
Newsletter
Dag-Dig-Dug-Der Jelang 22 Mei, Bagaimana Pasar Hari Ini?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 May 2019 06:03

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu performa Wall Street yang kurang memuaskan baik pada perdagangan akhir pekan maupun secara mingguan. Ini dikhawatirkan menjadi perusak mood pelaku pasar di Asia dalam memulai pekan yang baru.
Sentimen kedua, investor masih harus memasang mata dan telinga untuk mendapatkan kabar terbaru seputar perkembangan hubungan AS-China. Semoga langkah AS yang melunak dengan memberikan keringanan terkait sanksi kepada Huawei mendapat respons positif dari China sehingga dialog dagang bisa dilanjutkan lagi.
Jika perang dagang terus terjadi dan bahkan semakin parah, maka pertaruhannya adalah perekonomian dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memberi wanti-wanti bahwa perang dagang akan menjadi salah satu risiko utama.
"Risiko (pertumbuhan ekonomi) ke bawah yang ada saat ini adalah berlanjutnya tensi antara AS dan China. Kalau tensi ini tidak bisa diselesaikan, maka akan menjadi risiko ke depannya," tegas Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF, seperti dikutip dari Reuters.
Namun emosi China sejauh ini belum reda. Tajuk di kantor berita Xinhua menyebutkan bahwa Negeri Tirai Bambu tidak akan mengalah terhadap bullying yang dilakukan AS.
"AS sekali lagi melakukan bullying kepada China. Namun trik AS dengan menekan China tidak akan berhasil. Hambatan ini justru membuat China semakin kuat, dan perjalanan menuju kebangkitan ekonomi nasional tidak terbendung," tegas tajuk tersebut.
Well, semoga ada kabar baik yang menenangkan. Terserah itu dari Washington atau Beijing, yang penting adem. Sebab kalau tidak, perang dagang masih akan menjadi risiko yang bisa menyeret pasar keuangan global ke zona merah.
Sentimen ketiga adalah ketegangan geopolitik di Timur Tengah antara Arab Saudi dan kawan-kawan dengan Iran. Belum lama ini, koalisi Arab Saudi menggempur ibukota Yaman, Sanaa, melalui serangan udara dengan dalih memberantas milisi Houthi yang dibekingi Iran.
"Kerajaan Arab Saudi tidak ingin ada perang di kawasan ini, dan tidak ingin mencari perang. Kami akan melakukan sebisa mungkin untuk mencegah perang. Namun pada saat yang sama, Kerajaan akan merespons dengan segenap kekuatan serta melindungi diri dan kepentingannya," jelas Adel Al Jubeir, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, dikutip dari Reuters.
Pernyataan senada dikemukakan oleh Teheran. Mayor Jenderal Hossein Salami, Komandan Korps Penjaga Revolusi Islam Iran, menegaskan pihaknya tidak mencari perang tetapi tidak takut kalau itu sampai terjadi (amit-amit).
Ketegangan di Timur Tengah dikhawatirkan bisa mempengaruhi harga minyak. Konflik (kalau berkepanjangan) bisa membuat pasokan si emas hitam dari kawasan tersebut terhambat. Timur Tengah adalah daerah penghasil minyak terbesar di dunia, sehingga saat pasokan dari sana berkurang maka harga bisa naik cukup signifikan.
Terbukti sepanjang pekan lalu harga minyak jenis brent melonjak 2,25%. Sementara harga light sweet naik sampai 1,78%.
Jika tren ini berlanjut, maka bisa menjadi alamat jelek buat rupiah. Pasalnya, kenaikan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini semakin mahal. Padahal Indonesia mau tidak mau harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang belum juga memadai.
Artinya, akan ada tekanan bagi neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ini bukan berita baik buat rupiah dan aset-aset berbasis mata uang Tanah Air.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Sentimen kedua, investor masih harus memasang mata dan telinga untuk mendapatkan kabar terbaru seputar perkembangan hubungan AS-China. Semoga langkah AS yang melunak dengan memberikan keringanan terkait sanksi kepada Huawei mendapat respons positif dari China sehingga dialog dagang bisa dilanjutkan lagi.
Jika perang dagang terus terjadi dan bahkan semakin parah, maka pertaruhannya adalah perekonomian dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memberi wanti-wanti bahwa perang dagang akan menjadi salah satu risiko utama.
"Risiko (pertumbuhan ekonomi) ke bawah yang ada saat ini adalah berlanjutnya tensi antara AS dan China. Kalau tensi ini tidak bisa diselesaikan, maka akan menjadi risiko ke depannya," tegas Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF, seperti dikutip dari Reuters.
Namun emosi China sejauh ini belum reda. Tajuk di kantor berita Xinhua menyebutkan bahwa Negeri Tirai Bambu tidak akan mengalah terhadap bullying yang dilakukan AS.
"AS sekali lagi melakukan bullying kepada China. Namun trik AS dengan menekan China tidak akan berhasil. Hambatan ini justru membuat China semakin kuat, dan perjalanan menuju kebangkitan ekonomi nasional tidak terbendung," tegas tajuk tersebut.
Well, semoga ada kabar baik yang menenangkan. Terserah itu dari Washington atau Beijing, yang penting adem. Sebab kalau tidak, perang dagang masih akan menjadi risiko yang bisa menyeret pasar keuangan global ke zona merah.
Sentimen ketiga adalah ketegangan geopolitik di Timur Tengah antara Arab Saudi dan kawan-kawan dengan Iran. Belum lama ini, koalisi Arab Saudi menggempur ibukota Yaman, Sanaa, melalui serangan udara dengan dalih memberantas milisi Houthi yang dibekingi Iran.
"Kerajaan Arab Saudi tidak ingin ada perang di kawasan ini, dan tidak ingin mencari perang. Kami akan melakukan sebisa mungkin untuk mencegah perang. Namun pada saat yang sama, Kerajaan akan merespons dengan segenap kekuatan serta melindungi diri dan kepentingannya," jelas Adel Al Jubeir, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, dikutip dari Reuters.
Pernyataan senada dikemukakan oleh Teheran. Mayor Jenderal Hossein Salami, Komandan Korps Penjaga Revolusi Islam Iran, menegaskan pihaknya tidak mencari perang tetapi tidak takut kalau itu sampai terjadi (amit-amit).
Ketegangan di Timur Tengah dikhawatirkan bisa mempengaruhi harga minyak. Konflik (kalau berkepanjangan) bisa membuat pasokan si emas hitam dari kawasan tersebut terhambat. Timur Tengah adalah daerah penghasil minyak terbesar di dunia, sehingga saat pasokan dari sana berkurang maka harga bisa naik cukup signifikan.
Terbukti sepanjang pekan lalu harga minyak jenis brent melonjak 2,25%. Sementara harga light sweet naik sampai 1,78%.
Jika tren ini berlanjut, maka bisa menjadi alamat jelek buat rupiah. Pasalnya, kenaikan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini semakin mahal. Padahal Indonesia mau tidak mau harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang belum juga memadai.
Artinya, akan ada tekanan bagi neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ini bukan berita baik buat rupiah dan aset-aset berbasis mata uang Tanah Air.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular