%.
Tampaknya AS sudah tidak bisa menghindar, suku bunga harus turun. Artinya berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS, utamanya yang berpendapatan tetap, menjadi kurang menguntungkan.
Arus modal akan cenderung menghindari dolar AS dan hinggap ke berbagai negara, bukan tidak mungkin Indonesia. Sebab sebelum libur Idul Fitri, Standard and Poor's (S&P) memberikan 'kado' berupa kenaikan peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama menguat signifikan pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,01%, S&P 500 melejit 1,05%, dan Nasdaq Composite melompat 1,66%.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, peluang penurunan suku bunga acuan menjadi katalis bagi bursa saham New York. Sebab, saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah.
Selain perang dagang, peluang penurunan suku bunga acuan menjadi lebih besar karena data ketenagakerjaan AS. Pada Mei, perekonomian AS menciptakan 75.000 lapangan kerja.
Ini menjadi kali pertama sejak 2019 penciptaan lapangan kerja tidak sampai 100.000. Akibatnya angka pengangguran juga tidak berubah di 3,6%.
"Laporan ini membuat penurunan suku bunga acuan sangat mungkin terjadi. Friksi dagang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam laju yang cukup bagi The Fed untuk merespons dengan menurunkan suku bunga acuan pada September dan Desember," kata Joseph Song, Ekonom di Bank of America Merrill Lynch, mengutip Reuters.
"Saat ini pelaku pasar rela menerima perlambatan ekonomi demi penurunan suku bunga. Kita sudah kecanduan suku bunga rendah, dan rela mendapatkannya dengan menukarkan pertumbuhan ekonomi," tegas Jack Ablin, Chief Investment Officer di Cresset Capital Management yang berbasis di Chicago, mengutip Reuters.
Faktor lain yang mendorong laju Wall Street, juga sudah disinggung sebelumnya, adalah kemungkinan perang dagang AS-Meksiko yang batal. Tidak hanya Meksiko yang berjanji membeli lebih banyak produk pertanian AS, kedua negara juga menyepakati sejumlah hal.
Pertama adalah perluasan program Migration Protection Protocols (MPP). Dalam program ini, warga negara Meksiko yang mencari suaka ke AS akan tetap menunggu di negaranya sampai urusan mereka selesai. AS-Meksiko sepakat MPP diterapkan di seluruh negara bagian yang berbatasan sepanjang 3.220 km.
Kedua adalah Meksiko bersedia menurunkan aparat keamanan untuk menjaga perbatasan di bagian selatan, di mana banyak imigran asal negara-negara Amerika Tengah ingin memasuki Negeri Tequilla.
"Kami telah berupaya untuk menuntaskan masalah di perbatasan. Pemerintahan sebelumnya tidak mampu, atau tidak bisa menyelesaikannya secara utuh. Sampai pada saat ini kami berhasil mencapai kesepakatan dengan Meksiko," cuit Trump di Twitter.
Optimisme damai dagang AS-Meksiko (walau dalam prosesnya AS seperti 'memalak' Meksiko dengan mewajibkan membeli lebih banyak produk pertanian) membuat pelaku pasar berbunga-bunga. Sebab bagaimana pun Meksiko adalah mitra dagang yang penting bagi AS.
Data US Census Bureau mencatat sepanjang 2018, nilai perdagangan AS dengan Meksiko adalah US$ 611,5 miliar atau 14,5% dari total perdagangan internasional Negeri Adidaya. Meksiko menduduki peringkat ketiga, hanya kalah dari China dan Kanada.
"Penurunan suku bunga acuan memang sudah diantisipasi oleh pasar. Namun untuk naik lebih tinggi lagi, Anda butuh sentimen positif dari sisi perdagangan karena dalam jangka panjang isu tersebut lebih menentukan," kata Larry Adam, Chief Investment Officer di Raymond James yang berbasis di Maryland, mengutip Reuters.
Lonjakan pada akhir pekan menyempurnakan langkah Wall Street yang impresif pada pekan lalu. Selama sepekan, DJIA meroket 4,7%, S&P 500 terangkat 4,4%, dan Nasdaq bertambah 3,9%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan positif di Wall Street baik secara mingguan atau pada perdagangan akhir pekan. Optimisme tersebut diharapkan masih laku dan mengangkat moral pelaku pasar di Asia, termasuk Indonesia.
Kedua adalah dari sisi perdagangan. AS-Meksiko sepertinya sudah aman, eskalasi mungkin tidak akan meningkat lagi. Kini pelaku pasar tinggal menantikan 'partai utama' yaitu penyelesaian perang dagang AS-China.
Trump masih dijadwalkan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Tokyo pada akhir bulan ini. Seperti di Buenos Aires jelang akhir 2018, pertemuan keduanya berlangsung di sela-sela KTT G20.
"Kalau dihubungkan dengan bea masuk, Anda bisa lihat apa yang terjadi di Buenos Aires. Hasil pertemuan tersebut adalah presiden menunda kenaikan tarif bea masuk saat negosiasi berlangsung," kata Steven Mnuchin dalam wawancara dengan Reuters.
Jadi apakah pertemuan di Tokyo nanti bisa membuat AS menunda pengenaan bea masuk? "Itu adalah keputusan presiden," ujar Mnuchin.
Well, meski jawaban Mnuchin agak menggantung, tetapi setidaknya ada harapan lah. Ada asa hubungan AS-China akan kembali mesra selepas pertemuan di Tokyo sehingga prospek menuju damai dagang bersemi kembali.
Ini bisa menjadi modal penguatan di pasar keuangan Asia. Siapa yang tidak bersemangat saat mendengar kalimat damai dagang AS-China?
Arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global akan kembali bergeliat kala Washington-Beijing tidak lagi saling hambat. Investor mana yang mau melepaskan peluang sebesar ini?
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data inflasi Mei. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month) berada di 0,53%. Sementara inflasi year-on-year (YoY) diramal 3,165% dan inflasi inti YoY sebesar 3,08%.
Inflasi bulanan yang sebesar 0,53% bisa dibilang minim, mengingat sejak awal Mei (tepatnya 5 Mei) Indonesia sudah memasuki Ramadan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa periode Ramadan-Idul Fitri merupakan puncak konsumsi masyarakat yang otomatis menjadi puncak inflasi.
Namun pada Ramadan kali ini, inflasi bulanan 'hanya' 0,53%. Pada 2018, inflasi Ramadan adalah 0,21% pada Mei dan 0,59% pada Juni. Kemudian pada 2017, inflasi Ramadan yang sebagian besar jatuh pada Juni adalah 0,69%.
Secara tahunan, inflasi 3,165% juga relatif rendah. Tahun lalu, inflasi Ramadan yang jatuh pada Mei dan Juni masing-masing 3,23% dan 3,12%. Sedangkan pada 2017, inflasi Ramadan mencapai 4,37%.
Apakah inflasi rendah merupakan pertanda permintaan lesu? Tampaknya tidak demikian.
Sebab inflasi inti pada Mei diperkirakan 3,08% YoY, terakselerasi dibandingkan April yang sebesar 3,05%. Artinya, konsumsi masih kuat yang tercermin dari peningkatan ekspektasi inflasi.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, inflasi tinggi adalah sebuah default setting. Sebab permintaan terus tumbuh sementara industri domestik masih mencari bentuk permainan terbaik. Artinya pasokan yang tersedia niscaya belum mampu memenuhi permintaan yang terus naik.
Jadi inflasi rendah adalah sebuah berkah, karena pertanda permintaan yang tumbuh mampu dipenuhi oleh sisi penawaran. Sisi pasokan Indonesia semakin baik, dunia usaha semakin mampu untuk menyesuaikan irama permintaan konsumen.
Tiga sentimen tersebut, plus hawa penurunan Federal Funds Rate yang semakin terasa, sepertinya bisa menjadi suntikan adrenalin buat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan pasar obligasi. Apalagi semoga dampak kenaikan rating dari S&P masih terasa.
Setelah puas dengan ketupat, rasanya investor akan kembali melihat yang berwarna hijau hari ini...
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Anies Restui Restoran Hingga Bioskop Buka! Cuan, Cuan, Cuan?
Sepanjang minggu kemarin, indeks saham utama Asia menguat bergerak variatif cenderung menguat. Secara mingguan, Nikkei 225 naik 1,4%, Hang Seng menguat 0,2%, Kospi bertambah 1,5%, dan Straits Times melesat 1,4%. Hanya Shanghai Composite yang terpaksa gigit jari karena anjlok 2,4%.
Ada cukup banyak hal yang perlu dicerna oleh investor di pasar keuangan Indonesia. Namun untungnya, sentimen yang beredar cenderung positif.
Pertama adalah ancaman perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan tetangganya, Meksiko. Presiden AS Donald Trump mengancam bakal mengenakan bea masuk untuk importasi produk-produk asal Meksiko jika Negeri Sombrero tidak kunjung membenahi masalah di perbatasan. Sejak masa kampanye, Trump memang sangat keras jika menyangkut soal imigran gelap.
Namun sepertinya ancaman bea masuk hanyalah alat untuk 'menginjak kaki'. Ancaman tersebut berhasil membuat Meksiko setuju untuk membeli lebih banyak produk AS, terutama pertanian.
"MEKSIKO SETUJU UNTUK SEGERA MEMBELI PRODUK PERTANIAN DALAM JUMLAH YANG BESAR DARI PARA PETANI YANG PATRIOTIK!" cuit Trump di Twitter.
Setelah itu, sikap Trump terhadap Meksiko pun melunak. Bahkan rencana pengenaan bea masuk kemungkinan batal.
"Meksiko awalnya tidak kooperatif soal perbatasan, tetapi kini saya percaya. Terutama setelah berbicara dengan presiden mereka, dan Meksiko akan sangat kooperatif dan ingin menyelesaikan pekerjaan dengan baik," cuit Trump.
Sentimen kedua adalah suku bunga acuan. Setelah tahun lalu mengangkasa, hawa penurunan suku bunga global kian terasa.
Pekan lalu, Bank Sentral Australia (RBA) menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,25%. Sebelumnya Bank Sentral India (RBI) juga sudah menurunkan suku bunga acuan, bahkan lebih agresif.
Aroma penurunan suku bunga acuan bahkan juga tercium di AS. Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Federal Reserves/The Fed, mengatakan bahwa perang dagang AS sejumlah negara akan berdampak terhadap kinerja perekonomian Negeri Paman Sam. Oleh karena itu, The Fed siap menempuh langkah yang diperlukan.
"Kami tidak tahu kapan dan bagaimana masalah ini (perang dagang) bisa diselesaikan. Kami terus memonitor dampak dari perkembangannya terhadap prospek perekonomian AS dan seperti biasanya akan bertindak jika dibutuhkan untuk menjaga ekspansi pasar tenaga kerja dan inflasi mendekati target 2%," papar Powell, mengutip Reuters.
Investor membaca salah satu langkah yang bakal ditempuh The Fed adalah menurunkan suku bunga. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate bertahan di level yang sekarang yaitu 2,25-2,5% pada akhir 2019 hanya 1,4%. Wow...
Peluang untuk turun jauh lebih besar. Kemungkinan suku bunga acuan berada di 2-2,25% pada akhir tahun (turun 25 basis pon) adalah 12,2%. Sedangkan peluang Federal Funds Rate berada di 1,75-2% (turun 50 basis poin) adalah 32,6%. Bahkan kemungkinan suku bunga acuan nangkring di 1,5-1,75% (turun 75 basis poin) adalah 35,5%.
Tampaknya AS sudah tidak bisa menghindar, suku bunga harus turun. Artinya berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS, utamanya yang berpendapatan tetap, menjadi kurang menguntungkan.
Arus modal akan cenderung menghindari dolar AS dan hinggap ke berbagai negara, bukan tidak mungkin Indonesia. Sebab sebelum libur Idul Fitri, Standard and Poor's (S&P) memberikan 'kado' berupa kenaikan peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama menguat signifikan pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,01%, S&P 500 melejit 1,05%, dan Nasdaq Composite melompat 1,66%.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, peluang penurunan suku bunga acuan menjadi katalis bagi bursa saham New York. Sebab, saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah.
Selain perang dagang, peluang penurunan suku bunga acuan menjadi lebih besar karena data ketenagakerjaan AS. Pada Mei, perekonomian AS menciptakan 75.000 lapangan kerja.
Ini menjadi kali pertama sejak 2019 penciptaan lapangan kerja tidak sampai 100.000. Akibatnya angka pengangguran juga tidak berubah di 3,6%.
"Laporan ini membuat penurunan suku bunga acuan sangat mungkin terjadi. Friksi dagang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam laju yang cukup bagi The Fed untuk merespons dengan menurunkan suku bunga acuan pada September dan Desember," kata Joseph Song, Ekonom di Bank of America Merrill Lynch, mengutip Reuters.
"Saat ini pelaku pasar rela menerima perlambatan ekonomi demi penurunan suku bunga. Kita sudah kecanduan suku bunga rendah, dan rela mendapatkannya dengan menukarkan pertumbuhan ekonomi," tegas Jack Ablin, Chief Investment Officer di Cresset Capital Management yang berbasis di Chicago, mengutip Reuters.
Faktor lain yang mendorong laju Wall Street, juga sudah disinggung sebelumnya, adalah kemungkinan perang dagang AS-Meksiko yang batal. Tidak hanya Meksiko yang berjanji membeli lebih banyak produk pertanian AS, kedua negara juga menyepakati sejumlah hal.
Pertama adalah perluasan program Migration Protection Protocols (MPP). Dalam program ini, warga negara Meksiko yang mencari suaka ke AS akan tetap menunggu di negaranya sampai urusan mereka selesai. AS-Meksiko sepakat MPP diterapkan di seluruh negara bagian yang berbatasan sepanjang 3.220 km.
Kedua adalah Meksiko bersedia menurunkan aparat keamanan untuk menjaga perbatasan di bagian selatan, di mana banyak imigran asal negara-negara Amerika Tengah ingin memasuki Negeri Tequilla.
"Kami telah berupaya untuk menuntaskan masalah di perbatasan. Pemerintahan sebelumnya tidak mampu, atau tidak bisa menyelesaikannya secara utuh. Sampai pada saat ini kami berhasil mencapai kesepakatan dengan Meksiko," cuit Trump di Twitter.
Optimisme damai dagang AS-Meksiko (walau dalam prosesnya AS seperti 'memalak' Meksiko dengan mewajibkan membeli lebih banyak produk pertanian) membuat pelaku pasar berbunga-bunga. Sebab bagaimana pun Meksiko adalah mitra dagang yang penting bagi AS.
Data US Census Bureau mencatat sepanjang 2018, nilai perdagangan AS dengan Meksiko adalah US$ 611,5 miliar atau 14,5% dari total perdagangan internasional Negeri Adidaya. Meksiko menduduki peringkat ketiga, hanya kalah dari China dan Kanada.
"Penurunan suku bunga acuan memang sudah diantisipasi oleh pasar. Namun untuk naik lebih tinggi lagi, Anda butuh sentimen positif dari sisi perdagangan karena dalam jangka panjang isu tersebut lebih menentukan," kata Larry Adam, Chief Investment Officer di Raymond James yang berbasis di Maryland, mengutip Reuters.
Lonjakan pada akhir pekan menyempurnakan langkah Wall Street yang impresif pada pekan lalu. Selama sepekan, DJIA meroket 4,7%, S&P 500 terangkat 4,4%, dan Nasdaq bertambah 3,9%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan positif di Wall Street baik secara mingguan atau pada perdagangan akhir pekan. Optimisme tersebut diharapkan masih laku dan mengangkat moral pelaku pasar di Asia, termasuk Indonesia.
Kedua adalah dari sisi perdagangan. AS-Meksiko sepertinya sudah aman, eskalasi mungkin tidak akan meningkat lagi. Kini pelaku pasar tinggal menantikan 'partai utama' yaitu penyelesaian perang dagang AS-China.
Trump masih dijadwalkan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Tokyo pada akhir bulan ini. Seperti di Buenos Aires jelang akhir 2018, pertemuan keduanya berlangsung di sela-sela KTT G20.
"Kalau dihubungkan dengan bea masuk, Anda bisa lihat apa yang terjadi di Buenos Aires. Hasil pertemuan tersebut adalah presiden menunda kenaikan tarif bea masuk saat negosiasi berlangsung," kata Steven Mnuchin dalam wawancara dengan Reuters.
Jadi apakah pertemuan di Tokyo nanti bisa membuat AS menunda pengenaan bea masuk? "Itu adalah keputusan presiden," ujar Mnuchin.
Well, meski jawaban Mnuchin agak menggantung, tetapi setidaknya ada harapan lah. Ada asa hubungan AS-China akan kembali mesra selepas pertemuan di Tokyo sehingga prospek menuju damai dagang bersemi kembali.
Ini bisa menjadi modal penguatan di pasar keuangan Asia. Siapa yang tidak bersemangat saat mendengar kalimat damai dagang AS-China?
Arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global akan kembali bergeliat kala Washington-Beijing tidak lagi saling hambat. Investor mana yang mau melepaskan peluang sebesar ini?
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data inflasi Mei. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month) berada di 0,53%. Sementara inflasi year-on-year (YoY) diramal 3,165% dan inflasi inti YoY sebesar 3,08%.
Inflasi bulanan yang sebesar 0,53% bisa dibilang minim, mengingat sejak awal Mei (tepatnya 5 Mei) Indonesia sudah memasuki Ramadan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa periode Ramadan-Idul Fitri merupakan puncak konsumsi masyarakat yang otomatis menjadi puncak inflasi.
Namun pada Ramadan kali ini, inflasi bulanan 'hanya' 0,53%. Pada 2018, inflasi Ramadan adalah 0,21% pada Mei dan 0,59% pada Juni. Kemudian pada 2017, inflasi Ramadan yang sebagian besar jatuh pada Juni adalah 0,69%.
Secara tahunan, inflasi 3,165% juga relatif rendah. Tahun lalu, inflasi Ramadan yang jatuh pada Mei dan Juni masing-masing 3,23% dan 3,12%. Sedangkan pada 2017, inflasi Ramadan mencapai 4,37%.
Apakah inflasi rendah merupakan pertanda permintaan lesu? Tampaknya tidak demikian.
Sebab inflasi inti pada Mei diperkirakan 3,08% YoY, terakselerasi dibandingkan April yang sebesar 3,05%. Artinya, konsumsi masih kuat yang tercermin dari peningkatan ekspektasi inflasi.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, inflasi tinggi adalah sebuah default setting. Sebab permintaan terus tumbuh sementara industri domestik masih mencari bentuk permainan terbaik. Artinya pasokan yang tersedia niscaya belum mampu memenuhi permintaan yang terus naik.
Jadi inflasi rendah adalah sebuah berkah, karena pertanda permintaan yang tumbuh mampu dipenuhi oleh sisi penawaran. Sisi pasokan Indonesia semakin baik, dunia usaha semakin mampu untuk menyesuaikan irama permintaan konsumen.
Tiga sentimen tersebut, plus hawa penurunan Federal Funds Rate yang semakin terasa, sepertinya bisa menjadi suntikan adrenalin buat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan pasar obligasi. Apalagi semoga dampak kenaikan rating dari S&P masih terasa.
Setelah puas dengan ketupat, rasanya investor akan kembali melihat yang berwarna hijau hari ini...
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pembacaan kedua pertumbuhan ekonomi Jepang periode kuartal I-2019 (06:50 WIB).
- Rilis data transaksi berjalan Jepang periode April (06:50 WIB).
- Rilis data ekspor-impor China periode Mei (10:00 WIB/perkiraan).
- Rilis data tingkat inflasi Indonesia periode Mei (10:30 WIB).
- Rilis data lowongan pekerjaan AS periode April (21:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY) | 5,17% |
Inflasi (April 2019 YoY) | 2,83% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2019) | -2,6% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2019) | US$ 2,42 miliar |
Cadangan devisa (April 2019) | US$ 124,29 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Anies Restui Restoran Hingga Bioskop Buka! Cuan, Cuan, Cuan?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular