
Newsletter
Awas, Kepala Naga Sudah Mulai Terjun ke Air!
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
21 January 2019 05:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif sepanjang pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu perkasa, tetapi nilai tukar rupiah dan harga Surat Berharga Negara (SBN) justru melemah.
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 1,33% secara point-to-point. IHSG bergerak searah dengan bursa saham Asia yang juga perkasa. Indeks Nikkei 225 naik 1,2%, Hang Seng melesat 1,6%, Shanghai Composite melejit 1,7%, Kospi meroket 2,3%, dan Straits Times bertambah 0,8%.
Sementara rupiah melemah 0,92% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang minggu kemarin. Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Benua Kuning pun melemah seperti yen Jepang (-1,12%), yuan China (-0,25%), won Korea Selatan (0,7%), atau dolar Singapura (0.43%).
Sedangkan imbal hasil (yield) SBN seri acuan tenor 10 tahun melesat 12,8 basis poin (bps) dan kembali ke kisaran 8%, tertinggi sejak 18 Desember 2018. Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena aksi jual pelaku pasar.
Sentimen yang tercipta sepanjang pekan lalu memang agak aneh, di mana hawa positif dan negatif seakan datang bersamaan. Aura positif datang dari China, ditunjukkan dengan komitmen pemerintah dan Bank Sentral Negeri Tirai Bambu (PBoC) yang siap menggelontorkan stimulus untuk menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak mengalami hard landing.
Stimulus ini direspons positif oleh pasar, karena diharapkan mampu membuat perekonomian China tetap bergeliat. Dengan begitu, perekonomian Asia dan dunia pun bisa semarak.
Masih dari China, kabar gembira juga datang dari rencana kedatangan Wakil Perdana Menteri Liu ke ke Washington pada 30-31 Januari mendatang. Liu berencana bertemu dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.
Mengutip Washington Post, beberapa sumber mengungkapkan bahwa AS siap menghapus bea masuk bagi berbagai produk-produk impor made in China. Meski kabar ini dibantah oleh kantor Lighthizer, tetapi sudah terlanjur 'dimakan' oleh pelaku pasar.
Dua sentimen ini membuat aset-aset berisiko seperti saham menjadi incaran utama. Tidak ada lagi istilah bermain aman, sehingga bursa saham negara-negara Asia menguat tajam akibat derasnya arus modal.
Aliran modal yang terkonsentrasi ke pasar saham memakan 'tumbal' instrumen konservatif seperti obligasi dan mata uang. Dampaknya sampai ke Indonesia, dengan wujud pelemahan rupiah dan pasar SBN.
Selain itu, pelaku pasar juga mencemaskan sentimen negatif yaitu perkembangan di Inggris terkait Brexit. Sepertinya Perdana Menteri Inggris Theresa May dan Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn belum bisa damai, belum bisa duduk bersama untuk menyelesaikan masalah.
Mengutip Reuters, Corbyn menegaskan bahwa May tidak mampu membawa Inggris menghindari 'jurang' sehingga politisi Partai Konservatif itu harus mundur. Namun di sisi lain, Corbyn juga tidak ingin terjadi No Deal Brexit (Inggris tidak mendapatkan kompensasi apa-apa). Dia ingin semua masalah diselesaikan sebelum 29 Maret.
Menurut May, posisi Corbyn yang ingin agar dirinya mundur tetapi tidak mau No Deal Brexit adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu, May mengajak Corbyn untuk berdialog, bekerja bersama untuk merumuskan solusi.
Kegaduhan di London yang masih terus terjadi membuat nasib Brexit menjadi samar-samar. Belum jelas arahnya mau ke mana, sehingga potensi No Deal Brexit menjadi semakin besar.
Perkembangan ini bisa membuat pelaku pasar terus bermain aman. Pasalnya, Brexit akan menentukan masa depan negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia. Jika Inggris sampai terseret ke jurang krisis karena Brexit, maka dampaknya akan mengglobal.
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 1,33% secara point-to-point. IHSG bergerak searah dengan bursa saham Asia yang juga perkasa. Indeks Nikkei 225 naik 1,2%, Hang Seng melesat 1,6%, Shanghai Composite melejit 1,7%, Kospi meroket 2,3%, dan Straits Times bertambah 0,8%.
Sementara rupiah melemah 0,92% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang minggu kemarin. Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Benua Kuning pun melemah seperti yen Jepang (-1,12%), yuan China (-0,25%), won Korea Selatan (0,7%), atau dolar Singapura (0.43%).
Sedangkan imbal hasil (yield) SBN seri acuan tenor 10 tahun melesat 12,8 basis poin (bps) dan kembali ke kisaran 8%, tertinggi sejak 18 Desember 2018. Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena aksi jual pelaku pasar.
Sentimen yang tercipta sepanjang pekan lalu memang agak aneh, di mana hawa positif dan negatif seakan datang bersamaan. Aura positif datang dari China, ditunjukkan dengan komitmen pemerintah dan Bank Sentral Negeri Tirai Bambu (PBoC) yang siap menggelontorkan stimulus untuk menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak mengalami hard landing.
Stimulus ini direspons positif oleh pasar, karena diharapkan mampu membuat perekonomian China tetap bergeliat. Dengan begitu, perekonomian Asia dan dunia pun bisa semarak.
Masih dari China, kabar gembira juga datang dari rencana kedatangan Wakil Perdana Menteri Liu ke ke Washington pada 30-31 Januari mendatang. Liu berencana bertemu dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.
Mengutip Washington Post, beberapa sumber mengungkapkan bahwa AS siap menghapus bea masuk bagi berbagai produk-produk impor made in China. Meski kabar ini dibantah oleh kantor Lighthizer, tetapi sudah terlanjur 'dimakan' oleh pelaku pasar.
Dua sentimen ini membuat aset-aset berisiko seperti saham menjadi incaran utama. Tidak ada lagi istilah bermain aman, sehingga bursa saham negara-negara Asia menguat tajam akibat derasnya arus modal.
Aliran modal yang terkonsentrasi ke pasar saham memakan 'tumbal' instrumen konservatif seperti obligasi dan mata uang. Dampaknya sampai ke Indonesia, dengan wujud pelemahan rupiah dan pasar SBN.
Selain itu, pelaku pasar juga mencemaskan sentimen negatif yaitu perkembangan di Inggris terkait Brexit. Sepertinya Perdana Menteri Inggris Theresa May dan Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn belum bisa damai, belum bisa duduk bersama untuk menyelesaikan masalah.
Mengutip Reuters, Corbyn menegaskan bahwa May tidak mampu membawa Inggris menghindari 'jurang' sehingga politisi Partai Konservatif itu harus mundur. Namun di sisi lain, Corbyn juga tidak ingin terjadi No Deal Brexit (Inggris tidak mendapatkan kompensasi apa-apa). Dia ingin semua masalah diselesaikan sebelum 29 Maret.
Menurut May, posisi Corbyn yang ingin agar dirinya mundur tetapi tidak mau No Deal Brexit adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu, May mengajak Corbyn untuk berdialog, bekerja bersama untuk merumuskan solusi.
Kegaduhan di London yang masih terus terjadi membuat nasib Brexit menjadi samar-samar. Belum jelas arahnya mau ke mana, sehingga potensi No Deal Brexit menjadi semakin besar.
Perkembangan ini bisa membuat pelaku pasar terus bermain aman. Pasalnya, Brexit akan menentukan masa depan negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia. Jika Inggris sampai terseret ke jurang krisis karena Brexit, maka dampaknya akan mengglobal.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Damai Dagang AS-China Angkat Wall Street
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular