
Salut! Rupiah Masuk 10 Besar Mata Uang Terbaik Dunia!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 February 2019 14:04

Apa yang membuat rupiah bisa bangkit, setidaknya jelang 2 bulan awal 2019? Pertama, rupiah memang sudah melemah cukup lama dan dalam pada 2018. Oleh karena itu, rupiah punya lebih banyak kesempatan untuk mencetak technical rebound.
Berbagai lembaga keuangan internasional sudah memprediksi bahwa 2019 akan menjadi tahun kebangkitan rupiah. Salah satunya adalah Morgan Stanley.
Dalam kajian yang dirilis awal Januari 2019, Morgan Stanley menaikkan bobot pasar saham Indonesia dari underweight menjadi overweight karena memang pelemahannya sudah lumayan dalam. Akibatnya, arus modal asing begitu deras masuk ke pasar saham Indonesia dan menopang penguatan rupiah.
Sejak awal tahun, investor asing sudah membukukan beli bersih Rp 10,96 triliun. Sepanjang 2018, investor asing melakukan jual besih Rp 50,75 triliun.
Ternyata tidak hanya di pasar saham, investor asing pun berkerumun di obligasi pemerintah. Sejak awal tahun hingga 14 Februari, kepemilikan investor asing di surat utang pemerintah naik Rp 35,47 triliun. Ditopang arus modal yang begitu deras, rupiah pun tidak punya pilihan selain menguat.
Tidak hanya faktor domestik, situasi eksternal pun mendukung penguatan rupiah. Terutama karena The Federal Reserves/The Fed kemungkinan besar tidak menaikkan suku bunga acuan seagresif tahun lalu yang sampai empat kali.
Sampai saat ini, dot plot The Fed masih menargetkan suku bunga acuan pada akhir 2019 ada di media 2,8%. Saat ini Federal Funds Rate berada di median 2,375% sehingga setidaknya butuh dua kali kenaikan untuk mencapai target itu. Meski masih ada peluang untuk naik, tapi tidak sebanyak tahun lalu.
Perkembangan teranyar, bahkan ada kemungkinan Jerome 'Jay' Powell dan kolega tidak akan menaikkan suku bunga acuan. Hal tersebut diungkapkan oleh Presiden The Fed San Francisco Mary Daly.
Dalam wawancara dengan Wall Street Journal akhir pekan lalu, Daly mengungkapkan bank sentral bisa saja tidak menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Syaratnya adalah jika ekonomi AS melambat sehingga tekanan inflasi menjadi minimal.
"Jika ekonomi tumbuh, misalnya, 2% dan laju inflasi 1,9% dan tidak ada sinyal (tekanan harga) semakin besar, maka saya rasa belum saatnya menaikkan suku bunga (tahun ini)," kata Daly dalam wawancara dengan Wall Street Journal.
Nada The Fed yang semakin kalem alias dovish tentu tidak menguntungkan bagi dolar AS. Tanpa pemanis dari kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Berbagai lembaga keuangan internasional sudah memprediksi bahwa 2019 akan menjadi tahun kebangkitan rupiah. Salah satunya adalah Morgan Stanley.
Dalam kajian yang dirilis awal Januari 2019, Morgan Stanley menaikkan bobot pasar saham Indonesia dari underweight menjadi overweight karena memang pelemahannya sudah lumayan dalam. Akibatnya, arus modal asing begitu deras masuk ke pasar saham Indonesia dan menopang penguatan rupiah.
Ternyata tidak hanya di pasar saham, investor asing pun berkerumun di obligasi pemerintah. Sejak awal tahun hingga 14 Februari, kepemilikan investor asing di surat utang pemerintah naik Rp 35,47 triliun. Ditopang arus modal yang begitu deras, rupiah pun tidak punya pilihan selain menguat.
Tidak hanya faktor domestik, situasi eksternal pun mendukung penguatan rupiah. Terutama karena The Federal Reserves/The Fed kemungkinan besar tidak menaikkan suku bunga acuan seagresif tahun lalu yang sampai empat kali.
Sampai saat ini, dot plot The Fed masih menargetkan suku bunga acuan pada akhir 2019 ada di media 2,8%. Saat ini Federal Funds Rate berada di median 2,375% sehingga setidaknya butuh dua kali kenaikan untuk mencapai target itu. Meski masih ada peluang untuk naik, tapi tidak sebanyak tahun lalu.
Perkembangan teranyar, bahkan ada kemungkinan Jerome 'Jay' Powell dan kolega tidak akan menaikkan suku bunga acuan. Hal tersebut diungkapkan oleh Presiden The Fed San Francisco Mary Daly.
Dalam wawancara dengan Wall Street Journal akhir pekan lalu, Daly mengungkapkan bank sentral bisa saja tidak menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Syaratnya adalah jika ekonomi AS melambat sehingga tekanan inflasi menjadi minimal.
"Jika ekonomi tumbuh, misalnya, 2% dan laju inflasi 1,9% dan tidak ada sinyal (tekanan harga) semakin besar, maka saya rasa belum saatnya menaikkan suku bunga (tahun ini)," kata Daly dalam wawancara dengan Wall Street Journal.
Nada The Fed yang semakin kalem alias dovish tentu tidak menguntungkan bagi dolar AS. Tanpa pemanis dari kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
Rupiah Tak Boleh Lengah!
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular