Apes, Rupiah Melemah 4 Hari Beruntun Plus Terlemah di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 March 2019 16:49
Apes, Rupiah Melemah 4 Hari Beruntun Plus Terlemah di Asia
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Arie Pratama)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah melemah seharian, meski sempat beberapa kali nyaris menguat. Nyaris... 

Pada Senin (4/3/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.125 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Mata uang Tanah Air melemah sepanjang hari. Namun rupiah beberapa kali termakan harapan palsu. Pelemahan rupiah sempat menipis lumayan signifikan, sampai hampir habis dan siap menguat. Namun ternyata itu tidak pernah terjadi. 


Depresiasi rupiah hari ini membuat mata uang Tanah Air melemah selama 4 hari beruntun. Ini menjadi rantai pelemahan terpanjang sejak awal Oktober 2018. 

Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.110/US$ dan terlemahnya adalah Rp 14.150/US$. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 



Sayang sekali rupiah gagal memanfaatkan situasi dolar AS yang sebenarnya tertekan di Asia. Ya, mayoritas mata uang utama Benua Kuning mampu menguat di hadapan greenback. Hebatnya lagi, rupee India yang sempat menjadi mata uang terlemah di Asia berbalik menjadi yang terbaik. 

Selain rupiah, hanya dolar Hong Kong, ringgit Malaysia, dan baht Thailand yang masih berkutat di zona merah. Dengan pelemahan 0,11%, rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia. 


Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang Asia pada pukul 16:17 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rupiah terbeban sentimen domestik dan eksternal. Dari dalam negeri, sepertinya investor melihat peluang untuk melepas aset-aset berbasis rupiah karena arah kebijakan Bank Indonesia (BI) yang terlihat kian dovish

Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengungkapkan bank sentral membuka peluang menuurnkan suku bunga. Syaratnya, stabilitas perekonomian domestik harus terjaga.

"Ke depan arah suku bunga akan lebih turun, kalau stabilitas ini kita jaga. Suku bunga sudah hampir mencapai puncaknya," kata Perry Warijiyo, Gubernur BI, dalam acara CNBC Indonesia Outlook 2019, pekan lalu. 

Apalagi laju inflasi domestik masih sangat 'santai'. Pada Februari 2019, terjadi deflasi 0,08% secara month-on-month dan inflasi 2,57% year-on-year (YoY). Laju inflasi tahunan bulan lalu menjadi yang paling lambat sejak November 2009 alias nyaris 10 tahun. 

Situasi tersebut membuat BI semakin tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga acuan. Oleh karena itu, prospek cuan berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (terutama di instrumen berpendapatan tetap) agak suram. 

Sementara The Federal Reserves/The Fed, Bank Sentral AS, malah sepertinya semakin mungkin untuk menaikkan suku bunga acuan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate naik 25 basis poin (bps) ke 2,5-2,75% pada akhir 2019 adalah 11%. Perlahan tapi pasti, probabilitas kenaikan suku bunga acuan semakin meningkat. 

Salah satu pemicunya adalah potensi damai dagang AS-China. Saat AS-China sudah berdamai, tidak lagi saling hambat, maka ekspor dan investasi Negeri Paman Sam akan lebih baik. Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi AS bakal lebih tinggi. 

Saat ekonomi Negeri Adidaya melaju lebih kencang, maka The Fed akan campur tangan agar tidak terjadi overheating. Kenaikan suku bunga acuan kemungkinan kembali dieksekusi untuk mengendalikan laju pertumbuhan ekonomi AS. 

Melawan The Fed yang kemungkinan masih akan menaikkan suku bunga acuan (meski tidak dalam waktu dekat), rupiah tentu kesulitan melawan dolar AS. Greenback lebih bisa menghasilkan keuntungan karena ada kenaikan Federal Funds Rate. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari sisi eksternal, rupiah tampaknya terbeban kenaikan harga minyak. Pada pukul 16:32 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,95% dan light sweet bertambah 0,84%. 

Kenaikan harga minyak bukan berita bahagia buat rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia mau tidak mau harus mengimpor karena produksi tidak mencukupi. 

Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa yang lebih jangka panjang ketimbang portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik. 

Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset yang nilainya berisiko turun. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular