Salut! Rupiah Masuk 10 Besar Mata Uang Terbaik Dunia!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 February 2019 14:04
Salut! Rupiah Masuk 10 Besar Mata Uang Terbaik Dunia!
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Sejak awal tahun, performa rupiah cukup ciamik dan menjadi salah satu mata uang terkuat di dunia. 

Pada Senin (18/2/2019) pukul 13:00 WIB, US$ dibanderol Rp 14.090. Rupiah menguat 0,35% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Penguatan rupiah tidak hanya terjadi hari ini. Mata uang Tanah Air cenderung menguat terhadap dolar AS sejak awal tahun. 

Hingga kemarin, rupiah menguat 2,1% dibandingkan posisi awal 2019. Penguatan ini membanggakan karena pada periode yang sama tahun lalu, rupiah cuma menguat 0,05%.  

Sejauh ini semua berjalan baik buat rupiah. Boleh dibilang rupiah bisa mulai melupakan mimpi buruk 2018, di mana rupiah melemah hingga sekitar 5% dan menjadi mata uang terlemah kedua di Asia. 

Kini posisi rupiah tidak lagi di peringkat kedua terbawah, tetapi benar-benar kedua dari atas alias runner-up. Di level Asia, penguatan rupiah hanya kalah dari baht Thailand yang terapresiasi 3,2%. 

Sementara di tingkat dunia, rupiah menempati ranking 6. Rupiah yang tahun lalu merana, kini berubah menjadi salah satu mata uang terbaik dunia.  

Berikut perubahan mata uang utama dunia terhadap dolar AS sejak awal tahun: 





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Apa yang membuat rupiah bisa bangkit, setidaknya jelang 2 bulan awal 2019? Pertama, rupiah memang sudah melemah cukup lama dan dalam pada 2018. Oleh karena itu, rupiah punya lebih banyak kesempatan untuk mencetak technical rebound

Berbagai lembaga keuangan internasional sudah memprediksi bahwa 2019 akan menjadi tahun kebangkitan rupiah. Salah satunya adalah Morgan Stanley.  

Dalam kajian yang dirilis awal Januari 2019, Morgan Stanley menaikkan bobot pasar saham Indonesia dari underweight menjadi overweight karena memang pelemahannya sudah lumayan dalam. Akibatnya, arus modal asing begitu deras masuk ke pasar saham Indonesia dan menopang penguatan rupiah. 

Sejak awal tahun, investor asing sudah membukukan beli bersih Rp 10,96 triliun. Sepanjang 2018, investor asing melakukan jual besih Rp 50,75 triliun. 

Ternyata tidak hanya di pasar saham, investor asing pun berkerumun di obligasi pemerintah. Sejak awal tahun hingga 14 Februari, kepemilikan investor asing di surat utang pemerintah naik Rp 35,47 triliun. Ditopang arus modal yang begitu deras, rupiah pun tidak punya pilihan selain menguat.  

Tidak hanya faktor domestik, situasi eksternal pun mendukung penguatan rupiah. Terutama karena The Federal Reserves/The Fed kemungkinan besar tidak menaikkan suku bunga acuan seagresif tahun lalu yang sampai empat kali. 

Sampai saat ini, dot plot The Fed masih menargetkan suku bunga acuan pada akhir 2019 ada di media 2,8%. Saat ini Federal Funds Rate berada di median 2,375% sehingga setidaknya butuh dua kali kenaikan untuk mencapai target itu. Meski masih ada peluang untuk naik, tapi tidak sebanyak tahun lalu. 

Perkembangan teranyar, bahkan ada kemungkinan Jerome 'Jay' Powell dan kolega tidak akan menaikkan suku bunga acuan. Hal tersebut diungkapkan oleh Presiden The Fed San Francisco Mary Daly. 

Dalam wawancara dengan Wall Street Journal akhir pekan lalu, Daly mengungkapkan bank sentral bisa saja tidak menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Syaratnya adalah jika ekonomi AS melambat sehingga tekanan inflasi menjadi minimal. 

"Jika ekonomi tumbuh, misalnya, 2% dan laju inflasi 1,9% dan tidak ada sinyal (tekanan harga) semakin besar, maka saya rasa belum saatnya menaikkan suku bunga (tahun ini)," kata Daly dalam wawancara dengan Wall Street Journal. 

Nada The Fed yang semakin kalem alias dovish tentu tidak menguntungkan bagi dolar AS. Tanpa pemanis dari kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Faktor domestik dan eksternal yang suportif membuat rupiah perkasa. Namun rupiah masih punya sebuah tantangan besar bernama defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).  

Ada kemungkinan defisit transaksi berjalan Indonesia akan tetap lebar pada 2019. Pasalnya, harga minyak masih terus bertahan di jalur pendakian. 

Pada pukul 13:40 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,51% dan light sweet bertambah 0,76%. Dalam sebulan terakhir, harga brent melonjak 6,41% dan light sweet terdongkrak 4,38%. 

 

Indonesia adalah negara net importir migas, dan kenaikan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini membengkak. Walau impor makin mahal, mau tidak mau harus dilakukan karena produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan. 

Ini tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan. Padahal transaksi berjalan adalah fondasi utama nilai tukar, karena menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih bertahan lama (sustainable). Tidak seperti hot money di pasar keuangan (yang menjadi penopang penguatan rupiah saat ini) yang bisa datag dan pergi dalam hitungan detik. 

Apabila transaksi berjalan masih defisit, apalagi defisitnya berpotensi semakin lebar, maka rupiah akan selalu dibayangi oleh risiko pelemahan. Jadi jangan senang dulu dengan penguatan rupiah yang sekarang, karena hantu depresiasi masih bergentayangan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular