
Newsletter
Dag-Dig-Dug-Der Jelang 22 Mei, Bagaimana Pasar Hari Ini?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 May 2019 06:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi periode yang kelam bagi pasar keuangan Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah kompak melemah.
Sepanjang pekan lalu, IHSG jatuh 6,16% secara point-to-point. Indeks saham Asia juga sebagian besar melemah, tetapi koreksi IHSG menjadi yang paling dalam.
Dalam periode yang sama, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,87%. Tidak cuma rupiah, sebagian besar mata uang utama Benua Kuning juga terdepresiasi di hadapan greenback, seperti yen Jepang (-0,12%), yuan China (-1,41%), won Korea Selatan (-1,66%), rupee India (-0,39%), dolar Singapura (-1,07%), ringgit Malaysia (-0,43%), sampai baht Thailand (-0.98%).
Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 0,8 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga aset ini sedang turun akibat tingginya aksi jual.
Selama minggu kemarin, investor asing memang getol melepas aset-aset di pasar keuangan Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih mencapai Rp 3,63 triliun. Sementara di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing pada 16 Mei tercatat Rp 954,13 triliun, turun Rp 7,89 triliun dibandingkan sepekan sebelumnya.
Harap maklum, investor global dibuat ketar-ketir karena perang dagang AS-China yang kembali memanas. AS memberlakukan kenaikan bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah ini dibalas oleh China dengan menaikkan bea masuk untuk importasi produk made in the USA senilai US$ 60 miliar dari semula 5-10% menjadi 20-25%.
Hubungan Washington dan Beijing yang sempat mesra setelah beberapa kali dialog dagang kini tegang lagi. Bahkan pembicaraan terakhir di Washington berakhir dengan menyisakan rasa tidak enak di mulut.
"Setiap negara memiliki martabat," tegas Liu He, Wakil Perdana Menteri China, usai pertemuan, mengutip Reuters.
Perang dagang AS-China yang kembali bergelora membuat prospek pertumbuhan ekonomi global meredup. Arus perdagangan dan rantai pasok global akan terhambat sehingga ikut meredam aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Sementara dari dalam negeri, tekanan yang dialami IHSG dkk datang dari rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada April defisit US$ 2,5 miliar. Ini menjadi defisit paling dalam sepanjang sejarah bangsa Indonesia.
Akibat rilis data ini, Bank Indonesia (BI) sepertinya menjadi kurang yakin terhadap proyeksi transaksi berjalan (current account). Meski masih memproyeksikan defisit transaksi berjalan di kisaran 2,5-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019, tetapi rasanya akan lebih lebar dari perkiraan semula.
Dua perkembangan ini menjadi pukulan bagi rupiah. Dengan pasokan devisa dari sektor perdagangan yang minim cenderung seret, maka fondasi penopang rupiah menjadi rapuh karena hanya mengandalkan arus modal dari pasar keuangan alias hot money. Rentan sekali.
Rupiah yang rentan melemah membuat aset-aset berbasis mata uang ini kena gerahnya, ikut terkena tekanan jual. Sebab, investor mana yang mau memegang aset dengan risiko penurunan nilai?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sepanjang pekan lalu, IHSG jatuh 6,16% secara point-to-point. Indeks saham Asia juga sebagian besar melemah, tetapi koreksi IHSG menjadi yang paling dalam.
Dalam periode yang sama, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,87%. Tidak cuma rupiah, sebagian besar mata uang utama Benua Kuning juga terdepresiasi di hadapan greenback, seperti yen Jepang (-0,12%), yuan China (-1,41%), won Korea Selatan (-1,66%), rupee India (-0,39%), dolar Singapura (-1,07%), ringgit Malaysia (-0,43%), sampai baht Thailand (-0.98%).
Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 0,8 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga aset ini sedang turun akibat tingginya aksi jual.
Selama minggu kemarin, investor asing memang getol melepas aset-aset di pasar keuangan Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih mencapai Rp 3,63 triliun. Sementara di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing pada 16 Mei tercatat Rp 954,13 triliun, turun Rp 7,89 triliun dibandingkan sepekan sebelumnya.
Harap maklum, investor global dibuat ketar-ketir karena perang dagang AS-China yang kembali memanas. AS memberlakukan kenaikan bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah ini dibalas oleh China dengan menaikkan bea masuk untuk importasi produk made in the USA senilai US$ 60 miliar dari semula 5-10% menjadi 20-25%.
Hubungan Washington dan Beijing yang sempat mesra setelah beberapa kali dialog dagang kini tegang lagi. Bahkan pembicaraan terakhir di Washington berakhir dengan menyisakan rasa tidak enak di mulut.
"Setiap negara memiliki martabat," tegas Liu He, Wakil Perdana Menteri China, usai pertemuan, mengutip Reuters.
Perang dagang AS-China yang kembali bergelora membuat prospek pertumbuhan ekonomi global meredup. Arus perdagangan dan rantai pasok global akan terhambat sehingga ikut meredam aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Sementara dari dalam negeri, tekanan yang dialami IHSG dkk datang dari rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada April defisit US$ 2,5 miliar. Ini menjadi defisit paling dalam sepanjang sejarah bangsa Indonesia.
Akibat rilis data ini, Bank Indonesia (BI) sepertinya menjadi kurang yakin terhadap proyeksi transaksi berjalan (current account). Meski masih memproyeksikan defisit transaksi berjalan di kisaran 2,5-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019, tetapi rasanya akan lebih lebar dari perkiraan semula.
Dua perkembangan ini menjadi pukulan bagi rupiah. Dengan pasokan devisa dari sektor perdagangan yang minim cenderung seret, maka fondasi penopang rupiah menjadi rapuh karena hanya mengandalkan arus modal dari pasar keuangan alias hot money. Rentan sekali.
Rupiah yang rentan melemah membuat aset-aset berbasis mata uang ini kena gerahnya, ikut terkena tekanan jual. Sebab, investor mana yang mau memegang aset dengan risiko penurunan nilai?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Perang Dagang Rontokkan Wall Street
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular