Newsletter

Cermati Brexit, Damai Dagang AS-China, Sampai Harga Minyak

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 March 2019 06:10
Cermati Brexit, Damai Dagang AS-China, Sampai Harga Minyak
Ilustrasi Perdagangan Saham (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih belum kompak pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) stagnan saja. 

Kemarin, IHSG menutup hari dengan penguatan 0,37%. Kala bursa saham utama Asia berguguran, IHSG berhasil menguat sendirian. 


Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot di Rp 14.260/US$. Tidak berubah dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Namun ini sudah lumayan, karena rupiah hampir seharian menghuni zona merah. 


Sebenarnya situasi kemarin kurang kondusif. Sentimen negatif akibat dinamika Brexit begitu dominan mewarnai pasar keuangan Asia. 

Lagi-lagi proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Inggris Theresa May kandas di voting parlemen dengan skor 391 menolak, 242 setuju. Proposal pertama sudah ditolak dalam voting 15 Januari dengan skor 432 berbanding 202.  

Hasil voting ini menyisakan pilihan sulit buat Negeri Ratu Elizabeth. Keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa (No Deal Brexit), menunda pelaksanaan Brexit yang sedianya dieksekusi pada 29 Maret, pemilu yang dipercepat dengan posisi May sebagai taruhannya, atau menggelar jajak pendapat ulang kepada warga Inggris apakah masih mau bercerai dengan Uni Eropa atau tidak.  

Nasib Brexit yang masih samar-samar bisa membuat pelaku pasar bermain aman hari ini. Ada potensi menghindari aset-aset berisiko, sehingga menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan Asia. Tidak terkecuali Indonesia. 


Lalu, mengapa IHSG berhasil menguat sendirian di antara indeks saham utama Benua Kuning? Jawabannya adalah peran investor domestik yang semakin menentukan. 

Sebenarnya investor asing terbawa suasana dengan melakukan jual bersih Rp 731,36 miliar. Namun investor domestik membukukan beli bersih Rp 731 miliar sehingga mampu menyelamatkan IHSG. 

Sejak awal tahun, nilai transaksi investor domestik di bursa saham Indonesia adalah Rp 323,4 triliun. Jumlah ini adalah 66% dari total transaksi, yang menggambarkan peran investor domestik yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir di zona hijau. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,58%, kemudian S&P 500 dan Nasdaq Composite menguat masing-masing 0,69%.    

Saham Boeing yang kemarin anjlok hari ini berhasil bangkit dengan penguatan 0,46%. Dalam 2 hari terakhir, saham emiten ini amblas 11,22% sehingga investor melihat harganya sudah murah dan kembali bernafsu memiliknya. 

Padahal sentimen negatif masih menyelimuti Boeing usai tragedi jatuhnya pesawat 737 MAX 8 milik Ethiopian Airlines. Sudah belasan negara memutuskan untuk 'mengandangkan' pesawat-pesawat Boeing, tidak boleh terbang untuk sementara, termasuk AS. 

Kemarin, anjloknya saham Boeing menyeret indeks DJIA melemah sendirian di antara dua kompatriotnya. Hari ini saham Boeing bangkit dan DJIA ikut terkerek. 

Sentimen lain yang menghijaukan Wall Street adalah rilis data inflasi di tingkat produsen (Producer Price Index/PPI). Pada Februari, PPI naik 1,9% secara year-on-year (YoY). Ini menjadi kenaikan terendah sejak Juni 2017. 

Data PPI ini senada dengan inflasi di tingkat konsumen (Consumer Price Index/CPI) yang dirilis kemarin. Pada Februari, inflasi Negeri Paman Sam tercatat 1,5% YoY, laju paling lemah sejak September 2016. 

Artinya, dunia usaha dan konsumen di Negeri Adidaya terlihat sama-sama sedang menahan diri. Dunia usaha menahan diri untuk tidak menaikkan harga berlebihan, dan konsumen menahan diri untuk tidak belanja berlebihan. 

Laju inflasi produsen dan konsumen yang 'jinak' ini akan membuat  Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) berpikir ulang untuk menaikkan suku bunga acuan. Untuk apa menaikkan suku bunga kalau tidak ada lonjakan permintaan? 

Mengutip CME Fedwatch, peluang Federal Funds Rate untuk bertahan di 2,25-2,5% sampai akhir tahun cukup besar yaitu 74,4%. Bahkan probabilitas untuk turun ke 2-2,25% juga lumayan tinggi yaitu 22,9%. 

Seberapa besar kemungkinan suku bunga acuan naik menjadi 2,5-2,75%? 0,0%. 

Saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah. Kemungkinan kenaikan suku bunga acuan yang semakin kecil membuat bursa saham New York kembali bergairah. 

Investor juga menemukan harapan kala parlemen Inggris menolak No Deal Brexit. Dalam voting, hasilnya adalah 321 berbanding 278 untuk kemenangan menolak No Deal Brexit dalam kondisi apapun. 

Hasil dari parlemen ini akan menjadi dorongan politik bagi pemerintahan PM May untuk berunding dengan Uni Eropa. Salah satu opsinya adalah menunda pelaksaan Brexit dari sedianya 29 Maret menjadi setidaknya 30 Juni. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dari Wall Street yang mencatatkan kinerja lumayan oke. Diharapkan hasil dari Wall Street bisa menjadi mood booster bagi investor di pasar keuangan Asia. 

Sentimen kedua adalah masi dinamika Brexit. Betul bahwa parlemen secara resmi menolak terjadinya No Deal Brexit dalam kondisi apapun. Betul bahwa pemerintah mencoba memundurkan waktu pelaksanaan Brexit.  

Namun, kalau tidak mau No Deal Brexit lantas Inggris maunya kesepakatan yang seperti apa? Kalau pelaksaan Brexit ditunda, apa yang akan dilakukan Inggris di extra time tersebut? 

Ini yang masih menjadi tanda tanya besar. Sebab pelaku pasar juga bingung, sebenarnya Inggris maunya apa sih?

Dibutuhkan sebuah kesepakatan yang tegas sehingga perceraian London dengan Brussel tidak menimbulkan prahara di kemudian hari. Kesepakatan itulah yang tak kunjung tercipta sampai sekarang. 

"Uni Eropa telah berupaya sebisa mungkin untuk menyusun kesepakatan. Jadi, masalah ini memang hanya bisa diselesaikan oleh Inggris sendiri," ujar Michael Barnier, Kepala Negosiator Uni Eropa untuk Brexit, mengutip Reuters. 

Proposal Brexit yang diajukan PM May yang merupakan hasil diskusi dengan Uni Eropa dua kali dimentahkan dalam voting parlemen. Ini membuat publik bertanya-tanya, sebenarnya kesepakatan seperti apa yang bisa menyenangkan Inggris. 

Uni Eropa pun sudah menutup pintu untuk renegosiasi. Ini membuat situasi semakin sulit. 

"Uni Eropa sudah melakukan segalanya. Sulit untuk melihat apa lagi yang bisa kami lakukan," tutur Donald Tusk, Presiden Dewan Uni Eropa, dikutip dari Reuters. 

Uni Eropa juga ingin Inggris bisa menjelaskan mengapa harus mengabulkan permintaan perpanjangan waktu. Sebab kalau hanya memperpanjang deadline tetapi tidak melakukan apa-apa ya percuma juga. 

"Uni Eropa akan mempertimbangkan jika Inggris meminta perpanjangan waktu. Namun 27 negara anggota juga meminta alasan yang kredibel," tegas pernyataan tertulis Uni Eropa, mengutip Reuters. 

Jadi, drama Brexit masih belum selesai. Masih ada kejutan-kejutan yang mungkin terjadi, sehingga pelaku pasar perlu mempersiapkan diri. 

Sentimen ketiga datang dari hubungan AS-China. Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa dirinya tidak akan terburu-buru untuk membuat kesepakatan dagang dengan China. Dia ingin memastikan bahwa China menjamin permintaannya selama ini yaitu perlindungan terhadap kekayaan intelektual. 

"(Perundingan) memang berjalan lancar, kita lihat saja kapan nanti tanggalnya (untuk membuat kesepakatan). Saya tidak buru-buru, akan bagus jika kita bisa mencapai kesepakatan yang baik. Kesepakatan itu harus menguntungkan kami, dan jika tidak maka kami tidak akan membuatnya. 

"Saya rasa Presiden Xi (Xi Jinping, Presiden China) tahu bahwa saya adalah tipe orang yang bisa pergi saat kesepakatan belum terjadi. Anda tahu selalu ada kemungkinan ke arah sana, dan beliau tentu tidak menginginkan itu," jelas Trump, mengutip Reuters. 

Gertakan Trump ini bisa membuat pasar cemas. Jangan-jangan Trump akan ngambek dan memilih walk-out seperti saat berdialog dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un di Vietnam akhir bulan lalu. 


Jika ini yang terjadi, maka ucapkanlah selamat tinggal kepada damai dagang AS-China. Malah bisa saja Washington dan Beijing kembali terlibat perang dagang, saling berlomba menaikkan bea masuk yang dampaknya menghambat arus perdagangan dan rantai pasok global. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen keempat adalah nilai tukar dolar AS, yang kemungkinan bakal melemah. Pada pukul 05:42 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah sampai 0,4%. 

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, laju inflasi AS yang 'santai' akan membuat The Fed belum melihat ada kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan. Berbeda dengan pasar saham, mata uang sangat diuntungkan dengan kenaikan suku bunga. Sebab, kenaikan suku bunga pada dasarnya dapat menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang tidak tergerus. 

Rupiah dkk di Asia bisa memanfaatkan tekanan yang dialami dolar AS dengan mencetak apresiasi. Apalagi setelah koreksi yang melanda sebagian besar mata uang Asia pada perdagangan kemarin, peluang untuk rebound menjadi lebih terbuka. 

Namun rupiah perlu hati-hati dengan sentimen kelima yaitu kenaikan harga minyak. Pada pukul 05:46 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melonjak masing-masing 1,48% dan 2,66%. 

Harga si emas hitam melesat setelah datang laporan dari US Energy Information Adminstration. Pekan lalu, cadangan minyak AS turun 3,9 juta barel, jauh dari perkiraan pasar yaitu naik 2,7 juta barel. 

Kemudian, investor juga mencemaskan situasi di Venezuela. Pasokan listrik yang semakin langka membuat proses produksi dan ekspor minyak negara itu terpukul. 


Kendala pasokan ini membuat harga minyak dunia bergerak ke utara alias menguat. Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah.

Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai. Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan (current account) berpotensi melebar atau semakin dalam. 

Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi. 

Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah jika masalah di transaksi berjalan tidak kunjung dipecahkan.



(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini: 
  • Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 9 Maret (19:30 WIB).
  • Rilis data penjualan rumah baru AS periode Januari (21:00 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel China periode Januari (09:00 WIB).
  • Rilis data produksi industri China periode Januari (09:00 WIB).
  • Rilis data investasi perkotaan China periode Januari (09:00 WIB).
  • Rilis data pembacaan final inflasi Jerman periode Februari (14:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Phapros Tbk (PEHA)RUPS Tahunan09:00 WIB
PT Adaro Energy Tbk (ADRO)Earnings Call16:30 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Februari 2019 YoY)2,57%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Februari 2019)US$ 123,27 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular