Newsletter

Perang Dagang Saja Bikin Pusing, Apalagi Perang Sungguhan!

Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 March 2019 06:11
Perang Dagang Saja Bikin Pusing, Apalagi Perang Sungguhan!
Ilustrasi Perdagangan Saham (CNBC Indonesia/M Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak menguat pada perdagangan pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah sama-sama bergerak ke utara. 

Sepanjang pekan lalu, IHSG melesat dengan penguatan 1,22%. Meski penguatannya signifikan, tetapi kenaikan IHSG masih kalah dibandingkan indeks saham utama Asia lainnya seperti Nikkei 225 (1,84%), Hang Seng (2,78%), Shanghai Composite (1,75%), atau Kospi (1,81%). 


Sementara diam-diam rupiah berhasil terapresiasi 0,35% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan lalu. Dolar AS berhasil diturunkan ke bawah Rp 14.300. 


Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun amblas 15,6 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda bahwa harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. 


Pasar keuangan Indonesia berhasil bangkit karena sepekan sebelumnya tertekan lumayan dalam. Oleh karena itu, peluang untuk rebound menjadi lebih terbuka. 

Dari dalam negeri, rilis data neraca perdagangan Februari 2019 membawa harapan. Akhir pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Februari surplus US$ 330 juta.  


Artinya, ada peluang transaksi berjalan pada kuartal I-2019 akan membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang defisit 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rupiah akan punya fondasi yang lebih kuat, sehingga relatif tidak mudah 'digoyang'. Aset-aset berbasis mata uang ini pun kembali diminati. 

Selain itu, sentimen eksternal juga relatif mendukung penguatan IHSG cs. Dalam pidato di sidang tahunan parlemen China, Perdana Menteri Li Keqiang menegaskan pemerintah akan menerapkan aturan baru mengenai investasi. 

Dalam aturan tersebut, China berkomitmen untuk melindungi investasi (termasuk asing) dan tidak akan mewajibkan transfer teknologi. Proses dan pelaksanaan investasi akan dibuat transparan sehingga menciptakan iklim yang nyaman bagi dunia usaha. Aturan ini sudah disahkan oleh parlemen dan mulai berlaku pada 1 Januari 2020. 

Isu mengenai pemaksaan transfer teknologi ini sering dikeluhkan oleh Presiden AS Donald Trump. Bahkan Trump menyebutnya sebagai pelanggaran atas hak kekayaan intelektual. 

Dengan aturan baru ini, China seperti berusaha meyakinkan AS dan dunia bahwa reformasi ekonomi di Negeri Tirai Bambu terus berjalan. China berjanji akan lebih membuka perekonomiannya kepada dunia. 

"Tidak ada alasan China tidak mau terbuka, ini adalah kebijakan mendasar. Jika kita memiliki aturan mengenai keterbukaan, maka pasti akan dijalankan," tegas Li, mengutip Reuters. 

Jacob Parker, Wakil Presiden US-China Business Council, mengapresiasi langkah Beijing tersebut. "Aturan ini akan menjatuhkan hukuman pidana terhadap penyebaran informasi sensitif milik perusahaan asing, menindak tegas pemalsuan, dan melarang pencurian hak atas kekayaan intelektual," kata Parker, juga mengutip Reuters. 

Aturan ini bisa menjadi jalan menuju damai dagang AS-China, sesuatu yang menjadi harapan dunia. Ketika AS-China sudah tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan dan rantai pasok global akan kembali semarak. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup menguat pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,54%, S&P 500 bertambah 0,49%, dan Nasdaq Composite menguat 0,76%. 

Bursa saham New York bergairah karena ada perkembangan positif dari pembicaraan dagang AS-China. Akhir pekan lalu, kantor berita Xinhua melaporkan bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He kembali menelepon ke Washington untuk berbicara dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. 

Menurut seorang sumber, pembicaraan tersebut berlangsung konstruktif dan ada kemajuan signifikan. Tidak dijelaskan secara rinci isi dari percakapan itu. 

Meski demikian, kabar ini saja sudah membuat investor lega bukan main. Sebab, sebelumnya pelaku pasar sudah dibuat cemas kala beredar berita pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping tidak akan terjadi pada bulan ini. Sempat ada kekhawatiran dialog Washington-Beijing buntu, seperti yang terjadi dengan perundingan AS-Korea Utara di Vietnam akhir bulan lalu. 


Selain itu, kenaikan Wall Street (utamanya DJIA) juga terbantu oleh lonjakan saham Boeing yang mencapai 1,54%. Setelah 'dihajar' akibat tragedi jatuhnya pesawat 737 MAX 8 milik Ethiopian Airlines, saham Boeing kembali dikoleksi investor setelah perseroan menyatakan bakal melakukan pembaruan perangkat lunak dalam beberapa minggu ke depan. 

Investor terlihat begitu agresif, terlihat dari volume perdagangan yang mencapai 10,8 miliar unit saham. Jauh di atas rata-rata selama 20 hari terakhir yaitu 7,5 miliar unit. 

Seperti halnya bursa saham Asia, Wall Street juga menguat signifikan sepanjang pekan lalu di mana DJIA melejit 1,6%, S&P 500 melonjak 2,9%, dan Nasdaq melambung 3,8%. S&P 500 mencetak penguatan mingguan terbaik sejak November 2018. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang memuaskan pada perdagangan akhir pekan maupun sepanjang pekan lalu. Kabar gembira dari seberang Samudera Atlantik ini diharapkan menjadi awal yang baik bagi pasar keuangan Asia menyambut pekan yang baru. 

Sentimen kedua, investor patut waspada dengan perkembangan hubungan AS-Korea Utara. Selepas perundingan tanpa hasil di Vietnam, relasi Washington-Pyongyang terlihat agak memburuk. 

Bahkan tersiar kabar bahwa Korea Utara mempertimbangkan untuk mengakhiri proses perundingan dengan AS. Mengutip Reuters, Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara Choe Son Hui menegaskan bahwa pihaknya tidak mau melanjutkan pembicaraan jika AS terus berperilaku seperti gangster. 

"Kami tidak ingin menuruti kehendak AS atau terlibat dalam negosiasi jika situasinya seperti ini. Saya ingin menegaskan bahwa sikap AS yang seperti gangster akan membuat situasi menjadi berbahaya," kata Choe. 

Bahkan, mengutip AP, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mempertimbangkan untuk mengkaji ulang kesepakatan penghentian uji coba misil. Artinya, putra Kim Jong Il itu sedang berpikir untuk kembali melakukan uji coba misil, sesuatu yang sangat dibenci oleh komunitas global terutama AS. 

Dalam dialog di Vietnam akhir Februari lalu, Kim ingin agar seluruh sanksi terhadap negaranya dicabut. Sebagai gantinya, Korea Utara bersedia untuk melucuti sebagian fasilitas pengembangan nuklir di Yongbyon. Sebagian, bukan seluruhnya. 

Tawaran Korea Utara tidak cukup memuaskan Trump, yang ingin denuklirisasi total di Negeri Juche. Akhirnya, tidak ada kesepakatan dan hubungan kedua negara justru agak memburuk. 

Jika hubungan AS-Korea Utara semakin panas, maka prospek perdamaian di Semenanjung Korea menjadi buram. Investor terpaksa harus kembali memasukkan gesekan geopolitik di kawasan tersebut ke daftar risiko yang perlu diwaspadai.  

Satu risiko bertambah, yang membuat pelaku pasar berpotensi memilih bermain aman. Tentu bukan kabar baik bagi pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga, masih terkait konflik geopolitik, adalah gesekan India-Pakistan. Sejak pertengahan Februari, hubungan New Delhi-Islamabad memburuk, dipicu oleh tragedi bom mobil di Kashmir yang menyebabkan korban jiwa 40 orang personel paramiliter India. 

Kelompok ekstremis Jaish-e-Mohammed (JeM) yang berbasis di Pakistan dituding menjadi dalang serangan ini. India pun sempat melakukan serangan udara ke wilayah Pakistan yang ditengarai menjadi basis pelatihan JeM. Tidak terima dengan serangan India, Pakistan membalas dengan menembak jatuh sejumlah pesawat tempur Negeri Anak Benua. 


Situasi bertambah runyam kala kedua negara semakin panas. Mengutip Reuters, India mengancam akan menembakkan setidaknya 6 misil ke Pakistan. Tidak mau kalah, Pakistan berjanji akan membalas serangan itu tiga kali lipat. 

"Jika Anda menembakkan 1 misil, maka kami akan menembakkan 3 misil. Apapun yang akan dilakukan India, kami akan membalasnya 3 kali lipat," tegas seorang menteri Pakistan. 

Seperti halnya di Semenanjung Korea, investor tentu cemas jika gontok-gontokan dua tetangga di Asia Selatan itu benar-benar berujung pada agresi militer. Perang dagang saja sudah bikin pusing, apalagi perang sungguhan... 

Namun, ada sentimen keempat yang bisa menjadi angin segar bagi rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini yaitu potensi pelemahan dolar AS. Rilis data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam sepertinya kurang menyokong penguatan greenback

Pada Februari, output industrial AS memang naik 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Namun angka ini di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan 0,4%, sebagaimana konsensus yang dihimpun Reuters. 

Data ini sepertinya akan mempertebal keyakinan The Federal Reserves/The Fed untuk menahan suku bunga acuan dalam rapat bulanan yang berlangsung pada Selasa-Rabu waktu setempat. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate bertahan di 2,25-2,5% mencapai 98,7%. 

Tidak hanya itu, pelaku pasar juga memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan sejawat lagi-lagi akan mengeluarkan kata "sabar" seperti bulan sebelumnya. Peluang kenaikan suku bunga acuan dalam waktu dekat, atau bahkan hingga akhir tahun, semakin kecil apabila The Fed terus bersabar. 


Ini tentu tidak menguntungkan dolar AS. Cuan dalam investasi di aset-aset berbasis greenback (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) tidak lagi menarik, sehingga ada kemungkinan mengalami tekanan jual. Jika ini terjadi, maka rupiah berpeluang untuk melanjutkan penguatan seperti pekan lalu.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini: 
  • Rilis data ekspor-impor Jepang periode Februari (08:50 WIB).
  • Rilis Indeks Pasar Perumahan AS periode Maret (21:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Februari 2019 YoY)2,57%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Februari 2019)US$ 123,27 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular