
Newsletter
Damai Dagang Sudah Basi atau Masih Bisa 'Dimakan' Nih?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 March 2019 05:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kompak mengalami koreksi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah semuanya melemah.
Kemarin, IHSG ditutup turun 0,18%. Padahal indeks saham utama Asia mayoritas menguat bahkan cukup signifikan, misalya Nikkei 225 (1,02%) dan Shanghai Composite (1,12%).
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah 0,11% di perdagangan pasar spot. Rupiah sudah melemah selama 4 hari beruntun dan belum kunjung bangkit.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 4,7 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena berkurangnya minat pelaku pasar atau bahkan ada aksi jual.
Padahal kemarin sejatinya menjadi periode yang indah bagi pasar keuangan Asia. Bagaimana tidak, hubungan AS-China yang pekan lalu sempat tegang kini kembali mesra.
Mengutip Wall Street Journal, beberapa sumber di lingkaran dalam pemerintah China mengungkapkan bahwa Beijing bersedia untuk menurunkan bea masuk dan mengurangi hambatan untuk masuknya produk-produk pertanian, farmasi, otomotif, dan lain-lain asal AS.
Selain itu, para sumber tersebut juga menyebutkan bahwa kesepakatan dagang AS-China akan ditandatangani pada 27 Maret. Sebagai bagian dari kesepakatan dagang, China berkomitmen untuk membeli gas alam senilai US$ 18 miliar dari Cheniere Energy yang berbasis di Houston, Texas.
Sikap China ini merupakan 'balas budi' terhadap kebijakan AS yang menunda kenaikan tarif bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Penundaan ini akan dituangkan dalam peraturan pemerintah yang terbit pada Kamis pekan ini waktu Washington.
"Kenaikan tarif tidak lagi layak untuk diterapkan mengingat perkembangan negosiasi yang berjalan sejak Desember 2018. Tarif akan tetap 10% sampai ada pemberitahuan selanjutnya," sebut keterangan tertulis kantor Perwakilan Dagang AS, mengutip Reuters.
Perkembangan ini membuat asa damai dagang AS-China kembali merekah. Damai dagang AS-China akan membawa kemakmuran bagi dunia, karena membuat arus perdagangan dan rantai pasok kembali semarak. Pertumbuhan ekonomi global pun bisa lebih baik.
Namun pasar keuangan Indonesia gagal memanfaatkan momentum tersebut karena sejumlah faktor. Pertama, ambil untung (profit taking) masih menghantui.
Maklum, IHSG sudah meroket 4,74% sejak awal tahun sementara dalam periode yang sama rupiah menguat 1,74% di hadapan dolar AS. Penguatan yang tajam ini tentu menggoda investor untuk mencairkan keuntungan.
Kedua, harga minyak bergerak naik sepanjang hari kemarin. Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa jangka panjang dari ekspor-impor barang dan jasa.
Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset berbasis rupiah yang nilainya berisiko turun.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG ditutup turun 0,18%. Padahal indeks saham utama Asia mayoritas menguat bahkan cukup signifikan, misalya Nikkei 225 (1,02%) dan Shanghai Composite (1,12%).
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah 0,11% di perdagangan pasar spot. Rupiah sudah melemah selama 4 hari beruntun dan belum kunjung bangkit.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 4,7 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena berkurangnya minat pelaku pasar atau bahkan ada aksi jual.
Padahal kemarin sejatinya menjadi periode yang indah bagi pasar keuangan Asia. Bagaimana tidak, hubungan AS-China yang pekan lalu sempat tegang kini kembali mesra.
Mengutip Wall Street Journal, beberapa sumber di lingkaran dalam pemerintah China mengungkapkan bahwa Beijing bersedia untuk menurunkan bea masuk dan mengurangi hambatan untuk masuknya produk-produk pertanian, farmasi, otomotif, dan lain-lain asal AS.
Selain itu, para sumber tersebut juga menyebutkan bahwa kesepakatan dagang AS-China akan ditandatangani pada 27 Maret. Sebagai bagian dari kesepakatan dagang, China berkomitmen untuk membeli gas alam senilai US$ 18 miliar dari Cheniere Energy yang berbasis di Houston, Texas.
Sikap China ini merupakan 'balas budi' terhadap kebijakan AS yang menunda kenaikan tarif bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Penundaan ini akan dituangkan dalam peraturan pemerintah yang terbit pada Kamis pekan ini waktu Washington.
"Kenaikan tarif tidak lagi layak untuk diterapkan mengingat perkembangan negosiasi yang berjalan sejak Desember 2018. Tarif akan tetap 10% sampai ada pemberitahuan selanjutnya," sebut keterangan tertulis kantor Perwakilan Dagang AS, mengutip Reuters.
Perkembangan ini membuat asa damai dagang AS-China kembali merekah. Damai dagang AS-China akan membawa kemakmuran bagi dunia, karena membuat arus perdagangan dan rantai pasok kembali semarak. Pertumbuhan ekonomi global pun bisa lebih baik.
Namun pasar keuangan Indonesia gagal memanfaatkan momentum tersebut karena sejumlah faktor. Pertama, ambil untung (profit taking) masih menghantui.
Maklum, IHSG sudah meroket 4,74% sejak awal tahun sementara dalam periode yang sama rupiah menguat 1,74% di hadapan dolar AS. Penguatan yang tajam ini tentu menggoda investor untuk mencairkan keuntungan.
Kedua, harga minyak bergerak naik sepanjang hari kemarin. Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa jangka panjang dari ekspor-impor barang dan jasa.
Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset berbasis rupiah yang nilainya berisiko turun.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular