Polling CNBC Indonesia

Konsensus Pasar: BI Diramal Tahan Bunga Acuan Bulan Ini

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 February 2019 06:49
Konsensus Pasar: BI Diramal Tahan Bunga Acuan Bulan Ini
Ilustrasi Gedung Bank Indonesia (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan kembali menahan suku bunga acuan di 6% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini. Memang sepertinya belum ada urgensi bagi Gubernur Perry Warjiyo dan kolega untuk mengubah BI 7 Day Reverse Repo Rate. 

RDG BI edisi Februari 2019 akan dihelat pada 20-21 Februari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia secara aklamasi memperkirakan BI masih akan mempertahankan suku bunga acuan. Sebanyak 13 ekonom yang terlibat dalam pembentukan konsensus sepakat akan hal itu, tidak ada dissenting opinion. 

InstitusiBI 7 Day Reverse Repo Rate (%)
BTN6
Bank Permata6
ING6
Barclays6
Moody's Analytics6
Danareksa Research Institute6
CIMB Niaga6
Bahana Sekuritas6
Bank Danamon6
UOB6
Maybank Indonesia6
Standard Chartered6
Mirae Asset6
 
Jika keputusan BI sesuai dengan ekspektasi, maka suku bunga acuan sudah berada di angka 6% selama 4 bulan. Ini akan menjadi rekor terlama suku bunga dipertahankan sejak periode September 2017-April 2018. 

 

Bulan ini, memang belum ada kebutuhan yang mendesak untuk menaikkan (apalagi menurunkan) suku bunga acuan. Pertama, nilai tukar rupiah bergerak cenderung menguat. 

Sejak awal tahun hingga kemarin, rupiah menguat 1,93% terhadap dolar AS. Bahkan rupiah menjadi salah satu mata uang dengan penguatan terbaik di dunia. 




Salah satu tujuan BI mengerek suku bunga acuan sampai 175 basis poin (bps) tahun lalu adalah untuk membuat pasar keuangan Indonesia tetap atraktif, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbal hasil obligasi, sehingga menarik arus modal yang dapat memperkuat nilai tukar. 

Namun dengan suku bunga acuan yang sekarang pun pasar obligasi Indonesia tetap menarik terutama di mata investor asing. Sejak awal tahun hingga 15 Februari, kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah bertambah Rp 38,35 triliun. 


Artinya syarat menaikkan suku bunga acuan demi membuat pasar keuangan Indonesia kembali menarik tidak terpenuhi. Sebab dengan suku bunga 6% investor sudah mau menanamkan modalnya di Indonesia yang membuat rupiah terapresiasi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kedua, belum ada tekanan inflasi yang membuat BI terpaksa harus menaikkan suku bunga. Salah satu dampak kenaikan suku bunga adalah mengerem ekspektasi inflasi dan ini tampaknya belum dibutuhkan, setidaknya dalam waktu dekat. 

Inflasi domestik sepertinya belum menjadi isu yang mencemaskan bagi Indonesia. Pada Januari, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sebesar 2,82% year-on-year (YoY), laju paling lambat sejak Agustus 2016.  

 

Bahkan ada peluang laju inflasi melambat karena penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Tidak hanya Pertamax Series, harga BBM jenis Premium di Jakarta, Madura, dan Bali pun turun Rp 100/liter menjadi Rp 6.450/liter. 


Dalam keranjang Indeks Harga Konsumen (IHK), BBM punya peranan yang signifikan. Bobotnya hanya kalah dari beras. Oleh karena itu, penurunan harga BBM sudah pasti membuat laju inflasi semakin tertahan. 

Gugur lagi satu alasan untuk menaikkan suku bunga acuan yaitu demi menjangkar ekspektasi inflasi. Sebab, ekspektasi inflasi otomatis akan melambat karena penurunan harga BBM. 

Ketiga, pertumbuhan kredit perbankan patut menjadi perhatian. Pada Desember 2018, penyaluran kredit tumbuh 12,9% YoY. Lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yaitu 12,05% YoY. 

 

Pertumbuhan kredit yang membaik ini perlu dijaga. Jika BI menaikkan suku bunga acuan, maka kemungkinan suku bunga kredit perbankan akan ikut naik sehingga pertumbuhan kredit bisa melempem lagi. 

Penyaluran kredit perbankan adalah 'darah' yang penting bagi perekonomian. Jika suku bunga kredit naik, maka dunia usaha dan masyarakat umum akan menunda ekspansinya sehingga berdampak ke pertumbuhan investasi dan konsumsi rumah tangga. Ketika dua pos ini melambat, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pasti terseret melambat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Meski bulan ini BI kemungkinan masih menahan suku bunga acuan, tetapi bukan berarti siklus kenaikan sudah berhenti. Gubernur Perry beberapa waktu lalu pernah menyampaikan bahwa suku bunga acuan sudah mendekati titik puncaknya. 


Kalimat ini bisa diartikan BI mungkin akan memperlambat kecepatan kenaikan suku bunga acuan, bukan sama sekali menghentikannya. Masih ada kemungkinan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate, meski mungkin tidak dalam waktu dekat. 

Pasalnya, ada satu hal yang menjadi pertimbangan besar yaitu defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Bahkan saat ini bisa dibilang kebijakan moneter BI bukan lagi diarahkan untuk mengendalikan inflasi, tetapi meredam defisit transaksi berjalan. Current account driven monetary policy, bukan lagi inflationary driven monetary policy

Indonesia masih mengidap 'penyakit' defisit transaksi berjalan karena impor selalu naik tatkala ekonomi tumbuh. Sebab, industri dalam negeri belum mampu memenuhi kenaikan permintaan baik itu bahan baku, barang modal, sampai barang konsumsi. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus ada impor agar kebutuhan terpenuhi. 



Kala impor naik, maka defisit transaksi berjalan bakal ikut membengkak. Padahal transaksi berjalan adalah fondasi utama nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa yang berjangka panjang (sustainable) dibandingkan yang datang dari portofolio di pasar keuangan. 


Nah, cara untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan adalah mengurangi impor. Untuk mengurangi impor, langkah yang paling bisa ditempuh saat ini (meski menyakitkan) adalah memperlambat permintaan. Investasi dan konsumsi harus direm, artinya pertumbuhan ekonomi agak diperlambat. Pahit bukan? 

Bagaimana cara menekan pertumbuhan ekonomi? Ya menaikkan suku bunga. Seperti yang sudah disinggung, kenaikan suku bunga akan membuat dunia usaha dan konsumen mengerem ekspansi yang otomatis memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. 

Jadi selama Indonesia masih dihantui oleh defisit transaksi berjalan yang membuat rupiah rentan 'digoyang', maka peluang kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan selalu ada. Apalagi kalau BI masih memegang teguh prinsip current account driven monetary policy

Waspadalah, waspadalah!


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular