
Newsletter
Dolar AS Bangkit, Harga Minyak Melejit
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 May 2019 05:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah performa impresif pekan lalu, pasar keuangan Indonesia berhasil melanjutkan tren positif pada perdagangan awal pekan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, nilai tukar rupiah terapresiasi, dan imbal hasil (yield) obligasi negara turun.
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup naik 0,69%. IHSG bergerak searah dengan indeks saham utama Asia yang juga finis di jalur hijau, seperti Nikkei 225 (0,31%), Shanghai Composite (1,38%), dan Straits Times (0,03).
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,07% di perdagangan pasar spot. Meski apresiasi rupiah tipis saja, tetapi berhasil menjadi mata uang terbaik ketiga di Asia.
Baca:
Tak Lagi Juara Asia, Rupiah Melorot ke Peringkat Tiga
Sedangkan yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun turun 2,3 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Sepertinya pelaku pasar masih 'menghukum' dolar AS. Faktor teknikal dan fundamental menjadi pemberat langkah mata uang Negeri Paman Sam. Dalam tiga bulan terakhir, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) sudah menguat 1,39%. Sementara sejak awal tahun, kenaikannya mencapai 1,64%.
Ini membuat mata uang Negeri Paman Sam rentan terdepresiasi, karena investor yang sudah mendapatkan keuntungan tentu tergoda mencairkannya. Tekanan jual masih membayangi dolar AS.
Selain itu, investor juga mulai khawatir dengan perkembangan ekonomi AS. Sinyal-sinyal perlambatan ekonomi semakin terlihat.
Berlanjutnya perang dagang dengan China diprediksi memukul perekonomian AS sendiri. Harga produk impor (termasuk bahan baku dan barang modal) asal China menjadi semakin mahal gara-gara bea masuk, sehingga menurunkan aktivitas investasi. AS pun akan kesulitan menjual produk ke China, khususnya produk pertanian, karena kenaikan bea masuk.
Dunia usaha pun mulai melihat prospek perekonomian ke depan agak gloomy. Perkiraan angka Purchasing Manager's Index (PMI) edisi Mei versi IHS Markit ada di 50,6%. Turun lumayan jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 52,6 dan menjadi yang terendah sejak September 2009.
Tidak hanya dunia usaha, rumah tangga juga sepertinya menahan diri. Terlihat dari penjualan rumah baru yang pada April tercatat 673.000 unit. Turun 6,9% dibandingkan bulan sebelumnya.
Permasalahan di investasi dan konsumsi membuat prospek pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya menjadi suram. Mengutip proyeksi terbaru tanggal 24 Mei, The Federal Reserve/The Fed memperkirakan ekonomi AS pada kuartal II-2019 hanya tumbuh 1,3% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,2%.
Perlambatan investasi, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi membuat pelaku pasar mulai berani bertaruh The Fed bakal menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Penurunan Federal Funds Rate bisa ditempuh sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan tetap di 2,25-2,5% pada akhir 2019 hanya 23,1%. Sementara peluang untuk turun 25 bps ke 2-2,25% lebih tinggi yaitu 42%.
Kemungkinan penurunan suku bunga acuan yang semakin tinggi tentu menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, penurunan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS menjadi kurang menarik.
Akibatnya, arus modal meninggalkan AS, bertebaran ke segala penjuru, termasuk ke Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 460,32 miliar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup naik 0,69%. IHSG bergerak searah dengan indeks saham utama Asia yang juga finis di jalur hijau, seperti Nikkei 225 (0,31%), Shanghai Composite (1,38%), dan Straits Times (0,03).
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,07% di perdagangan pasar spot. Meski apresiasi rupiah tipis saja, tetapi berhasil menjadi mata uang terbaik ketiga di Asia.
Baca:
Tak Lagi Juara Asia, Rupiah Melorot ke Peringkat Tiga
Sedangkan yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun turun 2,3 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Sepertinya pelaku pasar masih 'menghukum' dolar AS. Faktor teknikal dan fundamental menjadi pemberat langkah mata uang Negeri Paman Sam. Dalam tiga bulan terakhir, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) sudah menguat 1,39%. Sementara sejak awal tahun, kenaikannya mencapai 1,64%.
Ini membuat mata uang Negeri Paman Sam rentan terdepresiasi, karena investor yang sudah mendapatkan keuntungan tentu tergoda mencairkannya. Tekanan jual masih membayangi dolar AS.
Selain itu, investor juga mulai khawatir dengan perkembangan ekonomi AS. Sinyal-sinyal perlambatan ekonomi semakin terlihat.
Berlanjutnya perang dagang dengan China diprediksi memukul perekonomian AS sendiri. Harga produk impor (termasuk bahan baku dan barang modal) asal China menjadi semakin mahal gara-gara bea masuk, sehingga menurunkan aktivitas investasi. AS pun akan kesulitan menjual produk ke China, khususnya produk pertanian, karena kenaikan bea masuk.
Dunia usaha pun mulai melihat prospek perekonomian ke depan agak gloomy. Perkiraan angka Purchasing Manager's Index (PMI) edisi Mei versi IHS Markit ada di 50,6%. Turun lumayan jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 52,6 dan menjadi yang terendah sejak September 2009.
Tidak hanya dunia usaha, rumah tangga juga sepertinya menahan diri. Terlihat dari penjualan rumah baru yang pada April tercatat 673.000 unit. Turun 6,9% dibandingkan bulan sebelumnya.
Permasalahan di investasi dan konsumsi membuat prospek pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya menjadi suram. Mengutip proyeksi terbaru tanggal 24 Mei, The Federal Reserve/The Fed memperkirakan ekonomi AS pada kuartal II-2019 hanya tumbuh 1,3% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,2%.
Perlambatan investasi, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi membuat pelaku pasar mulai berani bertaruh The Fed bakal menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Penurunan Federal Funds Rate bisa ditempuh sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan tetap di 2,25-2,5% pada akhir 2019 hanya 23,1%. Sementara peluang untuk turun 25 bps ke 2-2,25% lebih tinggi yaitu 42%.
Kemungkinan penurunan suku bunga acuan yang semakin tinggi tentu menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, penurunan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS menjadi kurang menarik.
Akibatnya, arus modal meninggalkan AS, bertebaran ke segala penjuru, termasuk ke Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 460,32 miliar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular