
Newsletter
Ketupat Sudah Lewat, Ada yang Hijau Lagi Hari Ini?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 June 2019 05:56

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan positif di Wall Street baik secara mingguan atau pada perdagangan akhir pekan. Optimisme tersebut diharapkan masih laku dan mengangkat moral pelaku pasar di Asia, termasuk Indonesia.
Kedua adalah dari sisi perdagangan. AS-Meksiko sepertinya sudah aman, eskalasi mungkin tidak akan meningkat lagi. Kini pelaku pasar tinggal menantikan 'partai utama' yaitu penyelesaian perang dagang AS-China.
Trump masih dijadwalkan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Tokyo pada akhir bulan ini. Seperti di Buenos Aires jelang akhir 2018, pertemuan keduanya berlangsung di sela-sela KTT G20.
"Kalau dihubungkan dengan bea masuk, Anda bisa lihat apa yang terjadi di Buenos Aires. Hasil pertemuan tersebut adalah presiden menunda kenaikan tarif bea masuk saat negosiasi berlangsung," kata Steven Mnuchin dalam wawancara dengan Reuters.
Jadi apakah pertemuan di Tokyo nanti bisa membuat AS menunda pengenaan bea masuk? "Itu adalah keputusan presiden," ujar Mnuchin.
Well, meski jawaban Mnuchin agak menggantung, tetapi setidaknya ada harapan lah. Ada asa hubungan AS-China akan kembali mesra selepas pertemuan di Tokyo sehingga prospek menuju damai dagang bersemi kembali.
Ini bisa menjadi modal penguatan di pasar keuangan Asia. Siapa yang tidak bersemangat saat mendengar kalimat damai dagang AS-China?
Arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global akan kembali bergeliat kala Washington-Beijing tidak lagi saling hambat. Investor mana yang mau melepaskan peluang sebesar ini?
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data inflasi Mei. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month) berada di 0,53%. Sementara inflasi year-on-year (YoY) diramal 3,165% dan inflasi inti YoY sebesar 3,08%.
Inflasi bulanan yang sebesar 0,53% bisa dibilang minim, mengingat sejak awal Mei (tepatnya 5 Mei) Indonesia sudah memasuki Ramadan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa periode Ramadan-Idul Fitri merupakan puncak konsumsi masyarakat yang otomatis menjadi puncak inflasi.
Namun pada Ramadan kali ini, inflasi bulanan 'hanya' 0,53%. Pada 2018, inflasi Ramadan adalah 0,21% pada Mei dan 0,59% pada Juni. Kemudian pada 2017, inflasi Ramadan yang sebagian besar jatuh pada Juni adalah 0,69%.
Secara tahunan, inflasi 3,165% juga relatif rendah. Tahun lalu, inflasi Ramadan yang jatuh pada Mei dan Juni masing-masing 3,23% dan 3,12%. Sedangkan pada 2017, inflasi Ramadan mencapai 4,37%.
Apakah inflasi rendah merupakan pertanda permintaan lesu? Tampaknya tidak demikian.
Sebab inflasi inti pada Mei diperkirakan 3,08% YoY, terakselerasi dibandingkan April yang sebesar 3,05%. Artinya, konsumsi masih kuat yang tercermin dari peningkatan ekspektasi inflasi.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, inflasi tinggi adalah sebuah default setting. Sebab permintaan terus tumbuh sementara industri domestik masih mencari bentuk permainan terbaik. Artinya pasokan yang tersedia niscaya belum mampu memenuhi permintaan yang terus naik.
Jadi inflasi rendah adalah sebuah berkah, karena pertanda permintaan yang tumbuh mampu dipenuhi oleh sisi penawaran. Sisi pasokan Indonesia semakin baik, dunia usaha semakin mampu untuk menyesuaikan irama permintaan konsumen.
Tiga sentimen tersebut, plus hawa penurunan Federal Funds Rate yang semakin terasa, sepertinya bisa menjadi suntikan adrenalin buat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan pasar obligasi. Apalagi semoga dampak kenaikan rating dari S&P masih terasa.
Setelah puas dengan ketupat, rasanya investor akan kembali melihat yang berwarna hijau hari ini...
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Kedua adalah dari sisi perdagangan. AS-Meksiko sepertinya sudah aman, eskalasi mungkin tidak akan meningkat lagi. Kini pelaku pasar tinggal menantikan 'partai utama' yaitu penyelesaian perang dagang AS-China.
Trump masih dijadwalkan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Tokyo pada akhir bulan ini. Seperti di Buenos Aires jelang akhir 2018, pertemuan keduanya berlangsung di sela-sela KTT G20.
"Kalau dihubungkan dengan bea masuk, Anda bisa lihat apa yang terjadi di Buenos Aires. Hasil pertemuan tersebut adalah presiden menunda kenaikan tarif bea masuk saat negosiasi berlangsung," kata Steven Mnuchin dalam wawancara dengan Reuters.
Jadi apakah pertemuan di Tokyo nanti bisa membuat AS menunda pengenaan bea masuk? "Itu adalah keputusan presiden," ujar Mnuchin.
Well, meski jawaban Mnuchin agak menggantung, tetapi setidaknya ada harapan lah. Ada asa hubungan AS-China akan kembali mesra selepas pertemuan di Tokyo sehingga prospek menuju damai dagang bersemi kembali.
Ini bisa menjadi modal penguatan di pasar keuangan Asia. Siapa yang tidak bersemangat saat mendengar kalimat damai dagang AS-China?
Arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global akan kembali bergeliat kala Washington-Beijing tidak lagi saling hambat. Investor mana yang mau melepaskan peluang sebesar ini?
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data inflasi Mei. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month) berada di 0,53%. Sementara inflasi year-on-year (YoY) diramal 3,165% dan inflasi inti YoY sebesar 3,08%.
Inflasi bulanan yang sebesar 0,53% bisa dibilang minim, mengingat sejak awal Mei (tepatnya 5 Mei) Indonesia sudah memasuki Ramadan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa periode Ramadan-Idul Fitri merupakan puncak konsumsi masyarakat yang otomatis menjadi puncak inflasi.
Namun pada Ramadan kali ini, inflasi bulanan 'hanya' 0,53%. Pada 2018, inflasi Ramadan adalah 0,21% pada Mei dan 0,59% pada Juni. Kemudian pada 2017, inflasi Ramadan yang sebagian besar jatuh pada Juni adalah 0,69%.
Secara tahunan, inflasi 3,165% juga relatif rendah. Tahun lalu, inflasi Ramadan yang jatuh pada Mei dan Juni masing-masing 3,23% dan 3,12%. Sedangkan pada 2017, inflasi Ramadan mencapai 4,37%.
Apakah inflasi rendah merupakan pertanda permintaan lesu? Tampaknya tidak demikian.
Sebab inflasi inti pada Mei diperkirakan 3,08% YoY, terakselerasi dibandingkan April yang sebesar 3,05%. Artinya, konsumsi masih kuat yang tercermin dari peningkatan ekspektasi inflasi.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, inflasi tinggi adalah sebuah default setting. Sebab permintaan terus tumbuh sementara industri domestik masih mencari bentuk permainan terbaik. Artinya pasokan yang tersedia niscaya belum mampu memenuhi permintaan yang terus naik.
Jadi inflasi rendah adalah sebuah berkah, karena pertanda permintaan yang tumbuh mampu dipenuhi oleh sisi penawaran. Sisi pasokan Indonesia semakin baik, dunia usaha semakin mampu untuk menyesuaikan irama permintaan konsumen.
Tiga sentimen tersebut, plus hawa penurunan Federal Funds Rate yang semakin terasa, sepertinya bisa menjadi suntikan adrenalin buat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan pasar obligasi. Apalagi semoga dampak kenaikan rating dari S&P masih terasa.
Setelah puas dengan ketupat, rasanya investor akan kembali melihat yang berwarna hijau hari ini...
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular