Newsletter

Masihkah Dolar AS Perkasa Bak Captain America?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
03 May 2019 04:46
Masihkah Dolar AS Perkasa Bak Captain America?
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan kemarin menyisakan rasa tidak enak di mulut investor pasar keuangan Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi dalam, rupiah gagal menguat, dan imbal hasil (yield) oblgasi negara naik. 

Kemarin, IHSG ditutup anjlok 1,25%. Sementara sejumlah indeks saham utama Asia berhasil menguat, seperti Hang Seng (0,83%), Shanghai Composite (0,52%), dan Kospi (0,42%).  

Sedangkan yang senasib dengan IHSG adalah Nikkei 225 (-0,22%), Straits Times (-0,2%), dan KLCI (-0.61%). Walau senasib, tetapi tetap saja koreksi IHSG menjadi yang paling parah. 


Sedangkan rupiah menutup perdagangan pasar spot di posisi Rp 14.245/US$. Sama seperti posisi penutupan perdagangan terakhir sebelum libur Hari Buruh Sedunia. Stagnan saja. 

Padahal rupiah dibuka menguat 0,32% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun tidak sampai tengah hari, penguatan itu sudah habis. 


Walau cuma stagnan, rupiah lebih beruntung ketimbang mayoritas mata uang utama Benua Kuning yang tidak berdaya di hadapan dolar AS. Yuan China melemah 0,03%, yen Jepang terdepresiasi 0,11%, won Korea Selatan minus 0,12%, ringgit Malaysia melorot 0,08%, peso Filipina berkurang 0,14%, dolar Singapura lesu 0,08%, dan baht Thailand terpeleset 0,13%. 

Lalu imbal hasil obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 5,2 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena terpapar aksi jual. 

Tidak hanya tenor 10 tahun, yield di hampir seluruh tenor acuan juga naik. Berikut posisi yield obligasi pemerintah pada penutupan perdagangan kemarin: 

 

Sentimen global memang kurang berpihak kepada pasar keuangan Asia. Investor kembali mengarahkan pandangan kepada dolar AS seiring pengumuman hasil rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). 

Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% seperti yang sudah diperkirakan pasar. Namun pernyataan yang menyertai keputusan tersebut yang di luar dugaan. 

"Kami merasa stance kebijakan kami masih layak dipertahankan saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar. 

"Pasar tenaga kerja tetap kuat. Ekonomi juga tumbuh solid. Apa yang kami putuskan hari ini sebaiknya tidak dibaca sebagai sinyal perubahan kebijakan pada masa mendatang," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters. 

Komentar yang jauh dari kesan dovish ini benar-benar di tidak terbayangkan sebelumnya. Pelaku pasar awalnya menduga The Fed kembali melontarkan pernyataan bernada kalem, bahkan mengarah ke penurunan suku bunga acuan. 

Namun yang terjadi justru sebaliknya. The Fed malah begitu tegas menyatakan bahwa kebijakan suku bunga saat ini sudah tepat, jangan diartikan The Fed membuka peluang untuk mengubahnya. 

Sentimen ini menjadi suntikan adrenalin bagi dolar AS. Belum adanya penurunan suku bunga acuan, setidaknya dalam waktu dekat, masih akan membuat berinvestasi di dolar AS cukup menguntungkan. 

Dari dalam negeri, rilis data inflasi malah menjadi pemberat langkah IHSG dkk. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi April sebesar 0,44% month-on-month (MoM) dan 2,83% year-on-year (YoY). Di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 0,3% MoM dan 2,665% YoY. 


Data ini menunjukkan tekanan inflasi membesar, dan belum masuk masa Ramadan. April saja inflasi sudah terakselerasi, bagaimana Mei yang sudah masuk Ramadan? 

Jika inflasi terlalu tinggi, maka ada kekhawatiran akan memperlambat daya beli dan konsumsi rumah tangga. Akibatnya prospek pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 menjadi penuh tanda tanya, dan itu membuat investor kurang nyaman. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Seakan latah mengikuti Asia, bursa saham AS pun berakhir di zona merah. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,46%, S&P 500 melemah 0,21%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,16%. 

Sepertinya dampak dari pernyataan Powell hari sebelumnya masih terasa di Wall Street. Sekarang investor mulai cemas, karena suku bunga acuan tidak hanya berpotensi tetap dipertahankan tetapi malah ada kemungkinan naik. 

"Pernyataan Powell membuat kenaikan suku bunga acuan sebagai sesuatu yang mungkin saja bisa terwujud. Jadi arah kebijakan suku bunga bukan hanya turun, tetapi bisa naik juga," tegas Brian Battle, Director Trading di Performance Trust Capital Partners yang berbasis di Chicago, mengutip Reuters. 

"Investor yang rasional rasanya tidak memperkirakan suku bunga acuan turun dalam waktu dekat," tambah Kim Forrest, Chief Investment Officer di Bokeh Capital Partners yang berbasis di Pittsburgh, dikutip dari Reuters. 

Saham adalah instrumen yang kurang bekerja optimal di lingkungan suku bunga cenderung tinggi. Sebab kala suku bunga tinggi, investor tentu lebih memilih aset berpendapatan tetap seperti obligasi. Saat suku bunga tinggi, maka imbalan di obligasi juga pasti menarik. 


Selain itu, koreksi di bursa saham New York juga disebabkan oleh amblasnya harga minyak dunia. Pada pukul 03:52 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet turun masing-masing 2,49% dan 3,19%. 

Lagi-lagi persepsi pasokan yang berlimpah membuat harga si emas hitam terkoreksi. Genscape, lembaga riset energi di AS, memperkirakan bahwa inventori minyak di Negeri Adidaya pada pekan yang berakhir 30 April naik 1,95 juta barel. 

Kemudian, pasokan minyak di Eropa juga sudah lancar. Sejumlah negara Eropa Timur seperti Belarusia dan Polandia sudah kembali menerima kiriman minyak dari jalur Druzhba milik Rusia. Sebelumnya, pasokan dari pipa ini sempat terhenti karena terjadi kontaminasi tetapi sekarang masalah tersebut sudah teratasi. 

Ambrolnya harga minyak membuat indeks saham energi di S&P 500 jatuh 1,66, paling dalam di antara sektor-sektor lainnya. Harga saham Exxon Mobil turun 1,75% sementara Chevron melemah 1,21%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah dinamika di Wall Street yang kurang menggembirakan. Takutnya pelaku pasar di Asia sudah bad mood terlebih dulu melihat angka merah di Wall Street sehingga menjadi kurang bergairah. 

Sentimen kedua, investor juga masih perlu memantau pergerakan dolar AS. Pada pukul 04:02 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,16%. 

Seperti kemarin, suntikan 'serum super soldier' dari The Fed masih membuat dolar AS perkasa bak Captain America. Jika khasiat serum ini masih bertahan sampai perdagangan di pasar keuangan Asia dimulai, maka bisa menjadi alamat buruk bagi rupiah. 

Di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF), pelemahan rupiah sudah terlihat. Ini bisa menjad gambaran bagaimana rupiah diperdagangkan di pasar spot nanti, meski masih agak terlalu dini. 

PeriodeKurs 2 Mei (16:00 WIB)Kurs 2 Mei (04:00 WIB)
1 PekanRp 14.250Rp 14.268
1 BulanRp 14.322Rp 14.336
2 BulanRp 14.372Rp 14.396
3 BulanRp 14.455Rp 14.466
6 BulanRp 14.650Rp 14.662
9 BulanRp 14.842Rp 14.849
1 TahunRp 15.038Rp 14.030
2 TahunRp 15.790Rp 15.670
 
Namun, rupiah boleh berharap pada sentimen ketiga yaitu penurunan harga minyak. Bagi Indonesia, koreksi harga minyak bisa menjadi anugerah. 

Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Saat harga minyak turun, maka biaya impor komoditas ini bisa dikurangi. 

Artinya, tekanan di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) pun mereda. Rupiah yang punya modal devisa lebih banyak tentu punya ruang untuk menguat. 

Sentimen keempat juga bisa menjadi angin segar bagi pasar keuangan Asia, yaitu terkait dialog dagang AS-China yang sedang berlangsung di Washington. Reuters mengabarkan, China sudah sepakat untuk memberi akses pasar yang lebih besar kepada AS di bidang komputasi awan (cloud computing).  

"Kami berharap akan ada pembukaan akses pasar yang lebih luas dari sebelumnya yaitu hanya pilot project," ungkap Myron Brilliant, Wakil Presiden Eksekutif Kamar Dagang AS. 

Sejauh ini perundingan dagang Washington-Beijing berjalan di jalur yang benar. Perlahan tetapi pasti, jalan menuju damai dagang AS-China semakin terbuka. Jika seluruh kepingan puzzle sudah terpasang, maka tinggal Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bertemu untuk meneken dokumen kesepakatan damai dagang. 

Ini tentu bisa menjadi kabar gembira bagi investor di pasar keuangan Asia, dan tentu saja seluruh dunia. Kala AS dan China sudah baikan, maka arus perdagangan dan rantai pasok tidak lagi terganggu sehingga prospek pertumbuhan ekonomi global akan lebih cerah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data tingkat inflasi Zona Euro periode April (16:00 WIB).
  • Rilis indeks harga produsen  Zona Euro (16:00 WIB).
  • Rilis data penciptaan lapangan kerja non-pertanian AS periode April (19:30 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran AS periode April (19:30 WIB).
  • Rilis data rata-rata upah tenaga kerja per jam  AS periode April (19:30 WIB).
  • Rilis Purchasing Manager's Index (PMI) non-manufaktur AS periode April versi ISM (21:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (April 2019 YoY)2,83%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Maret 2019)US$ 124,54 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular